Sudah lama sekali aku mengabaikan Clara dan Arnold. Hehe. Maaf ya. Pelan-pelan aku bakal tamatin kok. Berhubung ini hanya novelet, jadi ceritanya nggak akan panjang-panjang lagi. Jangan protes ya kalau up cuma dikit.
Selamat membaca dan jangan lupa vote komennya.======
Kupikir setelah membawaku ke unit, Arnold akan menyiksaku lagi. Namun yang pria itu lakukan ternyata di luar dugaan. Dia memang membawaku ke tempat tidurnya, tapi nggak ada yang dia lakukan kecuali memelukku begitu erat. Meringkuk di bawah selimut yang sama seperti anak kecil. Tidak ada suara apa pun yang terdengar. Hanya embusan napas Arnold yang menyentuh kulit leherku. Ini benar-benar aneh.
Ketika aku beringsut sedikit, Arnold makin mengeratkan pelukannya. "Jangan ke mana-mana," gumamnya pelan, tanpa mau mengangkat wajah.
Bermenit-menit bertahan dengan posisi begini membuat badanku nggak nyaman. "Arnold, badanku pegal," ujarku akhirnya, dan itu berhasil membuatnya mengendurkan pelukan. Aku rasanya kembali bisa menghirup udara bebas.
"Aku minta maaf, Cla. Aku nggak bermaksud menyakiti kamu." Arnold bergerak agak menjauh. Nada suaranya sedikit bergetar. "Mungkin memang sebaiknya aku melepas kamu."
Tunggu! Apa yang dia bicarakan?
"Aku nggak bisa memberi apa yang kamu ingin. Aku terlalu pengecut dan terlalu banyak pertimbangan. Maaf."
Apa itu artinya Arnold menyerah? Ini solusi. Namun mendengarnya, aku merasa nggak nyaman. Bukankah sebelumnya dia menawarkan pernikahan?
"Arnold, apa kamu mau kita putus?" tanyaku, ada nyeri tak kasat mata saat melontarkan pertanyaan itu. Aku memang sering mengumbar kata 'putus' dan 'pergi', tapi mendengar Arnold benar-benar akan menyerah rasanya kenapa sesakit ini? Apa hanya sebatas ini perasaannya padaku?
Dia menggeleng lemah. "Kamu sangat tahu aku ingin kita selalu bersama. Tapi bersamaku saja ternyata nggak cukup membuat kamu bahagia." Arnold menghela napas berat, lalu menjauhkan diri. Pria itu mengubah posisi rebah menjadi terlentang. Mata birunya yang terlihat sayu menatap nanar langit-langit kamar. "Aku membenci pernikahan bukan tanpa alasan," lanjutnya. Suaranya terdengar cukup berat.
Aku tidak menyahut, dan tetap menyimak apa yang akan dia katakan selanjutnya. Sepertinya dia menyimpan beban di dadanya selama ini tentang sebuah komitmen dan pernikahan. Mungkin aku bisa memahaminya sekarang.
"Orang tuaku salah satu yang gagal dalam pernikahan. Ayah pergi meninggalkan Ibu demi wanita lain saat aku masih kecil. Dan karena itu ibuku mengalami despresi hingga menggantung dirinya di langit-langit kamar. Aku yang menemukan pertama kali, Cla."
Refleks aku menutup mulut yang terbuka seketika. Mataku melebar mendengar cerita tragis itu. Aku seolah bisa merasakan sakit yang Arnold kecil rasakan saat itu.
"Setiap hari ibu selalu memikirkan ayah. Bertingkah seolah-olah ayah masih ada di tengah-tengah kami. Aku pikir itu nggak akan membuatnya senekat itu. Aku--"
Spontan aku menyentuh lengan Arnold dan meremasnya ketika dia tiba-tiba menghentikan ceritanya. "Arnold, jangan diteruskan. Kalau itu bikin kamu sakit, jangan diteruskan. Aku paham, aku paham."
Arnold menoleh dan menatapku dengan mata memerah. Mataku ikut berkaca-kaca melihat lukanya di sana. Serta-merta aku kembali merengkuhnya. Dia pasti mengalami trauma karena hal ini. Bagi anak sekecil itu melihat ibunya sendiri bunuh diri di depan matanya pasti membuatnya sangat terguncang. Oh, aku nggak bisa bayangin kondisi Arnold saat itu.
"Sejak itu segalanya berubah. Aku diasuh nenek dan kakek setelahnya. Tapi gara-gara kebengalanku saat remaja, kakek meninggal. Beberapa tahun kemudian nenek pun menyusul. Praktis hidupku terombang-ambing. Kalau waktu itu aku nggak bertemu Alex, mungkin aku akan menyusul nenek dan kakek. Atau gelandangan yang nggak tau arah. Hm, aku banyak dosa pada dua orang tua itu."
Aku mengusap bahu Arnold dan merapatkan diri padanya. Pipiku basah, nggak tahan untuk nggak nangis. Aku benar-benar nggak nyangka. Di balik sikapnya yang menjengkelkan, Arnold memiliki kisah pilu yang mungkin saat ini masih menjadi beban.
"Clara...." Suara Arnold bergetar memanggil. Jemarinya menyelip di antara jemari tanganku. "Maaf, kalau aku egois dan nggak memikirkan perasaanmu. Kamu benar, mungkin akan lebih baik kita nggak usah bertemu lagi. Jadi, aku nggak akan menjadi alasan kamu sedih dan kecewa." Dia tersenyum, tapi bisa kulihat kegetiran di sana. "Kehilangan kamu adalah ketakutan terbesarku saat ini, tapi beberapa hari ini aku sudah memikirkannya. Maafkan aku, Cla, maaf." Dia membawa tanganku ke bibir dan menciumnya secara berulang.
Kalau begini apa yang harus aku lakukan? Mendadak kepalaku mampet. Sepertinya memang nggak akan pernah ada solusi dalam masalah kami.
"Jadi, kamu mau aku gimana?" tanyaku sambil membuang napas lelah. Aku sangat mengerti keadaannya. Sama seperti Arnold, aku juga nggak mau kehilangan dia. Tapi hubungan tanpa ikatan itu nggak akan ada masa depan. Aku nggak mungkin terjebak di hubungan seperti itu seumur hidup.
"Alex memintaku datang ke psikolog. Bila perlu psikiater. Dia bilang aku butuh terapi buat menghilangkan atau setidaknya mengalihkan traumaku selama ini."
"Aku temani," sahutku cepat. Seperti ada angin segar yang berhembus seketika, aku bisa merasakan sedikit celah untuk menyelesaikan masalah ini. "Kalau kamu sungguh-sungguh mau sembuh. Aku akan menemani kamu. Sampai kamu benar-benar sembuh."
Mungkin aku terlalu senang sampai-sampai Arnold mengerjap melihatku. "Aku serius mau sembuh. Demi kamu."
"Oke, kita akan mengatur jadwal kamu terapi."
Oh, andai saja sejak awal Arnold mau terbuka tentang masalahnya, mungkin kami nggak perlu melewati drama ini. Dan Sam... Pria malang itu nggak perlu menjalani rawat inap karena emosi Arnold.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Arnold! (END)
RomanceSEBELUM BACA WAJIB FOLLOW AUTHORNYA DULU WARNING 21+ (BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN) Patah hati membuat Clara kehilangan kewarasan. Ah, tidak. Bukan hanya saat patah hati, tapi dia memang sudah tidak waras sejak bertemu dengan Arnold, pria yang di...