Sebelum sepenuhnya meninggalkan sekolah, Ryan mengubah arah dan menuju kantin, berencana untuk membeli minuman. Langkahnya mantap dan pasti, memisahkan dirinya dari kerumunan siswa yang berhamburan keluar, menuju area kantin yang mulai sunyi.
Setelah membayar minuman kaleng itu, Ryan duduk di salah satu kursi kantin, pikirannya melayang kembali ke kejadian yang baru saja terjadi.
Bagaimana mungkin dia bisa tetap bersikap tenang saat menyaksikan orang yang diam-diam disukainya selama ini tertawa riang bersama pria lain? Rasanya perih, seperti ada luka yang tergores di dalam dadanya.
Tanpa disadari, minuman kaleng di tangan Ryan telah kosong, tidak menyisakan setetes pun. Ia menatap seluruh sudut kantin hingga matanya tertuju pada tempat sampah berwarna biru yang terletak tidak jauh dari tempat duduknya.
Enggan untuk bangkit, Ryan memilih untuk melemparkan kaleng itu dari tempat duduknya. Namun, alih-alih masuk ke dalam tempat sampah, kaleng tersebut meleset dan mengenai kepala seorang gadis yang sedang melintasi tempat sampah.
"Aww, aduh, sakit," keluh gadis itu, meringis sambil mengelus kepala yang baru saja terkena kaleng yang dilemparkan.
Melihat itu, Ryan menelan saliva dengan susah payah, merasakan penyesalan mendalam karena kemalasannya membuang kaleng dengan benar telah melukai seseorang. Dengan langkah hati-hati, ia mendekati gadis yang terkena kaleng, berusaha untuk memperbaiki kesalahannya.
"Ekhem," Ryan berdeham saat berdiri tepat di belakang gadis itu. Gadis dengan tinggi yang hanya mencapai hidungnya, Ryan segera mengenali bahwa gadis itu adalah kakak kelas, terlihat dari simbol di seragamnya.
Gadis yang mendengar suara berdeham di belakangnya langsung menoleh. Kontak mata tak bisa dihindari, Ryan terus memandangi wajah gadis di depannya, dan dalam beberapa detik, jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. "Ooh ayolah, kenapa ini?" pikirnya. "Hanya menatap wajah seorang gadis, tapi kenapa jantung gue jadi berdebar?"
Dengan usaha keras untuk mengatasi kegugupan, Ryan memalingkan wajahnya untuk mengakhiri kontak mata, lalu berbicara dengan suara agak canggung, "Sorry ya, kaleng minuman gue kena kepala lo."
Ryan menatap gadis di depannya yang tetap diam, tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dengan waspada, ia mengira gadis itu mungkin akan menjambak rambutnya seperti yang sering ia dengar tentang reaksi cewek yang marah. Namun, dugaan Ryan meleset. Gadis itu hanya mengucapkan satu kata, "Iya," lalu segera beranjak pergi tanpa pamit.
Ryan tetap berdiri di tempat, pikiranannya berkecamuk, bertanya-tanya, "Kenapa tidak ada drama marah-marah atau jambak-jambakan?"
Fokus Ryan kembali setelah menyadari gadis itu mulai menghilang dari pandangan matanya. Dengan cepat, Ryan mengejar gadis tersebut dan menemukannya duduk di salah satu bangku di depan kelas, sambil mengelus kepala dengan cemas.
"Apa itu benar-benar sakit sampai gadis ini masih terus mengelus kepalanya?" pikir Ryan.
Ryan mendekati gadis itu lagi dan bertanya, "Lo nggak apa-apa, kan? Perlu gue bawa ke rumah sakit?" Ryan mencoba menawarkan bantuan.
"Gak perlu," jawab gadis itu dengan singkat.
"Tapi nanti infeksi gimana? Ayo, gue antar." Ryan masih mencoba membujuk gadis itu.
Ryan melihat ekspresi kesal di wajah gadis di depannya.
"Gue nggak apa-apa, lagian cuma kena kaleng minuman doang. Masa infeksi sih?"
"Ya, gue cuma ngasih tahu. Soalnya, beberapa bulan lalu, tetangga gue kena kaleng berkarat di kakinya, dan infeksi akibatnya bikin dia meninggal dua minggu yang lalu," ujar Ryan dengan senyum jahil.
"Lo nggak usah nakut-nakutin deh," gadis itu menjawab dengan nada kesal.
"Gue cuma cerita doang. Ah, yaudah lah, gue balik duluan. Hati-hati ya, infeksi terus meninggal, ih, serem," tambah Ryan dengan nada jahil.
"Tunggu dulu, jangan pergi," kata gadis itu, suaranya bergetar penuh kekhawatiran.
"Kenapa?" tanya Ryan, bingung dengan perubahan tiba-tiba pada gadis itu.
"Yang lo ceritain tadi beneran?" gadis itu bertanya lagi, menatap Ryan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Bener," jawab Ryan, mengangguk serius.
Mata gadis itu semakin berkaca-kaca, dan air mata mulai menetes di pipinya. Dengan suara gemetar penuh kecemasan, dia bertanya, "Gimana kalau gue infeksi terus meninggal?"
Ryan yang tadinya tersenyum jahil tiba-tiba panik. Dia hanya ingin sedikit menjahili gadis itu, tapi kenapa reaksinya bisa sampai seperti ini? Ryan semakin panik ketika gadis itu tak kunjung berhenti menangis.
"Berhenti dong nangisnya, gue cuma bercanda tadi, serius."
"Jangan nangis lagi," Ryan berusaha menenangkan sambil perlahan menepuk-nepuk kepala gadis di depannya. Perlahan, gadis itu mulai tenang.
"Maaf ya, gue cuma bercanda doang. Nggak bermaksud bikin lo sampai nangis gini."
Kegiatan mereka berakhir ketika seseorang memanggil gadis itu untuk mengajaknya pulang. Ryan merasa menyesal karena belum sempat mengetahui nama gadis tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love it's a wound
Fiksi RemajaKetika awan kelabu mulai menggantung di cakrawala harapannya, keraguan pun menyergap: mungkinkah cinta yang terasa manis ini berakhir menjadi kepedihan yang tak terucap? Risa Azkia B, gadis berambut hitam legam, sehalus malam tanpa bintang, masih be...