"Sejenak diri ini merenung, mungkin pertemuan kita sebatas ujian saja. Bukan pertanda bahwa kita adalah takdir di dunia dan akhirat sana."
•••
Takdir mengenai jodoh memang tidak ada yang tahu. Namun, konon katanya, jodoh bisa diubah dan diusahakan. Hingga ikhtiar sangat dibutuhkan dalam perkara ini.
Akan tetapi, hal tersebut sedang tidak inginkan oleh Zia. Kini dia sudah pasrah dan enggan ambil pusing pasal perkara jodoh. Jika dipikir-pikir, jika lelaki yang kini singgah di hati adalah jodoh yang Tuhan kirimkan, pasti dia akan kembali dengan cara apa pun.
Semenjak kabar batalnya pertunangan antara Zidan dan Zahra tersebar, Zia menjadi merasa bersalah. Dia berpikir bahwa Zahra khawatir jikalau dirinya akan merebut calonnya itu, mengingat perempuan hafidzah tersebut sudah mengetahui perasannya terhadap Zidan.
Kewarasan Zia masih ada. Memang dia menaruh rasa kepada Zidan, tetapi bukan berarti diri memanfaatkan kesempatan ini untuk mendekati lelaki itu.
Mau bagaimanapun, Zia masih memiliki simpati.
"Mba Zia? Kirain Mba nggak bakal dateng ke sini lagi."
Zia yang baru menapakkan kaki di teras mushola langsung dibuat meringis. Sejujurnya dia tidak ada niat datang ke tempat suci ini. Namun, akibat permintaan sang nenek dan sang kakek karena dirinya sempat menjadi bahan pembicaraan para jamaah---terutama para ibu-ibu, alhasil Zia terpaksa kembali menginjakkan kaki di Mushola Al-Ikhlas. Dengan begitu, para ibu-ibu itu tidak akan berani membicarakannya lagi terkait batalnya pertunangan Zidan dan Zahra.
Mereka menganggap, kegagalan perjodohan dua insan tersebut disebabkan oleh Zia.
"Zi, kamu udah tau soal batalnya pertunangan Zidan dan Zahra?" Pertanyaan sensitif ini tiba-tiba terlontar dari mulut sang bibi.
Mau tak mau, Zia terpaksa harus merespon jujur. "Udah, Bi."
"Oh, tau dari mana? Dari ibu atau nenek kamu?" Bibi Zia masih saja terus bertanya, membuatnya kurang nyaman. Beruntung sholat tiga dan empat rakaat sudah dilalui, sehingga dia memilih langsung beranjak meninggalkan mushola meski harus seorang diri.
Namun, di tengah jalan dia dikejutkan oleh kemunculan seseorang. Dari balik punggung, Adnan memanggil namanya sebelum berjalan mensejajarkan posisi mereka berdua.
Jelas hal tersebut membuat Zia panik bukan main. Pasalnya, kini mereka hanya berdua di tengah jalan setapak tanpa ada perumahan---ditambah, lampu jalanan amat temaram. Seketika Zia merasa menyesal karena enggan menunggu kakek serta neneknya atau meminta dijemput oleh sang ayah.
"Ke-kenapa, Mas?" Zia mengambil langkah ke sisi kiri, memangkas jarak antara dirinya dengan raga Adnan.
"Pulang sendirian? Lebih baik saya antar, ya? Nggak baik perempuan pulang sendirian malam-malam kaya ini. Tenang aja, saya nggak bakal macam-macam."
Bukannya tenang, Zia justru bertambah waspada. Dia spontan menelan ludah lalu mempersilakan supaya Adnan berjalan lebih dahulu. Hingga barulah diri menyusul dari belakang, setidaknya dengan begini dia merasa lebih aman.
"Zia, gimana tanggapan kamu tentang batalnya pertunangan Zidan dan Zahra? Kamu pasti senang, ya?" tanya Adnan di luar prediksi, tetap melanjutkan langkah tanpa menoleh ke belakang guna menatap sang lawan bicara.
Sejujurnya Zia telah menduga sedari tadi, pasti lelaki dengan sarung bermotif kotak-kota itu akan mempertanyakan masalah satu ini. Dia pasti ingin memojokkannya meskipun pertanyaan barusan terkesan biasa, tetapi terdengar sangat sensitif.
"Itu bukan urusan saya, Mas. Jadi, saya rasa tidak wajib untuk berkomentar." Hanya jawaban inilah yang melintas di otak Zia dan dirasa aman sebagai respon.
Namun, tanpa Zia ketahui, Adnan sempat mendengkus lirih di depan sana mendengar tanggapannya barusan.
•••
Setelah beberapa hari jatuh sakit, akhirnya kini ibu Zia telah sembuh. Demam wanita itu berhasil menurun pun dia sudah bisa menjalankan aktivitas sehari-hari sebagai ibu rumah tangga.
Enggan membuang waktu, hari itu juga Zia memesan tiket kereta api secara online untuk kembali ke Yogyakarta. Dia mendapat waktu keberangkatan setelah dzuhur.
Andai sahaja liburannya berjalan lancar, dia mungkin akan menghabiskan sisa masa beberapa hari lagi di tempat kelahiran. Akan tetapi, akibat kejadian di luar prediksi, terpaksa dia harus pulang ke kosan lebih awal.
"Kenapa nggak besok aja balik ke Jogjanya? Biar nanti ibu masakin dan bawain kamu bekel," kata Murni saat melihat sang putri tengah memasukan baju ke dalam tas ransel.
"Ada yang mau aku urus, Mah di sana. Jadi, nggak bisa diundur lagi," jawab Zia, terpaksa berdusta.
Alhasil, setelah menyantap makan siang juga mendirikan sholat dzuhur, Zia diantar menuju stasiun di daerah perkotaan oleh sang ayah. Namun, keinginan perempuan berjaket merah maroon untuk segera sampai di Kota Pelajar lagi-lagi mendapat kendala saat sosok familier mencegah perjalan. Padahal baru sekian meter roda matic motor milik ayahnya melaju di jalanan aspal depan rumah.
"Turun kamu!"
Jantung Zia seketika berdetak cepat saat mendapati kedatangan Zahra. Perempuan bergamis tersebut langsung menarik tangannya, memaksa agar segera turun dari boncengan motor bermerek Honda.
"Sakit, Mba!" Zia bahkan refleks menyentakkan tangan Zahra tatkala sang empu mencengkeram pergelangan tangan cukup erat. Sampai meninggalkan jejak memerah di sana.
"Dasar perempuan nggak tau diri! Gara-gara kamu, pertunanganku sama Zidan gagal!" seru Zahra dengan mata melotot tajam. "Pasti kamu seneng 'kan sekarang karena bisa kegatelan sama Zidan?!"
Sorot mata perempuan berjilbab persegi empat berwarna biru itu amat menusuk. Diikuti kesepuluh jemari mengepal erat, membuat sosok di hadapan raga merasa terintimidasi.
Mendengar itu, jelas darah Zia terasa mendidih. Terlebih suara bernada tinggi Zahra membuat sang ibu di dalam rumah keluar, diikuti beberapa tetangga yang mendengar suara menggelegar perempuan yang menyandang status sebagai hafidzah tersebut.
"Maaf, Mba. Kalo kedatangan Mba ke sini cuma mau maki-maki, saya nggak ada waktu. Kegagalan pertunangan Mba sama Mas Zidan itu karena ulah Mba sendiri, bulan salah saya," tukas Zia tak mau kalah. Sebisa mungkin, diri menahan amarah dalam benak meskipun nada bicaranya jua terdengar ketus.
Hingga perkataan ini berujung memancing dan kian menyulut amarah Zahra. Tanpa pikir panjang, dia mengangkat tangan sebelah kanan lalu mendaratkan tamparan keras di pipi kiri Zia.
Rasanya amat perih, membuat sang korban merintih kesakitan dan kedua mata memerah menahan tangis.
"Eh, jangan kasar!" Ibu Zia lantas berlari lalu memeluk sang putri walaupun pergerakannya terlambat.
Begitu pula dengan ayah Zia, pria itu berusaha mengontrol Zahra yang tingkahnya semakin menjadi-jadi. Seakan lupa dengan keberadaannya sedang di desa orang lain, sehingga sumpah serapah dilontarkan secara gamblang kepada Zia.
Di sela keadaan runyam nan riuh di jalanan aspal kecil, sosok yang menjadi penyebab pertengkaran itu datang. Ternyata, kedatangannya karena disusul oleh salah satu penduduk yang menyaksikan perselisihan dua kaum hawa berbeda gender tadi.
"Zahra? Melihat kamu kaya gini, saya semakin yakin kalo keputusan saya membatalkan perjodohan kita itu benar," ujar Zidan kepada Zahra. Dia tampak tenang, tetapi air muka menampilkan perasaan kecewa begitu mendalam.
Bukannya sadar diri, perilaku Zahra justru semakin sukar dikendalikan. Dia nyaris melukai Zia jikalau tidak dijauhkan.
Sedangkan Zia yang ketakutan akibat tingkah Zahra dan gunjingan sekitar hanya bisa menangis di pelukan sang ibu. Kesekian kali, niat guna kembali ke Yogyakarta gagal. Hingga tiket yang sudah dibeli harus direlakan hangus.
Sungguh, perasaan menyesal Zia bertambah kali lipat. Seharusnya, perasaan 'suka' ini tidak pernah hadir.
Dia menyesal ... teramat menyesal.
•••
TBC ⊱🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}
Любовные романыDia sosok yang Zia kagumi semenjak melihatnya menjadi imam sholat di mushola milik sang paman. Sepele memang, tetapi bagi Zia ... itu adalah sebuah keajaiban. Karena sejak saat itu, rasa kagum dan suka tumbuh dalam benak. "Maaf kalo hamba lancang, T...