"Cinta terbaik adalah di saat kamu mencintai seseorang yang membuat akhlakmu semakin baik, jiwamu semakin damai, dan hatimu semakin bijak." -Al Habib Umar bin Hafidz
•••
Adzan dzuhur pun terdengar berkumandang. Siang itu, Zia baru saja selesai melaksanakan sholat 4 rakaat. Langsung saja dia kembali masuk ke kamar, hingga netra mendapati sosok Eva yang sudah terlelap nyenyak sembari tangan memeluk guling bermotif hello kitty.
"Ya, udah, deh. Aku tinggal aja," gumam Zia lalu menyambar outer guna dipakai sebagai pembalut kaus pendek miliknya.
Tak lupa, sebelum diri memakai jilbab instan berwarna biru dongker, dia membubuhkan bedak padat ke wajah. Hitung-hitung agar kulitnya tidak terlalu pucat, ditambahkan bibir mungil nan tipisnya dipoleskan lipstik berwarna nude.
"Mah, aku mau ke rumah Silva, ya. Nanti kalo si Eva bangun terus nanyain aku, bilang aja aku lagi main ke sana," ujarnya keluar dari kamar dengan kepala sudah mengenakan penutup, sehingga rambut panjangnya tidak terlihat oleh mata.
Setelah itu, perempuan tersebut pun mengeluarkan motor matic dari dalam rumah. Sebenarnya kediaman Silva bisa ditempuh sekitar 10 menit jika berjalan kaki. Namun, merasakan cahaya matahari siang yang cukup panas, dia enggan mengambil risiko.
Hanya membutuhkan beberapa menit, Zia akhirnya sampai di rumah tujuan. Di mana sang pemilik sudah duduk di teras sembari di depannya terdapat teko berisikan es perasan jeruk serta camilan di dalam toples.
"Assalamu'alaikum!" ucap Zia sembari tersenyum, memperlihatkan cekungan kecil di pipi sebelah kiri.
"Wa'alaikumussalam ...," jawab Silva setia dalam posisi duduk bersila. "Kirain kamu nggak jadi dateng."
"Jadi, dong! Ya, kali nggak jadi. Orang udah siap mau mencurahkan segala isi hati, nih!"
Kedatangan Zia ke rumah Silva memang dengan tujuan curhat. Maklum saja, mau bagaimanapun dia juga manusia biasa yang bisa merasakan patah hati. Terlebih setelah kejadian tadi pagi, membuat mood di hari ini kerap berubah-ubah.
"Jadi, gitu! Menurut kamu gimana? Memang, sih aku belum ada hak karena kami nggak ada hubungan apa-apa," tutur Zia memang raut masam.
Mendengar curahan tersebut, Silva tak spontan menanggapi. Dia tampak terdiam beberapa detik lantas berkata, "Si Eva tau 'kan kalo kamu suka sama Mas Zidan? Mungkin cuma buat nambah kontak aja makanya sampe nekat DM Instagram," tukasnya berusaha berpikir positif.
Ya, Zia sudah tahu dari mana Eva mendapatkan nomor WhatsApp Zidan. Perempuan kota itu mencari akun Instagram pribadi lelaki bermata sipit itu lalu mengirim pesan dari sana.
Yang membuat dirinya overthinking adalah mengenai tujuan Eva. Entah untuk keperluan penting apa dia melakukan tindakan seperti demikian. Ditambah lelaki yang berbeda usia tiga tahun darinya itu justru memberikan dengan suka rela.
Apabila ternyata Eva menaruh rasa jua kepada Zidan, hal tersebut terbilang mustahil. Mengingat dia sudah memiliki seorang kekasih di daerah mereka menempuh pendidikan bersama.
"Nggak tau, deh. Yang buat aku kepikiran sampe sekarang itu, si Eva cantik dan kayanya Mas Zidan suka sama dia?" tebak Zia, mengutarakan pemikirannya selama ini.
Sebagai teman yang baik, Silva berusaha menenangkan. Tetap merespon positif perkiraan Zia barusan meskipun dia tidak yakin dengan ucapannya sendiri. "Percaya diri aja, kayanya si Eva bukan tipe Mas Zidan. Dia pasti suka sama cewek yang setara sama dia. Sedangkan temen kamu itu dari penampilan aja udah zonk."
Mendengar jawaban tersebut, Zia refleks mengamati penampilan diri sendiri. Dia mengerti apa maksud dari omongan Silva barusan.
"Mungkin, tapi kayanya aku juga bukan tipe dia," cerca Zia tetap mempertahankan persepsi pribadi.
Seharusnya dia bisa menahan gejolak rasa menyebalkan di hati, sehingga diri tidak akan segalau ini meskipun hasil dari perasaannya malah menyedihkan alias bertepuk sebelah tangan.
Hingga beruntung tiba-tiba ibu Silva muncul dari dalam rumah sembari membawa rantang di tangan. Jika tidak, Zia akan terus menggerutu dan mengeluh, sampai-sampai membuat Silva ikut tertular virus galau.
Namun, sialnya malah petaka baru yang datang, sebab ternyata ibu Silva meminta sang putri bungsu dan dirinya guna mengantarkan rantang di cekalan tadi ke tempat Zidan berada.
"Minta tolong, ya. Nanti balik lagi ke sini, udah disiapin soto buat kalian juga, tuh di meja makan," ujar beliau membuat Zia tak enak hati apabila menolak.
•••
Zia menghentikan langkah, ragu untuk melanjutkan derap kaki meskipun tidak seorang diri. Padahal tinggal beberapa langkah lagi dia dan Silva sampai di kediaman Zidan dan Adnan. Hingga netra mereka bisa menangkap keberadaan dua lelaki berbeda usia tersebut tengah duduk santai di teras rumah.
"Udah ayo, cuma nganter ini. Habis ini kita langsung pulang," kata Silva menarik pergelangan tangan Zia.
Mau tak mau Zia mengikuti Silva dari balik punggung. Seakan menyembunyikan diri dari sorot mata Zidan yang saat itu menyambut kedatangan mereka melalui netra. Meskipun semua sia-sia, karena jelas keberadaan raganya tetap terlihat mengingat tubuhnya lebih tinggi daripada sosok di hadapan raga.
"Assalamu'alaikum, Mas. Kedatangan kami ke sini mau mengantar ini," ucap Silva mengutarakan niat kedatangan mereka seraya mengangkat rantang di tangan. "Pemberian dari ibu, diterima, ya."
Dia pun maju ke depan, mendekat ke arah sisi teras rumah di mana Zidan dan Adnan duduk bersila dengan gelas kopi di hadapan masing-masing. Sedangkan Zia, dia memilih tetap berdiri di tempat. Membiarkan Silva yang menjalankan tugas dari sang ibu.
"Terima kasih, ya. Sampaikan juga ke ibu kamu." Ini suara Zidan, sebab dia yang menerima uluran rantang dari jemari Silva. "Ngomong-ngomong, lagi ada acara, ya di rumah?"
"Nggak ada acara apa-apa, Mas. Cuma lagi pengin masak aja. Kalo gitu, kami permisi." Setelah mengatakan itu, Silva lalu berbalik badan. Seakan peka terhadap kurang nyamannya sang teman karib, Silva memilih enggan berbasa-basi.
"Wassalamu'alaikum ...." Sampai Zia menyempatkan diri mengucapkan salam sebelum jua berbalik badan untuk menyusul Silva.
Namun, mendadak Adnan memanggil dan membuat lagi-lagi dua kaum hawa itu berbalik badan. Padahal sekian jengkal telah mereka ambil, menjauhi area halaman rumah singgah milik kepala desa.
"Kalian ikut makan aja di sini, bareng-bareng biar kerasa lebih nikmat." Permintaan itu terlontar dari mulut Adnan yang menatap Zia dan Silva secara bergantian. "Kalo gitu sebentar, ya. Saya ambil mangkok dulu."
"Nggak perlu, Mas!" Refleks Zia berseru. Bermaksud mengurungkan niat Adnan yang hendak mengambilkan wadah makan teruntuk mereka.
"Kenapa?"
"Maaf, Mas. Kami harus pulang duluan soalnya ada urusan lain. Jadi, belum bisa menerima tawaran tadi." Sebisa mungkin Zia bersikap sopan, memasang senyum tipis agar terkesan lebih ramah.
Namun, bola mata justru tak sengaja bergulir ke samping. Sampai sorot matanya bertemu dengan milik Zidan yang juga sedang memperhatikannya sekilas. Sebelum dia mengalihkan pandangan ke lain arah.
Tring! Tring!
Suara yang berasal dari benda pipih di atas paha Zidan tiba-tiba bergetar. Mengalihkan fokus Adnan dari tamunya itu.
"Angkat, Zid ... telepon dari Zahra itu."
•••
TBC ⊱🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}
RomansaDia sosok yang Zia kagumi semenjak melihatnya menjadi imam sholat di mushola milik sang paman. Sepele memang, tetapi bagi Zia ... itu adalah sebuah keajaiban. Karena sejak saat itu, rasa kagum dan suka tumbuh dalam benak. "Maaf kalo hamba lancang, T...