Sudah dua hari Risa absen dari sekolah karena sakit. Khawatir dengan kondisi sahabat mereka, Ryan, Zaki, Rafqi, Kayla, dan Nara sepakat untuk menjenguknya sepulang sekolah. Setelah menempuh perjalanan yang terasa sedikit lebih panjang karena perasaan cemas, mereka akhirnya tiba di rumah Risa dan disambut oleh ibunya, Meyra.
"Oh, kalian sudah sampai. Ayo, masuk," sapa Meyra dengan senyum lembut yang mencerminkan kehangatan seorang ibu.
"Iya, Tante," jawab Ryan, Rafqi, Zaki, dan Kayla hampir bersamaan, seakan menguatkan kekompakan mereka.
"Ini ada sedikit bingkisan dari kami. Semoga Risa cepat sembuh," kata Nara dengan senyum tipis, menyerahkan bingkisan tersebut yang dibungkus rapi.
"Terima kasih banyak, ya. Tante sangat menghargai perhatian kalian," balas Meyra, suaranya penuh ketulusan, membuat suasana semakin hangat meskipun hari itu mendung.
Mereka semua melangkah masuk ke kamar Risa dengan hati-hati, seolah tidak ingin mengganggu istirahatnya. Hening sejenak, sebelum Vino muncul di ambang pintu, menatap mereka dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Eh, kembaran Abang ke mana?" tanya Zaki, melirik sekeliling, mencari sosok yang biasanya tak jauh dari Vino.
"Kembaran? Sejak kapan gue punya kembaran?" Vino menjawab dengan nada bingung, alisnya berkerut ringan.
"Bang Kevin," jelas Zaki dengan senyum sabar, mencoba memperbaiki maksudnya.
"Oh, Kevin... Dia belum pulang, mungkin lagi nongkrong sama teman-temannya," balas Vino dengan nada santai, sambil menyandarkan diri di kusen pintu.
Ryan mendekat ke ranjang Risa dengan perhatian ekstra. "Kamu udah minum obat?" tanyanya lembut, nadanya mencerminkan rasa sayang dan khawatir.
"Enggak mau, obat itu pahit," keluh Risa sambil menatapnya dengan mata penuh keluhan, seolah mencari pembenaran.
"Kalau kamu gak minum, gimana mau sembuh, sayang?" tanya Ryan dengan nada lembut, sedikit memohon, berharap Risa mau mendengarkannya.
"Kan kemarin aku udah minum. Jadi hari ini nggak usah," jawab Risa, tetap bersikeras.
Vino, yang tak tahan lagi mendengar alasan adiknya, menyela dengan keluhan. "Bandel banget dia, Yan. Dari tadi pagi disuruh minum obat nggak mau, alasan terus," katanya, menatap Risa seakan mengadu pada Ryan.
"Pahit, Bang. Abang coba aja minum kalau nggak percaya," ujar Risa, mencoba mengalihkan pembicaraan dengan nada nakal.
"Obat memang pahit, karena yang manis itu cuma hubungan di awal," celetuk Nara dengan nada lesu, matanya menerawang seolah ada beban berat di pikirannya.
"Curhat, kak?" tanya Kayla dengan cepat, melirik Nara dengan tatapan sedikit tajam, jelas menangkap maksud tersembunyi di balik kalimat itu.
Ryan, yang tak ingin suasana semakin suram, mencoba mencairkan suasana. "Minum obatnya sambil lihat muka aku aja, biar terasa manis," katanya sambil tertawa kecil, mengedipkan mata ke arah Risa, mencoba membuat kekasihnya tersenyum.
Zaki, yang selalu siap dengan candaan, langsung berseru, "Aduh, serasa numpang tinggal di bumi. Ayo-ayo, siapa yang mau ke Mars? Kita berangkat sore ini!" ucapnya penuh semangat, seolah sedang memimpin misi pelarian dari segala drama.
"Ikut, Zak," kata Kayla tanpa ragu, angkat tangan seolah benar-benar siap untuk pergi.
"Gue juga," tambah Nara, ikut masuk ke dalam gurauan meski ekspresinya masih menyiratkan kelelahan hati.
Tapi Kayla tak mau melepaskan Nara begitu saja. "Lo nggak di ajak, urusin si Navio yang katanya itu cewek cuma sepupu, eh malah sayang-sayangan," sindir Kayla tajam, matanya berkilat, menyinggung kisah yang baru saja terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love it's a wound
Teen FictionKetika awan kelabu mulai menggantung di cakrawala harapannya, keraguan pun menyergap: mungkinkah cinta yang terasa manis ini berakhir menjadi kepedihan yang tak terucap? Risa Azkia B, gadis berambut hitam legam, sehalus malam tanpa bintang, masih be...