9. Ruang Kerja

2K 112 18
                                    

Di sini masih sepi ya. Arnold kurang hot kayaknya wkwk. Mau gimana lagi setelah tamatin Under Cover dan Balas, Mbak! Energiku kayak terkuras habis. Aku pengin cerita yang agak slow, dan nggak terlalu brutal. Jadi, ikutin alurnya aja ya.

"Laporan gue belum satu pun yang lo tanda tangani!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Laporan gue belum satu pun yang lo tanda tangani!"

Wanita itu berkacak pinggang. Mata besarnya melotot. Dia terlihat sangat kesal. Namun yang dipelototi cuma nyengir sambil garuk kepala.

"Iya, ini mau gue tanda tangani," sahut Arnold santai.

"Kalau sampai besok kolom tanda tangan lo masih kosong, gue gorok juga leher lo," ancam Sonia yang secara refleks membuat Arnold memegang lehernya sendiri dengan ngeri.

Setelah ngomel-ngomel wanita itu pergi. Tapi sempat aku lihat dia melirik sinis ke pasangan Alex dan Laras.

Hei, tunggu! Ini nggak seperti yang aku bayangkan. Aku pikir Sonia akan bermanja-manja ria saat melihat Arnold. Mereka nggak seperti orang yang pernah memiliki sebuah hubungan. Sikap mereka biasa saja. Bahkan Sonia tampak nggak peduli kecuali laporan-laporan yang entah apa itu.

Alex tertawa sepeninggal Sonia. "Seneng banget bikin dia emosi," katanya seraya menggeleng.

"Gue beneran lupa soal laporan itu. Lo liat mukanya tadi? Kayak mau nelen gue hidup-hidup."

"Tepatnya sih nelen gue sama Laras. Dia lagi kesel tuh gara-gara mau dijodohin sama bokap."

"Bagus deh. Sonia butuh seorang pawang." Arnold lantas tertawa seraya merangkulku.

Aku menyipitkan mata. Ini di luar dugaan. Mungkinkah Vivian cuma kemakan gosip doang?

"Sweety, ikut aku ke atas yuk." Arnold menarik tanganku segera meninggalkan Alex dan Laras yang sudah sibuk menyambut tamu-tamu mereka.

"Kita mau ke mana sih?" tanyaku bingung ketika lelaki itu membawaku ke lantai tiga. Dari sini musik tidak terlalu terdengar gaduh.

"Ke ruang kerjaku. Aku harus mengecek beberapa laporan yang Sonia kirim."

Saat memasuki sebuah ruangan, musik dari lantai bawah sudah tidak terdengar. Ruangan ini sepertinya kedap suara. Dibanding ruang kerja, ini lebih mirip sebuah kamar hotel. Memang ada meja kerja lengkap dengan sofa penerima tamu, tapi di belakang meja kerja itu terdapat ruang yang sepertinya berfungsi sebagai tempat tidur. Hanya dibatas sebuah partisi tembus pandang.

"Sebentar ya," ujar Arnold menghampiri meja kerjanya. Dia lantas sibuk membuka beberapa dokumen yang menumpuk di sana.

Sembari menunggu Arnold selesai dengan urusannya, aku melakukan tour room. Tidak ada yang istimewa. Ruang dominan cat putih dan abu ini minim perabot. Kulihat ada beberapa pakaian yang menggantung di mini walk in closet di sudut ruangan dekat dengan pintu yang kuduga kamar mandi. Yang menarik, ada balkon di ujung ruangan dekat dengan tempat tidur queen size.

Hai, Arnold! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang