12. Dia

1.5K 128 17
                                    

Hujan di sini bertepatan dengan tanggal pemilu. Syahdu banget. Jangan lupa ya gunakan hak suara kalian dan pilih sesuai hati nurani. Siapa pun nanti yang jadi presidennya semoga bisa membawa Indonesia menjadi negara yang makin baik.
Di bab ini aku udah munculin sedikit konflik ya. Nggak berat kok, tenang aja. Wkwk. Cuma dikit bikin cenat-cenut. Dan yang belum cukup umur, mending skip dulu, ya.

Arnold masih nyenyak ketika kakiku turun menginjak lantai yang dingin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arnold masih nyenyak ketika kakiku turun menginjak lantai yang dingin. Aku menggerakkan sedikit leher. Memutar kiri-kanan secara berganti. Badanku remuk redam setelah semalam dia menghajarku habis-habisan. Tenaga kudanya hampir meremukkan seluruh tulangku. Lihat saja tidurnya sudah seperti orang mati. Dia membutuhkan banyak waktu kurasa untuk memulihkan tenaga. Aku juga butuh sebenarnya, tapi perutku nggak bisa diajak kompromi. Dia terus memberontak minta diisi. Dengan sangat terpaksa aku meninggalkan kasur dan pelukan hangat Arnold.

Kucepol rambut asal-asalan lalu menyambar midi dress yang semalam Arnold buang ke ujung tempat tidur. Setelah mengenakannya, aku beranjak keluar kamar dan langsung berbelok ke dapur. Ada beberapa bahan makanan di kulkas milik Arnold. Dia memang sering masak sendiri kalau lagi nggak kerja. Aku perlu makanan yang agak berat, jadi aku meraih satu bungkus mie kering, telur, dan sayur. Aku juga mengambil bumbu giling yang tersimpan rapi di jar berukuran sedang.

Tidak butuh waktu lama aku sudah berkutat di depan wajan dan kompor. Aku nggak terlalu pandai memasak seperti Arnold, tapi kalau sekedar mie goreng aku rasa masih bisa. Berbekal tutor singkat yang aku lihat di you tube tentu saja. Aku nggak sehebat itu menciptakan resep baru.

Wangi bumbu yang digoreng menguar. Dari sini saja aku sudah bisa membayangkan rasanya. Dan karena itu perutku makin keroncongan. Tepat saat aku memasukkan irisan kubis ke dalam bumbu goreng, Arnold muncul. Dia berjalan dengan wajah bantal yang sialnya masih saja terlihat keren. Nggak ada penutup yang melekat di tubuhnya kecuali sehelai boxer. Aku benci dia selalu pamer badannya yang menggiurkan itu.

"Masak apa sih? Wanginya sampe bikin aku kebangun," katanya seraya mendekat.

"Bukan apa-apa. Cuma mie goreng," ujarku sambil terus mengaduk sayur.

Arnold beranjak mendekati kulkas. Membuka pintunya dan mengambil air minum di sana. Langkahnya bergeser ke sisi meja dapur. Dia berdiri di sana sambil meneguk sebotol air. Nggak ada suara. Entah apa yang pria itu lakukan.

Aku tak peduli dan fokus pada mie goreng yang kubuat. Sebentar, tadi garam sudah masuk belum ya? Harusnya aku mengoreksi rasa sebelum menabur garam, tapi itu nggak aku lakukan dengan keyakinan garam memang belum masuk.

Saat sedang mengaduk mie biar bumbunya tercampur rata, sebuah tangan menyelip dari belakang. Aku berjengit kaget. Reaksi yang berlebihan, padahal aku tahu hanya Arnold yang bisa melakukan itu.

"Kalau lagi masak gini kamu seksi banget, Sweety," bisik pria itu tepat di telingaku.

Aku menyikut perutnya. "Jangan ganggu. Sebentar lagi matang nih."

Hai, Arnold! (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang