"Aku tidak jatuh cinta dengan pesonamu, melainkan aku jatuh cinta karena akhlak, iman, dan agama yang kamu miliki."
•••
Zia tampak menutupi seluruh raga menggunakan selimut. Dia sama sekali tidak menyangka akan kehadiran Zidan di rumahnya malam ini. Walau tidak sendiri, setidaknya lelaki pujaan hatinya itu datang dengan niat menjenguk.
Jujur sahaja, dalam hati Zia penasaran, ide menjenguk dirinya ini diberikan oleh siapa. Rasa bahagia di hati dipastikan akan kian membuncah jika Zidan yang ternyata memberikan ide tersebut. Pertanda bahwa sosok itu peduli terhadap dirinya, meskipun sekadar sebagai rasa kemanusiaan.
"Zi? Udah minum obat? Jangan lupa minum, ya. Gue disuruh ngingetin sama nyokap lo," kata Eva, tiba-tiba masuk ke dalam kamar.
Tampak perempuan itu baru sahaja selesai dari mandi malam. Tidak mengherankan, mengingat ini adalah kebiasaan Eva—membersihkan diri di saat matahari telah berganti menjadi rembulan.
"Iya, tadi udah, kok," jawab Zia, menurunkan sedikit selimut yang menutupi wajah. Hingga tanpa sadar menampilkan semburat merah di kedua dinding pipi.
Eva yang melihat itu dibuat mengerutkan dahi samar. Dia pun bertanya, "Saking panasnya tubuh lo, pipi lo sampe semerah itu, ya?"
Mendengar itu, refleks kedua telapak tangan sang empu memegang masing-masing pipi. Memastikan pertanyaan Eva barusan pasal rona merah yang memang hadir bersamaan dengan rasa hangat. Namun, Zia tahu jikalau itu bukan karena demam, melainkan akibat euforia di dalam dada sana.
"Mungkin ... makanya doain biar aku cepet sembuh!" ujarnya guna meminimalisir perasaan membahagiakan di benak sana.
"Aamiin. Ngomong-ngomong, itu di depan ramai ada siapa?"
Zia sontak menyibakkan selimut dari seluruh tubuh, berganti posisi rebahan menjadi duduk dan bersandar di kepala ranjang. "Ada anak-anak dari mushola paman sama Mas Zidan juga Mas Adnan," ucapnya.
Hingga di luar dugaan, Eva langsung keluar dari kamar tanpa mengenakan hijab. Zia kira perempuan itu hendak beranjak ke ruang tamu, sehingga karena panik dirinya pun turut menyusul. Namun, ternyata Eva hanya mengintip melalui balik puntu. Di mana di ruang tamu sana masih terdapat Zidan dan Adnan bersama ayah serta ibunya. Ditambah, sang paman kini juga bergabung bersama yang lain, entah kapan beliau datang.
Sedangkan anak-anak, sepertinya mereka semua sudah kembali ke rumah masing-masing.
"Ngapain ngintip-ngintip, sih? Kalo penasaran, ya samperin aja," bisik Zia yang jua ikut mengintip.
"Sttt, jangan berisik."
Zia hanya bisa memasang wajah cemberut. Jujur, dia juga penasaran mengapa Eva begitu semangat 45 seperti ini. Bahkan dia sampai menempelkan sebelah telinga ke pintu, seolah ingin memperjelas indra pendengaran mengenai percakapan beberapa insan di ruang sana.
"Gue cuma kepo, kalo mereka ngumpul ngomongin apa, ya kira-kita?" tutur Eva seolah menjawab pertanyaan dalam benak Zia.
Zia yang mendengar itu sontak memandang Eva dari samping. Dari raut wajah, seakan dia berujar, "Cuma karena itu dia ngintip?"
Hingga beberapa detik kemudian, ponsel milik Eva bergetar. Menunjukkan bahwa terdapat panggilan masuk dari nomor yang disimpan dengan emoticon hati merah, siapa lagi jika bukan sang pacar.
"Halo, Sayang?"
Perlahan Eva melangkah mundur. Meninggalkan Zia di posisi awal yaitu di balik pintu penghubung antara ruang tamu dan ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}
RomanceDia sosok yang Zia kagumi semenjak melihatnya menjadi imam sholat di mushola milik sang paman. Sepele memang, tetapi bagi Zia ... itu adalah sebuah keajaiban. Karena sejak saat itu, rasa kagum dan suka tumbuh dalam benak. "Maaf kalo hamba lancang, T...