7. Hubungan Tanpa Nama

2.1K 145 20
                                    

Kayaknya udah lama banget, nggak update Arnold

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kayaknya udah lama banget, nggak update Arnold. Maaf ya teman-teman. Tapi aku nggak lupa kok, cuma pending doang. Moga 2024 ini bisa update rutin mereka ya.

Yuk gencarkan vote dan komennya biar aku semangat gitu loh buat lanjut.

❤️❤️❤️


Saat mataku terbuka sebuah bahu kekar menjadi pemandangan pertama yang kulihat. Aku mengembuskan napas mengingat kejadian semalam. Mungkin sekarang aku beneran gila. Bisa-bisanya aku mendorong diri jatuh ke lubang sama kedua kalinya.

Salah kah aku jika membangun harapan lagi? Saat bayangan ketakutan memilih orang yang salah melintas, aku segera menepisnya. Untuk saat ini biarkan aku menikmati keadaan ini dulu.

Bahu itu bergerak. Selimutnya bergeser turun. Tubuhnya yang tengkurap lantas berbalik. Matanya birunya sempat terbuka sekilas sebelum memejam kembali, lalu dengan cepat terbuka lagi saat sadar tatapan kami sempat bertemu.

"Cla? Kamu udah bangun?" tanya Arnold dengan suara serak sambil mengangkat sedikit kepalanya. Matanya memicing dengan dahi mengernyit. Lalu dia menengok ke arah jendela kamar yang masih tertutup tirai—namun tanda-tanda langit terang bisa dilihat di sana. "Memang sekarang pukul berapa sih?"

Aku menggeliat sambil melirik jam digital di atas nakas. "Enam pagi."

Arnold tersenyum lalu mendekat. Lengannya di bawah selimut terulur menarik pinggangku. "Masih pagi, Cla. Tidur lagi, yuk," katanya sambil mencium pundakku.

"Kalau udah bangun gini aku nggak bisa tidur lagi."

"Sama. Aku juga nggak bisa tidur lagi kalau udah bangun."

Mataku sontak memelotot saat merasakan sesuatu yang bergerak menyentuh pahaku. Sementara dia meringis.

"Tahu kan yang nggak bisa tidur lagi?"

Sialan! Mukaku pasti sudah memerah. Aku mendorongnya menjauh.

"Kalau morning wood begini ada kamu di sebelahku, aku merasa beruntung." Dari pinggang tangan Arnold meraba milikku. Dan dengan cepat dia berpindah ke atasku, membuat mataku melebar.

"Ini masih pagi, Arnold," desisku menatapnya tajam. Memberi peringatan padanya agar menyingkir dari sana. Aku nggak perlu meladeni morning wood-nya itu. Gila, apa semalam belum cukup?

"Justru itu, Cla. Pagi adalah waktu yang bagus buat bercinta selain malam."

Aku terkesiap saat di bawah sana Arnold melesakan jarinya. Saat kepalanya menunduk untuk menggapai puncak dadaku, aku mendesah lirih. Kecamanku tadi seolah nggak ada arti. Buktinya aku malah menikmati sentuhannya. Double shit! Aku merutuki diri sendiri yang mudah menyerah pada pria pemaksa itu.

Arnold begitu mudah memantik gairahku. Sehingga pagi ini kami berakhir dengan bersimbah peluh. Erangan Arnold memenuhi kamarku ketika rasa puas menjemput. Dia menumpahkan semuanya di atas perutku karena  malas memakai pengaman.

Hai, Arnold! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang