"Telah kutundukkan pandangan mataku, tetapi hatiku tetap saja menoleh kepadamu."
•••
Zia dan Silva memutuskan tidak langsung kembali ke rumah masing-masing. Mereka berdua bertandang lebih dahulu ke tempat mie ayam yang berada di pinggir jalan. Mengingat dua insan tersebut sudah sama-sama merasa kelaparan.
"Bu, pesen mie ayam dan es teh dua porsi, ya," kata Zia kepada sang penjual.
Mereka berdua lalu mencari posisi duduk paling nyaman. Beruntung masih terdapat meja dan kursi kosong teruntuk ditempati. Zia dan Silva duduk saling berhadapan agar lebih mudah dalam berkomunikasi. Selama menunggu, Zia memanfaatkan masa untuk mencurahkan isi hati yang terasa mengganjal. Sekaligus menceritakan pasal Zidan yang tadi sempat dijanjikan kepada Silva.
"Jadi, gimana soal si Z itu?" tanya perempuan tersebut, sudah penasaran akan cerita yang hendak perempuan berjilbab pasmina utarakan.
Sebenarnya Zia sendiri merasa ragu untuk bercerita pun tidak enak karena akan mengganggu privasi dari seorang Zidan. Namun, di satu sisi diri ingin mendengar pendapat Silva setelah ini. Barang kali hati menjadi lebih lega karena bisa mendapat pencerahan.
"Ternyata Mas Zidan udah ada calon tau," ucap Zia hati-hati, sebisa mungkin mengecilkan volume suara agar tidak terdengar telinga lain.
Namun, Silva malah berbanding balik. Dia merespon, "Calon? Maksudnya?" Dengan intonasi biasa layaknya orang mengobrol.
"Sttt, suaramu!" Zia refleks mencondongkan tubuh ke depan guna menabok lengan Silva. Mengode jika suara perempuan itu terlalu keras, takut apabila obrolan terkait Zidan terdengar orang di sekitar.
"Hehe, maaf." Silva meringis, memperlihatkan deretan gigi rapinya. "Soal calon si Zidan tadi, kamu tau dari mana? Dan mereka udah fiks mau nikah?"
Mendapat pertanyaan semacam ini, Zia menjadi teringat obrolan malam itu. Malam di mana Zidan menjawab pertanyaan sang paman dengan tenang dan tidak ada nada keterpaksaan di sana. "Beliau sendiri yang ngakuin dan pastinya udah fiks ...."
Suara Zia ketika berkata demikian terdengar lemas dan pasrah. Membuat Silva paham jika temannya ini tengah patah hati karena harapan pasal kisah asmaranya akan berakhir buruk. Ibarat di medan perang, dia terpaksa harus mundur sebelum maju untuk mulai bertempur.
"Sabar, ya. Berarti ini pertanda kalo dia bukan jodoh kamu." Hanya kalimat itu yang bisa Silva berikan. Ingin memberikan kata-kata motivasi pun dirasa akan percuma.
Sejatinya orang yang sedang patah hati pasti sukar menerima sebuah nasehat, sekalipun masuk akal. Begitulah cinta, amat dahsyat dan mampu membuat manusia buta.
"Cintailah kekasihmu sekadarnya saja, sebab bisa jadi suatu saat kelak kamu akan membencinya, dan jika kamu benci seseorang, bencilah dengan sewajarnya saja, sebab mungkin kelak suatu saat mungkin kamu akan mencintainya". (HR. Tirmidzi).
"Ternyata Mba Zia diem-diem naksir Mas Jidan, ya?"
Tubuh Zia sontak menegang. Dia baru menyadari jika kini dirinya sedang berada di luar rumah. Ditambah, suaranya tadi kurang terkontrol dan menyebut nama Zidan tanpa disensor, sehingga kemungkinan besar telinga lain juga mendengar.
"Eh, nggak, Bu! Kata siapa? Ibu pasti salah denger!" ujar Zia panik bukan main. Dia spontan berdiri sampai tangan tak sengaja menepis gelas es teh di nampan yang sang penjual bawa.
Prang!
Es teh yang belum sama sekali terminum tersebut langsung terbuang sia-sia. Membuat tingkat kepanikan perempuan bergamis putih itu kian meningkat pun timbul perasaan bersalah di benak.
"Bu, m-maaf nggak sengaja! Saya juga minta tolong buat ibu lupain soal pembicaraan saya dan temen saya tadi, ya," katanya lirih. "Jangan kasih tau ke siapa-siapa. Ibu janji?"
Apabila ditanya bagaimana bisa ibu penjual bisa mengenal Zia dan Zidan, alasannya karena Zia merupakan keponakan dari Paman Adam dan sang ayah berprofesi sebagai seseorang yang cukup berpengaruh di desa. Sementara pasal Zidan, lelaki itu memang cukup aktif, sehingga nama serta wajahnya menjadi dikenal. Terlebih paras rupawannya sangat kentara, hingga bisa dikatakan menjadi nilai plus baginya.
•••
Sore ini Zia memutuskan untuk tidak membersihkan tubuh menggunakan air. Cukup berganti pakaian saja, setidaknya agar tubuh tidak merasa risih. Masalahnya entah mengapa, diri merasa seperti demam. Ditambah saat ingin beranjak ke dapur bermaksud mengambil air minum, dia merasa sempoyongan. Beruntung raga masih kuat berdiri dan tidak jatuh membentur lantai keramik.
"Zi, lo sakit?" tanya Eva yang melihat wajah pucat Zia.
Zia hanya bergumam menanggapi. Dia lantas merebahkan diri di samping Eva yang duduk di depan benda elektronik persegi empat. Rasanya sangat tidak nyaman, terlebih kala mata jua ikut memanas ditambah kepala terasa pusing.
"Tante? Kayanya Zia sakit, deh ...."
Zia menoleh ke sebelah kiri, di mana sang ibu baru masuk dari area dapur. Sepertinya wanita itu baru saja selesai memasak untuk makan malam nanti. Beliau lalu melangkah mendekat ke arahnya, menempelkan punggung tangan ke dahi.
"Kayanya kamu kecapean," kata beliau begitu merasakan bahwa suhu tubuh sang putri terasa hangat. "Nanti periksa, ya ke dokter terdekat bareng papah."
Di desa Zia, memang terdapat dokter yang membuka praktek di rumah pribadi selain di rumah sakit. Hingga siapa pun bisa bertandang ke sana, meskipun hanya melayani di saat tertentu yaitu mulai sore sampai dini hari—sebelum beliau kembali berangkat ke tempat kerja.
Alhasil mau tak mau, Zia harus absent mengajar di mushola sang paman malam ini. Padahal dia ingin sekali datang ke sana dengan niat terselubung yaitu bertemu sang pujaan hati.
"Nah, itu Zia pulang!"
Namun, keberuntungan ternyata tengah memihak Zia. Sepulang memeriksakan diri bersama sang ayah, kediamannya didatangi oleh anak-anak yang mengaji di mushola sang paman bersama Zidan dan Adnan.
"Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumussalam!" Mereka yang duduk di ruang tamu dan teras pun menjawab serentak salam Zia.
"Mba Zia lagi sakit, ya? Makanya tadi nggak bisa ngajarin adek?" Salah satu anak perempuan mendekat ke arah Zia, memeluk kakinya yang terbalut oleh rok panjang semata kaki.
"Iya, maaf, ya. Tadi kamu ngajinya diajarin sama siapa?"
"Mas Jidan!"
Spontan netra Zia beralih pada pemilik nama yang duduk di sofa ruang tamu bersama sang ibu. Dia lalu mengalihkan pandangan ketika sang empu justru menatapnya balik.
"Kalo gitu, kamu gabung lagi sama yang lain, ya," pinta Zia pada anak tadi.
Kedatangan anak-anak dan Zidan malam itu membuat keadaan Zia perlahan membaik. Bahkan diam-diam beberapa kali dia mencuri pandang ke arah lelaki berkoko putih dan bersarung.
"Mba Zia mending istirahat aja. Biar cepat sehat."
Zia tersentak manakala Adnan berkata demikian sembari memandangnya. Nyaris sahaja diri tertangkap basah sedang melirik Zidan yang duduk diapit oleh Adnan dan sang ayah.
"Kalo gitu ... saya masuk ke kamar dulu. Terima kasih atas kunjungannya." Dia berdiri dari posisi duduk di sofa. Tak lupa kedua tangan diapit di depan dada, sebagai bentuk berjabat tangan kepada lelaki bukan mahram.
Setelahnya, buru-buru Zia masuk ke dalam kamar. Rasanya debaran jantung sukar sekali dikendalikan, padahal Zidan hanya tersenyum sebagai pertanda mengiyakan ucapannya barusan.
"Astaghfirullah. Maaf, ya, Allah kalo otak hamba mikir aneh-aneh!" Zia terlihat memegang dada sendiri seraya memejam per sekian detik.
•••
TBC ⊱🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}
RomanceDia sosok yang Zia kagumi semenjak melihatnya menjadi imam sholat di mushola milik sang paman. Sepele memang, tetapi bagi Zia ... itu adalah sebuah keajaiban. Karena sejak saat itu, rasa kagum dan suka tumbuh dalam benak. "Maaf kalo hamba lancang, T...