Semoga pembacaku di sini sudah pada cukup umur semua ya. Dan yang merasa belum cukup umur, please, melipir dulu aja. Ini area 21+ meskipun masih menggunakan kata-kata sopan bisa bikin pikiran melayang-layang.
Jadi, so please, para bocil diharap bobo dulu dari lapak ini.
Jangan lupa, pastikan vote sebelum baca.
-
-
-
Entah sejak kapan aku di sini. Berada di sofa dengan posisi terbaring, sementara di atasku ada Arnold yang mengurungku. Refleks aku menggigit bibir saat menyadari sejak tadi kami berciuman begitu hebat. Sepertinya saat ini otakku memang sudah turun ke dengkul. Nggak seharusnya aku terbuai dan membalas ciuman lelaki itu.
"I miss you, Cla," bisik Arnold, dan aku tersentak sendiri.
Kata-kata itu yang membuat kewarasanku hilang. Tapi jujur, pesona Arnold dan bagaimana dirinya begitu dominan tidak bisa aku remehkan. Tidak ada yang berubah, meski sekuat hati aku menyangkal.
Wajah Arnold kembali maju. Iris birunya seolah tengah memerangkapku. Aku yakin saat ini tidak dalam kondisi mabuk. Tidak ada alkohol seperti saat pertama kali aku mengenalnya, yang artinya aku sadar sesadar-sadarnya. Tapi kenapa aku malah menyambut lagi ketika dia mempertemukan bibir kami?
Ciuman itu berubah cepat menjadi bola api yang siap menghanguskan. Arnold terus mendesak, mempersempit jarak di antara kami. Sementara tangannya sudah piknik ke mana-mana, meraba pahaku naik turun.
Harusnya aku menendangnya agar dia menjauh. Normalnya begitu. Iya kan? Tapi yang kulakukan malah sebaliknya. Bahkan aku sengaja melentingkan tubuh ketika tangan Arnold merambat ke balik punggung lalu dengan mudah melepas kaitan braku di sana. Kampret memang, tubuhku mengkhianati akal sehat ini.
Lidah Arnold melesak masuk, membelit lidahku. Aku sampai kewalahan mengimbangi ciumannya yang terburu-buru. Berapa lama aku tidak merasakan ini? Rasanya masih sama. Ciuman Arnold masih sehebat dulu.
Dia menarik tubuhku, membawa duduk di pangkuannya. Tangannya lantas beralih menarik kaus yang kukenakan melewati kepala.
"Oh, Clara. Aku merindukan ini," ucapnya dengan suara serak yang mampu membuatku merinding seketika.
Kulit payudaraku terasa hangat ketika telapak tangannya menyentuh di sana. Aku menahan napas saat dia meremasnya. Sentuhan itu terasa membakar. Apalagi ketika ibu jarinya mengusap lembut puncak dadaku, memainkannya dengan gerakan memutar. Rasanya sudah seperti tersengatt aliran listrik ribuan kilowatt. Sensasinya aku akui lebih menegangkan daripada tiga tahun lalu.
Aku tidak berlebihan. Ini melenakan. Lalu ketika akhirnya dia menenggelamkan diri ke dadaku duniaku rasanya berputar-putar.
"Arnold," desahku menyisir dan meremas rambutnya dengan kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Arnold! (END)
RomanceSEBELUM BACA WAJIB FOLLOW AUTHORNYA DULU WARNING 21+ (BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN) Patah hati membuat Clara kehilangan kewarasan. Ah, tidak. Bukan hanya saat patah hati, tapi dia memang sudah tidak waras sejak bertemu dengan Arnold, pria yang di...