"Gue mau jadi pacar lo," ujar Risa dengan suara lembut, namun tegas.
Hanya satu kalimat itu, namun cukup untuk membuat senyum lebar kembali terlukis di wajah Ryan. Tanpa ragu, dia menyerahkan cokelat yang sejak tadi digenggamnya, seolah telah menyiapkan momen ini dengan sempurna.
Taman yang awalnya tampak mendung dan sepi, tiba-tiba terasa jauh lebih cerah. Seolah-olah alam ikut berbahagia merayakan cinta yang baru saja bersemi di antara dua insan yang kini resmi menjalin hubungan. Angin sepoi-sepoi pun berhembus lembut, menyelimuti mereka dalam kehangatan yang tak terucap.
"Ayo, aku anterin pulang," kata Ryan penuh perhatian, sembari menggandeng tangan Risa. Mereka berjalan beriringan menuju parkiran motor, langkah mereka seolah ringan, seiring dengan hati mereka yang dipenuhi kebahagiaan baru.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Risa, Ryan tak bisa menyembunyikan senyum yang terus menghiasi wajahnya. Perasaan bahagia mengalir deras di hatinya, dan kalau bukan karena gengsi, mungkin ia sudah berteriak kegirangan di tengah jalan.
Angin sore yang sejuk menerpa wajah mereka berdua, namun kehangatan suasana hati Ryan tak tergoyahkan. Ia melirik Risa yang duduk tenang di belakangnya, perasaan lega dan bahagia mengalir seiring laju motornya.
Saat memasuki area perumahan, Ryan memperhatikan deretan rumah yang tertata rapi. Setiap rumah memiliki karakteristik tersendiri, dengan bentuk-bentuk unik yang terlihat begitu estetik di matanya. Arsitektur modern yang terpadu dengan alam seolah menambah pesona kawasan itu.
Motor Ryan melambat ketika mereka mendekati sebuah rumah modern berwarna putih dengan pagar hitam tinggi dan kokoh. Dua lantai rumah itu menjulang anggun, mencerminkan kesan elegan. Ryan pun menghentikan motornya tepat di depan rumah tersebut, sembari tersenyum kecil, menyadari bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang indah.
"Tadi kamu bilang rumah kamu nomor 07, yang ini bukan?" tanya Ryan dengan nada penuh kepastian, sementara Risa sedikit terkejut karena ia baru saja dipanggil dengan kata "kamu."
"Iyaa, ini dia," jawab Risa gugup, tangannya meremas-remas tasnya.
"Aku langsung pulang aja ya, takut nanti diomelin bunda kalau telat," kata Ryan sambil tersenyum, menyalakan motor yang sudah siap untuk pergi.
"Iyaa, hati-hati," balas Risa, masih belum sepenuhnya yakin dengan perubahan dalam percakapan mereka. Ryan yang biasanya menggunakan "lo" dan "gue," kini berubah menjadi "aku" dan "kamu," membuat Risa merasa seperti dalam mimpi.
Saat Ryan bersiap untuk meninggalkan rumah Risa, ia menoleh dengan ekspresi jahil dan berkata, "Sampai jumpa besok, cantikku."
Kata-kata itu seolah menyentuh jantung Risa, pipinya langsung memerah seperti kepiting rebus, dan Ryan tidak bisa menahan tawa kecilnya melihat reaksi tersebut. Sementara itu, Risa hanya bisa tersipu malu, hatinya berdebar-debar karena momen yang tak terduga ini.
Saat motor Ryan semakin menjauh dan menghilang dari pandangan mata Risa, ia segera membuka pagar dan melangkah masuk ke rumah. Begitu memasuki rumah, Risa mendapati Abangnya, Vino Rizki Bimantara, sudah berdiri menunggu di depan pintu dengan ekspresi penasaran.
"Cieee, diantar cowok, siapa dia?" tanya Vino dengan nada menggoda.
"Manusia," jawab Risa singkat, mencoba untuk menghindari pertanyaan itu.
"Abang juga tau kalau dia manusia, tapi..." Vino tidak selesai dengan pertanyaannya karena Risa langsung memotongnya.
"Kalau udah tau, ngapain nanya?" ucap Risa dengan nada tegas sambil menabrak tubuh Vino untuk masuk ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love it's a wound
Teen FictionKetika awan kelabu mulai menggantung di cakrawala harapannya, keraguan pun menyergap: mungkinkah cinta yang terasa manis ini berakhir menjadi kepedihan yang tak terucap? Risa Azkia B, gadis berambut hitam legam, sehalus malam tanpa bintang, masih be...