"Jika Tuhan sendiri yang menjauhkan kita, lantas aku bisa apa selain mengikhlaskan dengan terpaksa?"
•••
Sejak kejadian di kafe, Zia memutuskan untuk tidak ikut mengajar lagi di mushola sang paman. Sebut saja dia egois karena lebih mementingkan urusan pribadi. Mau bagaimana lagi, ini semua demi kepentingan jiwa raganya. Dirinya enggan bertemu dengan Zidan dan Adnan yang pasti datang ke sana setiap malam hari.
"Salah siapa dia ngeselin. Mentang-mentang
dua tahu aku suka sama dia, jadi seenaknya ngomong gitu!" cetus Zia kepada sosok di depannya.Helaan napas berat lalu terdengar, sebelum tangan Zia terulur guna mengambil segelas air es di samping kanannya. Di cuaca panas seperti siang hari ini, memang paling cocok apabila mengonsumsi minuman dingin. Terlebih suasana hati perempuan itu tengah memanas, sehingga membutuhkan hal yang mampu mendinginkan otak mendidih.
"Iya, sih. Aku dengernya juga ikut jengkel, terkesan nyepelin. Tapi, ya ...." Sosok di depan Zia yang tak lain adalah Silva menjeda ucapan sendiri, "maklum dia ngira kaya gitu. Soalnya 'kan kamu memang suka sama dia. Jadi, dia ngira kamu nolak Mas Adnan gara-gara belum bisa move on."
Mendengar perkataan Silva tersebut, Zia berdecak sengit. Temannya ini justru membela Zidan. Namun, meskipun kejadian kemarin sempat membuat mood-nya memburuk, jujur sahaja perasaan asing terhadap lelaki itu masih saja melekat di kalbu.
Pada dasarnya, melupakan seseorang memang tidak semudah membalikan telapak tangan.
Ting!
Di sela perbincangan Zia dan Silva di ruang tamu, notifikasi pesan masuk dari ponsel Zia mengalihkan perhatian. Perempuan tanpa hijab---dengan rambut terikat bagai kuncir kuda itu lantas membuka pesan yang berasal dari satu grup.
Akan tetapi, seketika dia merasa menyesal tatkala langsung membaca chat yang dikirim oleh Adnan. Pesan tersebut bertuliskan permintaan doa teruntuk Zidan yang disampaikan akan segera menjalankan acara pertunangan bersama Zahra pada besok hari.
Kenapa tiba-tiba?
"Kenapa?" Silva menautkan alis heran saat mendapati riak pucat teman karibnya itu. Dia lantas mencondongkan tubuh ke depan, membaca tulisan di benda pipih pribadi milik Zia.
Hingga dia dibuat paham lalu menepuk salah satu pundak sang empu sembari berkata, "Tenang, kalo kalian memang jodoh pasti nggak bakal ke mana."
Zia tidak menanggapi. Dia semakin merasa kesal dan sedih dalam waktu bersamaan. Demi apa pun, akhir-akhir ini ada sahaja masalah datang ke hidupnya, seolah tidak ingin perjalanan hidup Zia mulus dan berakhir bahagia.
"Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga)."
Seketika Zia teringat dengan makna dari surat An-Nur ayat 26. Sepertinya, dirinya memang tidak pantas untuk lelaki sebaik Zidan Al-Fatih.
[Gimana, Zia? Masih tetep nolak aku?]
[Sebentar lagi Zidan dan Zahra akan tunangan]
[Jadi, jelas kamu udah nggak ada harapan lagi.]
Ingin rasanya Zia melempar ponsel di tangan saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Adnan secara pribadi. Sungguh, lelaki itu sangat menyebalkan.
•••
Jodoh memang tidak ada yang tahu. Bisa sahaja jodoh kita adalah seseorang yang tidak sengaja ditemui, seperti halnya Zia dan Zidan. Perempuan yang kini sedang berada di teras rumah berharap demikian, bisa menjadi pendamping sosok lelaki idamannya itu.
Namun, itu semua sekadar harapan belaka. Faktanya, Zidan menjadi jodoh perempuan yang memang setara. Bukan Zia, mahasiswi biasa yang lancang menaruh rasa kepada Zidan di waktu kurang tepat.
Hingga kini, dia merasa murung saat mengetahui bahwa sang pujaan akan bertunangan dengan perempuan lain.
"Meskipun pertunangan mereka dipercepat gara-gara ayah Zahra sakit, tapi Zidan sama sekali nggak keberatan."
Sampai sekarang, Zia masih terngiang dengan pernyataan Adnan tersebut. Seharusnya dia memang menutup akses kaum adam satu ini. Sayangnya, jiwa penasaran memang sukar dihilangkan, sehingga kini dirinya tahu alasan pasal dipercepatnya pertunangan antara Zahra dan Zidan.
"Hei?"
Zia tersentak saat tiba-tiba Silva sudah ada di depannya. Perempuan itu membawa keresek hitam di tangan kanan.
"Bawa apa?" tanyanya to the point.
"Oh, ini minuman. Sengaja aku bawa buat kamu juga."
Zia mengulurkan tangan kanan tatkala sang empu menyodorkan teh botol kepadanya. Kebetulan sekali minuman itu dingin, cocok dengan cuaca dan hati yang sedang sama-sama panas.
"Ngomong-ngomong soal Mas Zidan, kamu udah tau kabar terbaru?"
Mendengar nama Zidan disebut, Zia yang awalnya hendak meminum pemberian Silva langsung terurungkan. Awalnya dia meminta perempuan ini untuk datang ke rumahnya supaya bisa melupakan tentang Zidan. Namun, kini perempuan tersebut malah membahasnya.
"Yang mau tunangan? Kalo itu udah, dari sumber terpercaya." Ketika menjawab itu, intonasi bicara Zia terdengar ketus.
"Bukan, yang katanya Mas Zidan sama Mba Zahra gagal tunangan."
Refleks Zia terbatuk hebat saat mendengar pernyataan satu ini. Air teh yang sempat masuk ke mulut langsung tersembur ke luar, membuat rok yang dipakai basah akibat ulah sendiri.
"Ba-batal gimana maksudnya?" tanyanya diselingi efek terkejut. Bahkan dia tidak peduli pada bawahan yang basah, hanya sempat mengusap sekilas sebelum memusatkan atensi kepada Silva.
Di situlah Zia mendapat fakta jika ternyata Zahra melakukan sebuah kebohongan. Pertunangan mereka awalnya akan diselenggarakan masih cukup lama lagi, tetapi karena ayah Zahra jatuh sakit dan khawatir terjadi hal buruk, alhasil pertunangannya bersama Zidan dipercepat. Namun, ternyata kabar pasal ayah perempuan itu sekadar tipu daya.
Kebohongan tersebut dilakukan demi keinginan sepihak Zahra yang ingin segera melangsungkan pertunangannya dengan Zidan. Dia takut apabila mendadak Zidan berpaling dan lebih memilih perempuan lain.
Pada akhirnya, Zidan yang kecewa memutuskan membatalkan perjodohan sekaligus pertunangannya dengan Zahra.
"Bentar, kamu tau soal ini dari mana?" Zia menghentikan penjelasan Silva seraya mengerutkan dahi. Jujur, di satu sisi dia merasa lega, tetapi di sisi lain dirinya merasa prihatin terhadap kedua belah pihak.
"Dari ibuku. Beliau tau dari grup ibu-ibu desa. Di sana yang ngasih tau bibimu."
Kok?
Zia spontan menatap ke arah pintu masuk rumah. Jika benar begini adanya, seharusnya sang ibu memberitahu, mengingat sudah pasti wanita itu jua ikut bergabung ke dalam grup terkait.
Atau Mamah sengaja nggak ngasih tau aku?
Apa pun itu, sekarang Zia benar-benar dibuat bimbang dengan perasaannya. Antara senang dan turut berduka, yang pasti dia sudah tidak terlalu larut menyelami palung kesedihan.
"Sil, menurut kamu aku salah nggak, sih kalo masih suka sama Mas Zidan?"
•••
TBC ⊱🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}
RomanceDia sosok yang Zia kagumi semenjak melihatnya menjadi imam sholat di mushola milik sang paman. Sepele memang, tetapi bagi Zia ... itu adalah sebuah keajaiban. Karena sejak saat itu, rasa kagum dan suka tumbuh dalam benak. "Maaf kalo hamba lancang, T...