14. Baper

973 95 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku memejamkan mata seraya menahan napas. Hawa panas dengan cepat merambat naik ke ubun-ubun. Bahkan aku seperti merasakan asap keluar dari lubang hidung dan telingaku. Saat saraf di sel-sel tubuhku mulai sepenuhnya bereaksi, dengan cepat tanganku mendorong dada yang sempat membentur hidungku itu.

Tangan kurang ajar yang mampir ke bokongku juga spontan terlepas. Dengan wajah merah padam dan mungkin tanduk merah yang sudah muncul di kepala, telunjukku mengacung tinggi-tinggi ke muka Sam.

"Dasar bedebah lo ya!" seruku dengan kekesalan luar biasa memuncak. "Jangan mentang-mentang kita mantan kamu bisa pegang-pegang aku seenaknya!" Napasku memburu, bibirku berkerut dalam.

Sam gelagapan, dia menggeleng dan mengibas-ngibaskan tangannya dengan panik. "Cla, aku nggak sengaja. Itu tadi kecelakaan. Lagian siapa yang nyuruh kamu tiba-tiba balik badan gitu."

Mataku kiat melotot. "Kamu nyalahin aku?!"

Sam lagi-lagi menggeleng panik. "Nggak, Cla. Tapi--"

"Diem! Tetap di situ jangan mendekat. Dan jangan ikuti aku!" teriakku tepat di depan mukanya.

Sam membuat gerakan mengunci mulut lalu mengangkat kedua tangan.

Dengan marah yang belum reda sepenuhnya, aku berbalik menuju kamar. Kubuka pintu dengan kasar dan kubanting keras-keras hingga suara debamannya menggetarkan seantero unit. Astaga, ini masih pagi, tapi aku sudah seemosi ini.

Sepertinya Sam sengaja datang ke sini untuk merusak akhir pekanku. Setelah membuatku kesal dengan gerakan refleksnya yang teramat sialan, sekarang dia menyalakan musik keras-keras. Ya Tuhan! Aku yang memutuskan membaca buku begitu masuk kamar jelas merasa terganggu. Beberapa kali aku menarik napas pendek-pendek. Nggak cukup dengan suara musik, sekarang pria itu ikut menyanyi dengan suara yang bikin gendang telingaku rasanya mau pecah.

Gimana bisa tenang hariku kalau begini? Terpaksa kuturunkan kaki dari atas ranjang dan berjalan cepat keluar kamar. Lelaki itu tengah bernyanyi sambil memegang mikrofon, matanya terpejam seperti sedang menghayati tiap lirik nggak jelas yang dia dendangkan. Dia sedang menyanyikan nada tinggi ketika aku tiba-tiba mematikan LCD. Suaranya yang memenuhi speaker kontan terhenti. Matanya yang terpejam terbuka dan kepalanya menoleh cepat.

"Kok dimatiin sih, Cla?" protesnya seakan yang dia lakukan bukan hal yang menyebalkan.

"Pulang sana," usirku lelah.

"Nggak bisa. Aku di sini kan buat nemenin kamu kata Arnold."

"Aku nggak butuh teman!" Suaraku kembali meninggi.

"Butuh. Kamu selalu butuh teman. Kamu ingat nggak, dulu itu ke mana-mana kamu selalu minta aku temani. Sekarang aku di sini buat—"

Suaranya sontak terhenti saat aku mengangkat tangan. Aku benci tiap kali dia mengingatkan kebersamaan kami dulu. "Itu dulu, sekarang aku nggak butuh. Jadi lebih baik kamu pergi."

Hai, Arnold! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang