"Jika mencintaimu adalah sebuah kesalahan, maka melupakanmu adalah keharusan."
•••
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba. Zia harus memberikan jawaban pasal ajakan ta'aruf Adnan tempo hari. Dia sudah sangat yakin, pun pada akhirnya kedua orang tua menyerahkan segala keputusan kepadanya. Mau bagaimanapun, Zia jauh lebih berhak memutuskan kebahagiaan diri sendiri.
"Ya, sudah kalo begitu. Mamah terserah kamu aja."
Zia tahu jika sebenarnya sang ibu merasa kecewa dengan keputusannya ini. Namun, apalah daya, perasaan tidak bisa dipaksakan. Ditambah, jawaban sholat istikharah pasal Adnan memang tidak baik. Jadi, jawaban 'tidak' memang paling benar dan tepat untuk sekarang.
"Jadi, apa jawabannya, Zia?" tanya Adnan, tampak tak sabar.
Zia bahkan tidak habis pikir, Adnan benar datang ke rumahnya seorang diri di pagi hari. Padahal dirinya sudah berkata akan memberikan jawaban nanti malam saat di mushola.
"Maaf, sebelumnya, Mas. Tapi, saya---"
"Aku harap kalimat berawalan maaf ini bukan berarti kamu menolak 'kan?" potong Adnan, menyela ucapan Zia barusan, membuat gadis itu menarik lalu menghela napas perlahan.
Sungguh, semakin ke sini Zia merasa bahwasanya Adnan ini memang tipikal lelaki kurang sabaran. Terlebih, sorot matanya kini terlihat tajam. Seakan memaksa dan mengancam lawan bicaranya melalui sorot aksa yang entah dibuat-buat atau memang begitu adanya di setiap situasi.
"Maaf, Mas. Tapi, memang saya belum bisa menerima ajakan ta'aruf, Mas. Saya harap Mas Adnan bisa mengerti."
Benar saja, setelah mendengar jawaban tersebut, sorot mata lelaki berkoko putih tulang itu langsung menajam. Riak wajah perlahan berubah serius diikut pertanyaan, "Kenapa? Bisa kasih Mas alasan yang jelas?"
Diam-diam Zia menelan ludah kasar. Jujur, di lubuk terdalam perempuan itu merasa takut menghadapi situasi ini. Dia lantas menundukkan wajah, terdiam beberapa saat guna memikirkan kalimat jawaban tidak menyinggung hati sosok di hadapan raga.
"Saya ingin fokus kuliah. Ditambah, di semester selanjutnya saya harus mengurus skripsi," katanya kemudian dengan intonasi rendah, tetapi pasti.
Detik berikutnya, telapak tangan Adnan bergerak mengusap wajah sendiri. Dia terdiam beberapa detik lantas menghela napas kasar sebelum kembali menatap Zia. "Oke, semoga benar begitu, ya. Bukan karena perasaan kamu ke Zidan."
Setelah mengatakan itu, tanpa berpamitan Adnan langsung pergi meninggalkan rumah Zia. Jelas sang empu merasa bersalah sekaligus heran. Meskipun sedang merasa kecewa, seharusnya dia tetap mengutamakan adab. Bukan pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pamitan.
Sejak kejadian itu, Zia memutuskan untuk segera kembali ke Yogyakarta. Namun, keinginan tersebut terpaksa dibatalkan ketika sang ibu jatuh sakit.
Alhasil, dia harus tetap stay di rumah guna menjaga wanita yang telah melahirkannya sampai sembuh. Dia hanya bisa berdoa, semoga tidak ada kejadian lain lagi yang malah menambah masalah selama sisa liburan ini.
"Maaf, ya, Mah kalo Mamah sakit gara-gara Zia. Zia bener-bener belum bisa ngewujudin permintaan Mamah yang satu ini."
•••
Siang itu perempuan dengan toples di atas pangkuan sedang menonton sebuah kartun kembar berkepala botak di televisi. Awalnya dia amat menikmati me time di ruang tengah tersebut meskipun tanpa kegiatan lebih bermanfaat. Namun, tiba-tiba notifikasi pesan terdengar masuk beberapa kali, membuat kenyamanannya menjadi sedikit terganggu.
"Siapa, sih?"
Alhasil, ponsel yang berada di sisi kiri tubuh Zia ambil guna menilik siapa pengirim pesan barusan. Bibir pucat tanpa gurat apa pun seketika tertarik sedikit saat mengetahui jika Zidan-lah sang empu chat barusan. Hingga tanpa pikir panjang, dia langsung membaca pesan yang terdiri dari tiga deret dengan berbeda waktu pengiriman.
[Siang ini ada waktu tidak?]
[Aku mau ketemu, kira-kira bisa nggak?]
[Ada hal penting yang mau disampein. Soal waktu dan tempat, boleh kamu yang nentuin.]
Lagi, tanpa bisa dicegah, seulas senyum muncul menghiasi bibir tipis Zia. Dia lantas membalas pesan tersebut disertai perasaan riang.
[Bisa, Mas. Abis dzuhur aja gimana? Untuk tempat, nanti aku sherlock, ya.]
Jujur saja, Zia penasaran dengan hal penting apa yang akan lelaki tampan itu sampaikan. Ditambah, ajakan pertemuan ini begitu mendadak. Hingga pemikiran dari segala kemungkinan langsung berkeliaran di otak. Ditambah apa sahaja yang nanti akan terjadi di sana.
"Berarti kami berduaan aja, dong?" Tiba-tiba pemikiran tersebut timbul.
Akan tetapi, perkiraannya salah besar. Zidan meminta agar Zia membawa teman di pertemuan mereka nanti. Jelas Zia langsung teringat Silva, mengajak perempuan itu untuk datang ke kafe terdekat di daerahnya.
"Sudah dari tadi?"
Zia langsung mengalihkan atensi tatkala suara berat nan rendah tersebut terdengar. Sungguh, debaran jantungnya sukar dikondisikan saat melihat penampilan Zidan siang ini. Dia terlihat tampan meski pakaiannya amat sederhana---hanya mengenakan celana levis panjang dipadukan hoodie biru dongker.
"Belum, kok, Mas. Kami juga baru aja sampe," jawab Zia kemudian diselingi senyum tipis.
Meski tidak hanya berdua akibat keberadaan Silva, Zia tetap merasa grogi. Di satu sisi, perasaan bahagia menyelinap masuk mendominasi hati. Namun, euforia itu tidak bertahan lama manakala netranya menangkap keberadaan kaum adam lain di balik punggung Zidan, siapa lagi jika bukan Adnan.
Jangan bilang, Mas Zidan ngajak ketemuan buat bahas penolakanku?
Benar saja, terkaan Zia tepat sasaran. Zidan mengira bahwa dirinya menolak ajakan Adnan karena perasaannya terhadap lelaki itu. Jelas rasa sakit sekaligus rasa malu melekat dalam benak, membuat mood berubah menjadi buruk.
"Maaf, Mas. Tapi, aku nolak Mas Adnan karena mau fokus kuliah. Bukan karena perasaanku ke Mas Zidan." Kala mengatakan ini, suara Zia seakan menahan tangis.
Silva yang berada di sampingnya hanya mampu menenangkan, melalui cara menggenggam sebelah tangan Zia dari bawah meja.
"Yakin, Zia? Bukan karena perasaan kamu terhadap Zidan?" Kali ini Adnan membuka suara.
Bukannya keadaan menjadi tenang, perasaan Zia justru bertambah runyam. Keputusan bersedia datang ke sini merupakan kesalahan besar, sehingga mendadak kepalanya terasa pening.
"Ini perasaan saya, jadi saya yang lebih tau. Lagi pula, saya berhak menolak, bukan?" tukasnya dengan intonasi sinis, membuat ketiga insan di dekatnya kini terkejut. "Soal rasa saya ke Mas Zidan itu memang fakta. Tapi, bukan berarti kalo saya menolak Mas Adnan itu karena Mas Zidan. Ini keputusan saya yang tidak bisa diganggu gugat."
Detik itu juga, Zia bangkit dari posisi duduk. Sampai-sampai pesanan minuman yang baru datang belum sempat dia cicipi. "Setiap manusia memiliki hak untuk menolak. Tapi, yang perlu diingat, dengan adanya pertemuan ini saya semakin yakin dan tidak menyesal karena telah menolak Mas Adnan."
Dia lantas pergi meninggalkan kafe di pinggir jalan raya, bahkan lupa mengajak Silva yang masih duduk di posisi semula.
Sungguh demi apa pun, dia merasa sangat kesal. Zia tahu dan sadar jikalau perkataannya tadi sudah keterlaluan. Namun, apabila tidak dipertegas, maka Zidan dan Adnan akan semakin menginjak harga dirinya.
"Bahkan kalo pun yang dateng ke rumah itu Mas Zidan, belum tentu gue terima," gumamnya sembari meremas jemari sendiri.
•••
TBC ⊱🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}
DragosteDia sosok yang Zia kagumi semenjak melihatnya menjadi imam sholat di mushola milik sang paman. Sepele memang, tetapi bagi Zia ... itu adalah sebuah keajaiban. Karena sejak saat itu, rasa kagum dan suka tumbuh dalam benak. "Maaf kalo hamba lancang, T...