17. Masa Lalu

1K 101 26
                                    

Halo, kamu, iya kamu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo, kamu, iya kamu. Di mana pun kamu berada dan lagi baca cerita ini. Wajib ramaikan yak. Arnold nggak akan aku bikin panjang-panjang. Mungkin bakal tamat di maksimal bab 30 saja, bisa juga kurang. Konflik juga nggak akan aku bikin berat seperti Under Cover. Jadi, santuy aja, yak.

==============================

Aku menjerit saat Arnold menerjang Sam. Satu pukulannya tepat mengenai rahang tegas Sam, hingga lelaki itu tersungkur. Nggak cukup sampai di sana Arnold kembali memukuli Sam secara membabi buta.

"Brengsek! Berani lo nyentuh Clara. Salah gue udah percaya sama lo, Bangsat!"

Arnold tampak belum mau menghentikan aksinya. Bertubi-tubi pukulannya melayang, sampai Sam nggak ada kesempatan buat membalas. Efek mabuk membuat lelaki itu terlihat pasrah menerima hantaman itu.

"Arnold, stop! Kamu bisa membunuh orang!" Aku berusaha menarik tubuh Arnold dari atas Sam. Hanya saja rasanya sia-sia, Arnold seperti Hulk yang sedang mengamuk.

"Penghianat kayak lo pantas mampus!"

"Arnold! Aku mohon stop." Aku menangis histeris, terus berusaha menarik tubuh Arnold. "Dia bisa mati." Kupeluk tubuh Arnold dari belakang sekuat tenaga.

"Biarin aku bikin dia mampus. Dia sudah berani menyentuh kamu."

Pelukanku terlepas. Arnold kembali menerjang Sam yang sudah babak belur tak berdaya. Darah berceceran di area wajah Sam. Aku nggak mungkin membiarkan Arnold terus melukai Sam atau dia akan dapat masalah.

"Stop atau kita putus!" teriakku yang sudah tidak tahu harus ngapain lagi.

Tangan Arnold terkepal di udara. Ayunan tangannya mendadak terhenti saat aku berteriak. Wajah kerasnya kontan menoleh ke arahku. Bukan hanya dia yang marah, aku pun sama marahnya. Apa semua harus diselesaikan dengan cara begini?

"Apa?"

"Stop atau kita putus," ulangku sekali lagi dengan suara lebih serius.

Arnold melepas kasar kerah baju Sam dan terkekeh. Dia bergerak mundur menjauhi Sam, lalu menghampiriku. Iris birunya menghujamku begitu tajam. Meski begitu aku berusaha untuk tidak  gentar.

"Ikut aku!" ucapnya langsung menyambar tanganku dan menyeretku keluar dari ruangan itu.

Jujur aku khawatir dengan kondisi Sam. Dia masih terkapar di lantai, mengeluarkan banyak darah di area hidung dan bibir. Arnold semengerikan itu jika sedang marah, bahkan pada orang yang katanya sahabatnya dari kecil.

"Urus dia!" ujar Arnold dengan nada dingin pada dua orang bertubuh besar yang berpapasan dengan kami di luar ruang kerjanya. Lantas terus berjalan turun ke lantai satu melewati keramaian di sana. Setelah ini aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin semuanya benar-benar akan berakhir.

Dia membawaku menuju mobilnya. Tidak ada tindakan lembut seperti yang biasa dia lakukan. Aku juga nggak melawan ketika dia memaksaku masuk ke mobil. Terlalu ngeri melihat wajahnya yang seperti seorang pembunuh berdarah dingin. Aku belum pernah melihat Arnold yang seperti itu.

Hai, Arnold! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang