11. Di Parkiran

1.9K 120 12
                                    

Minggu kemarin nggak update. Tiba - tiba keyboard rusak. Jadi harus aku servis dulu. Kan jadi mager nulis. Kalo cerita si Deryl mah udah tinggal edit doang jadi bisa update. Apalah hidupku tanpa keyboard. Huuuuhuuu....

Dah ya curhatnya sekarang balik ngehalu bersama pasangan gaje ini. Uhm, tolong ramaikan yak. Dan aku gak akan bosan kasih warning. Yang belum 18+ tolong skip aja. Bakal banyak adegan merem melek soalnya.

"Jadi?"  

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Jadi?"  

"Apanya yang jadi? Nggak jadi apa-apa."

Viona di depanku berdecak bosan. Aku baru saja menceritakan soal hubunganku dengan Arnold yang belum jelas ke depannya. Respons Viona terdengar menyebalkan. Memang apa yang aku harapkan dari Arnold?

"Mungkin belum," ujar Dania yang dari tadi tampak tenang mendengarku bercerita. "Tapi gue yakin dia bakal sampai pada titik itu. Cuma belum waktunya aja."

"Dan kalau udah waktunya gue nggak yakin Clara masih tetep cinta atau malah udah berpaling sama laki lain," sambut Viona, memutar bola mata. "Desak dong, Cla. Lo mau dicap perawan tua seumur hidup?"

"Nggak ada yang cap dia begitu," bantah Dania. "Jangan buru-buru. Mending lo nikmati dulu kebersamaan lo sama Arnold. Nikah itu butuh keyakinan dan mental yang kuat. Jangan asal-asalan." Dia melirik Viona yang kelihatannya pura-pura budeg. Kayaknya memang cuma Viona yang santai-santai saja meskipun suaminya belum bisa meresmikan hubungannya ke KUA.

"Apa? Kenapa lo liat gue?" Kembali Viona berdecak. "Gue bakal resmiin. Kalian tenang aja."

Dania memutar bola mata. Seolah nggak yakin dengan ucapan wanita petualang itu. Sudah cukup aku berlama-lama dengan mereka. Arnold beberapa kali menanyakan keberadaanku melalui chat, dan dia bilang sudah di jalan menuju ke sini.

"Cla, liat itu deh." Viona tiba-tiba menepuk-nepuk lenganku dengan pandangan melompat jauh ke luar restoran. Tepatnya, terarah ke restoran Italia yang ada di seberang restoran tempat kami berkumpul.

Aku dan Dania mengikuti arah pandang wanita itu. Dari tempatku, dan karena jendela kaca resto yang cukup besar memungkinkan kami bisa melihat pemandangan di luar. Aku melihat pria itu menggandeng seorang wanita memasuki restoran Italia, memilih tempat duduk yang posisinya bisa dijangkau dengan mata kami dari dalam sini.

"Alian, kan?" tanya Dania dengan nada kurang yakin.

"Iya, itu dia," sahutku yang lantas bisa langsung mengenali wanita yang bersama lelaki itu. Wanita yang sama ketika aku memergokinya selingkuh.

"Kira-kira mereka udah nikah belum ya?" tanya Viona entah pada siapa.

Begini, aku sudah nggak punya perasaan apa pun pada mantan sialan itu. Bahkan melihat pemandangan itu nggak bikin aku lantas mewek atau cemburu. Aku sudah lama move on. Namun, pertanyaan Viona tadi cukup bikin aku terhenyak. Dulu aku dan Alian pernah merencanakan sebuah pesta pernikahan sederhana yang hanya ingin dihadiri oleh orang terdekat saja. Namun, Tuhan malah menunjukkan sesuatu yang membuatku bersyukur rencana itu nggak pernah terwujud. Siapa sih yang nggak ingin menikah? Aku sama seperti wanita lain meskipun nggak punya target dan rencana yang tersusun rapi. Tapi bersama Arnold aku nggak yakin bakal ada topik pembicaraan seperti itu. Arnold nggak pernah ingin membahas sesuatu yang lebih serius tentang hubungan kami. Hubungan kami nggak ubahnya seperti partner ranjang saja. Aku nggak akan menyesali keputusan yang sudah aku pilih. Memang begini kan resikonya?

Hai, Arnold! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang