"Biarkan rasa ini bertahan sampai Tuhan sendiri yang menuntun untuk menghilang."
•••
Terlampau terpikirkan oleh kejadian siang tadi, napsu makan Zia menjadi berkurang. Dia pun berakhir demam dan tidak bisa beraktifitas dengan leluasa di rumah. Seharusnya hari ini dia sudah berada di Yogyakarta, menikmati hari-hari tanpa memikirkan hal tidak penting. Lebih memilih mengerjakan skripsi agar segera lulus dari kampus tercinta.
Namun, takdir berkata lain. Bahkan untuk keluar dari kamar saja, Zia seakan kurang mampu. Rasanya tubuh lemas dan kepala berkunang-kunang. Ditambah, kedua mata terasa panas sehingga seakan ingin terus memejam erat.
"Sarapan, Zia."
Zia membuka mata perlahan saat sang ibu masuk ke dalam kamar sembari membawa semangkuk bubur ayam juga segelas air putih. Sesungguhnya dia merasa lapar, tetapi entah mengapa saat suapan pertama, dia malah memuntahkan bubur tersebut. Seakan perut enggan menerima setiap asupan yang seharusnya masuk guna menambah energi.
"Nggak mau, rasanya mual," ujar Zia dengan suara serak.
Tidak tahu ada angin apa, tiba-tiba dia menangis, membuat sang ibu menghela napas pelan lalu berkata, "Kalo nggak mau makan, nanti minum obatnya gimana?"
Zia hanya menggeleng. Perempuan itu kembali merebahkan diri lantas menarik selimut agar menutupi tubuh sampai sebatas leher. Rasanya hawa pagi ini amat dingin, sehingga membuat kulit terasa menggigil.
Refleks, punggung tangan Murni menyentuh dahi sang putri. Memastikan jika suhu demamnya tidak bertambah, mengingat malam tadi dia sudah membawa anaknya tersebut berobat ke dokter yang membuka praktek di rumah. Akan tetapi, dugaannya salah besar.
Saking panasnya demam Zia, dia kerap mengigau. Ditambah secara mendadak Zia menangis tanpa sebab, sehingga orang rumah bahkan kakek neneknya dibuat kelimpungan.
"Mah, maaf ya kalo selama ini aku banyak salah ...."
Perkataan Zia ini jelas mendapat reaksi terkejut dari orang-orang di dekatnya. Murni sampai menangis ketika mendengar pernyataan ngelantur putrinya ini.
Alhasil, siang hari itu jua, Zia dibawa menuju rumah sakit di area kecamatan. Demam yang seharusnya perlahan turun berkat bantuan obat justru berangsur naik.
Tak hanya itu, ternyata Zahra masih kerap menghubungi Zia untuk menyalahkannya atas kegagalan pertunangan dengan Zidan melalui ponsel. Begitu mengetahui itu, ayah Zia jelas sangat marah. Dia hampir mengangkat panggilan perempuan itu guna memaki-maki, tetapi dilarang oleh sang istri.
"Anak Ibu baik-baik saja. Dia memang sedang drop, in syaa Allah besok hari dia sudah lebih baik daripada sekarang," tutur sang dokter setelah memeriksa Zia yang kini terbaring lemah di atas brankar rumah sakit.
Perempuan berhijab itu memejamkan mata sempurna dengan wajah pucat, tetapi tampak damai.
"Kalo gitu, terima kasih, Dok," ucap Murni sebelum kembali masuk ke ruang rawat di lantai dua.
Semoga sahaja, ucapan dokter barusan benar adanya.
•••
Waktu terus berjalan. Perempuan yang tadinya sedang terbaring lemah di atas brankar, kini sudah berpindah posisi dengan bersandar di kepala ranjang.
Zia, sosok berjilbab itu tampak menatap kosong ke arah depan. Membuat sang ibu yang senantiasa menjaganya berusaha membuka obrolan agar putrinya tersebut mau berinteraksi. Walau pada akhirnya, sang empu hanya merespon seadanya tanpa semangat sedikit pun.
"Mau makan buah? Biar mamah potongin, nih," ujar Murni, masih berusaha memancing Zia supaya mengeluarkan suara.
Namun, lawan bicaranya itu membalas sekadar melalui gelengan kepala sebagai respon pertanyaan barusan. Zia terlihat tidak bergairah sama sekali, padahal di atas nakas dekat daksa berbaring terdapat buah kesukaannya yaitu salak.
"Mau salak? Mamah kupasin, ya."
Sejujurnya Zia bisa mendengar jelas setiap perkataan sang ibu. Hanya saja, lidahnya terasa kelu guna terus merespon. Ditambah, keadaan raga tengah kurang baik pun pikiran masih terbebani dengan kejadian hari lalu.
Yang membuat kepala Zia menjadi pening adalah saat Zahra datang untuk menyalahkan dirinya diikuti setiap perkataan pedas. Dia mengatakan seakan-akan dirinya ini idak memiliki harga diri, ditambah banyak tetangga menyaksikan, sehingga diri merasa tersiksa begitu memikirkan tanggapan dari mereka.
Aku udah buat keluarga malu ....
Tanpa bisa ditahan lagi, perlahan bulir bening luruh membasahi dinding pipi. Mengingat keberadaan orang lain di sisi, spontan telapak tangan membungkam bibir meskipun berujung gagal, sebab isak tangis lolos begitu sahaja. Hingga sang ibu yang awalnya fokus pada buah-buahan kini mengalihkan atensi kepadanya.
"Kenapa? Ada yang sakit?" tanya Murni khawatir.
Sontak sang empu menggeleng, dia lantas langsung memeluk raga sang ibu yang duduk tepat di tepi brankar. Dengan tubuh bergetar, bibirnya berucap, "Maaf, ya Mah. Gara-gara aku, kalian jadi malu."
Mendengar ini, Murni mengembuskan napas pelan. Dia memilih mengusap punggung Zia bermaksud menenangkan. Sebagai ibu, wanita tersebut paham betul sifat putrinya ini, mudah sekali terpikirkan oleh suatu perkara. Padahal dirinya dan sang suami tidak mempermasalahkan kejadian tempo lalu.
"Kamu jangan mikirin itu lagi, mamah sama papah nggak marah kok. Kamu jangan terlalu banyak pikiran, fokus ke kesehatan kamu aja, ya," ujarnya kemudian.
Mendengar nasihat beliau, Zia baru teringat bahwa masa liburnya tinggal tersisa satu minggu lagi. Di mana masa perkuliahan akan segera aktif dan perjuangan mengerjakan skripsi harus dimulai.
Mau nggak mau, aku harus segera keluar dari tempat ini.
"Assalamu'alaikum?"
Baru saja bisa menikmati buah yang telah disiapkan sang ibu, Zia kembali merasa tertekan. Rasa manis buah salak serta anggur di mulut seketika menjadi hambar kala mendapati siapa pemilik suara barusan.
Zidan dan Adnan. Dua lelaki tersebut menjenguk Zia di waktu bersamaan.
"Zia, gimana keadaan kamu?"
Pertanyaan ini keluar dari mulut Adnan. Ingin rasanya Zia berteriak kencang. Sudah jelas diri tengah diinfus yang di mana berarti keadaannya belum membaik.
"Kaya yang Mas lihat." Pada akhirnya Zia terpaksa menjawab.
"Semoga lekas membaik, ya biar bisa ngajar anak-anak lagi di mushola." Kini giliran Zidan yang membuka suara.
Jujur, Zia sedikit terkejut mendengarnya. Terlebih, lelaki itu membawakan bubur kacang hijau, salah satu makanan kesukaan di antara jenis bubur lain.
"Terima kasih," balas Zia singkat.
Kebetulan sekali, Zia memang belum menyantap makanan berat untuk meminum jatah obat malam hari. Hingga dia memilih langsung menyantap bubur itu di sela dua orang tadi mengobrol dengan kedua orang tuanya.
"Huek!"
Seketika fokus semua orang tertuju pada Zia yang membungkam mulut menahan mual. Siapa sangka, Zidan bergerak cepat mengambil keresek hitam, bekas wadah bubur kacang hijau yang sempat diri bawa sebagai tempat menampung muntahan Zia.
"Makasih, Mas ...," tutur Zia. Sumpah demi apa pun, rasa malu langsung mendominasi jiwa. Bagaimana bisa di keadaan seperti ini, perut sukar diajak berkompromi.
"Syafakillah, Zia ...."
Hati Zia terasa bergetar saat mendengar suara lembut Zidan sebelum lelaki itu beranjak pulang.
Sungguh, walau kejadian menjengkelkan terkait Zidan sudah terulang beberapa kali, tetapi entah mengapa perasaan asing itu masih nyaman menetap di kalbu.
•••
TBC ⊱🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}
RomanceDia sosok yang Zia kagumi semenjak melihatnya menjadi imam sholat di mushola milik sang paman. Sepele memang, tetapi bagi Zia ... itu adalah sebuah keajaiban. Karena sejak saat itu, rasa kagum dan suka tumbuh dalam benak. "Maaf kalo hamba lancang, T...