09. Gelang Couple

32 22 0
                                    

Sudah 30 menit berlalu, Ryan masih berdiri di bawah guyuran hujan. Tubuhnya mulai menggigil, seragam sekolah yang basah membuat dingin semakin merasuk, sementara wajahnya sudah tampak pucat.

Meski begitu, ia berhasil menyelamatkan tas dan buku-bukunya dengan meletakkannya di teras rumah, satu-satunya tempat kering yang bisa ia jangkau. Tak ada yang bisa membantu Ryan kali ini, karena bunda serta kedua adiknya sedang pergi keluar.

Sementara itu, Fares, mengamati Ryan dari balik jendela, dengan segelas kopi di tangannya.

Di tengah dinginnya hujan, Ryan mulai merasakan sakit kepala yang hebat. Sejak pagi tadi, perutnya belum terisi apa pun. Bahkan, ketika teman-temannya menawarinya makanan, ia menolak dengan alasan tidak berselera.

Kini, rasa pusing itu semakin berat. Ryan menutup matanya, mencoba mengabaikan rasa sakit yang menyiksa. Hujan pun mulai reda, menyisakan hanya gerimis halus yang menyentuh kulitnya.

Dengan mata yang masih tertutup, Ryan tak menyadari bahwa sang ayah akhirnya membuka pintu rumah. Langkah Fares terdengar pelan di tengah suasana hening setelah hujan. Ia mendekat, menatap Ryan dengan sedikit perubahan di raut wajahnya.

"Ryan, masuk ke dalam," ucap Fares dengan suara lebih tenang dari sebelumnya. "Ganti pakaianmu. Langsung makan. Tadi bundamu memasak makanan favoritmu."

Ryan membuka matanya perlahan, sedikit terkejut dengan nada ayahnya yang lebih lembut. Ia merasa lelah, tubuhnya dingin dan lemas, tapi mendengar kata-kata itu memberikan sedikit kelegaan.

Ryan mengambil tasnya dan perlahan melangkah masuk ke rumah. Setelah mengganti pakaiannya, ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dari dingin yang masih menempel. Usai mandi, Ryan berdiri di depan cermin, memandangi wajah pucatnya.

"Lemah, gini doang udah pucat," gumamnya pelan, mencemooh dirinya sendiri.

Ia keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang makan. Namun, yang ia lihat di atas meja membuatnya terkejut. Semua makanan dalam kondisi panas, baru saja dipanaskan.

Penasaran, Ryan mencari ayahnya dan menemukannya di dapur, sedang membawa mangkuk berisi sup ayam hangat.

"Kenapa diam? Cepat makan," ujar Fares sambil meletakkan mangkuk sup ayam di meja. "Ini udah ayah angetin biar enak dimakan. Oh, iya, ayah buatin sup ayam, jangan lupa dimakan. Gausah berpikir yang aneh-aneh, ayah cuma nggak mau dimarahin bundamu kalau lihat kondisi anaknya kayak nggak keurus."

Ryan terdiam sesaat, lalu dengan suara pelan tapi tulus, ia berkata, "Makasih, Yah, udah buatin sup ini."

Fares hanya mengangguk, wajahnya masih menjaga sikap tegas meski ada sedikit kehangatan di dalamnya. "Hmm, selesai makan langsung istirahat. Kalau perlu, minum obat. Muka kamu udah kayak mayat hidup."

Ryan tersenyum kecil mendengar komentar ayahnya yang sarkastis tapi penuh perhatian itu. Tanpa banyak bicara lagi, ia duduk dan mulai menikmati makanan yang sudah disiapkan ayahnya, merasakan kehangatan sup yang perlahan menyebar ke seluruh tubuhnya.

Meski tadi sempat merasa tersisih, ada secercah kehangatan yang kembali hadir di tengah hubungan mereka yang dingin.

∆∆∆∆∆

Tepat pukul 20.00 dimalam Minggu, Ryan tiba di depan rumah Risa, siap mengantarnya ke pasar malam yang sudah mereka rencanakan.

Sesampainya di sana, kerlap-kerlip lampu warna-warni menyambut mereka, menghiasi malam dengan cahaya ceria. Musik dari wahana-wahana pasar malam terdengar nyaring, menciptakan suasana riang yang tak terbendung.

Tenda-tenda penuh boneka lucu, penjual balon dan kembang gula bertebaran di sepanjang jalan.

Tak heran, pasar malam begitu ramai, karena besok adalah hari libur, dan banyak orang ingin memanfaatkannya untuk bersenang-senang.

Love it's a woundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang