Bunuh Diri Part 2

23 3 6
                                    

"Aku tidak hanya jatuh cinta
kepada dirimu, melainkan aku juga
jatuh cinta pada semua tentangmu."

•••

"Va, kamu makan duluan aja. Aku nanti." Zia tampak setia duduk di atas ranjang kamar pribadinya, padahal sang ibu sudah memanggil untuk ikut serta makan siang.

"Kenapa? Sakit lo?" Eva langsung menyentuh dahi temannya itu, bermaksud memeriksa suhu badan Zia. Namun, suhu badannya terasa biasa sahaja, tidak menunjukkan jika dia tengah jatuh sakit. "Nggak anget, kok."

"Aku emang nggak sakit!" Refleks, Zia menyentak tangan Eva dari dahinya sembari merespon ketus.

Jelas perempuan tanpa jilbab itu terkejut. Dia lantas berdecak sebelum tangan beralih meraih jilbab instan berwarna merah hati di atas ranjang. "Kalo gitu gue duluan!" tukasnya sebelum keluar kamar seraya memakai jilbab tadi.

Sedangkan Zia, dia masih setia menempelkan bokong di atas ranjang dan memasang wajah gelisah sangat kentara. Bukan tanpa alasan perempuan berkaus lengan panjang itu bertindak demikian dan menolak makan siang bersama di meja makan. Masalahnya jika beranjak sekarang, berarti diri akan bertemu dengan seseorang di sana.

Entah petaka apalagi yang akan menimpanya hari ini. Ibunya justru mengundang Zidan dan Adnan untuk ikut serta makan siang di rumah. Hingga akan sangat memalukan bagi Zia apabila bertemu Zidan mengingat kejadian pagi tadi ketika di mushola.

"Zi? Lagi ngapain? Sini keluar, ikut makan barang. Nggak sopan, loh kalo nunggu nanti-nanti!"

Masalahnya, sang ibu justru memaksanya agar bergabung di meja makan sana. Padahal berbagai alasan telah diutarakan demi terbebas dari pertemuan dengan lelaki yang memakai kaus hitam berlengan pendek itu. Namun, terdapat hikmah yang mampu membuat jantung Zia berdebar hebat. Aksa bisa menyaksikan sosok tampan Zidan sewaktu tanpa memakai peci hitam seperti saat di mushola.

"Katanya lo mau makan nanti aja, tapi sekarang malah di sini," bisik Eva menyenggol Zia menggunakan sikut, membuat sang empu tersentak seketika.

"Berubah pikiran." Sumpah demi apa pun, Zia dibuat mati kutu. Dia hanya terdiam seribu bahasa di meja makan kala kursi kosong yang tersisa tinggal satu dan itu tepat di hadapan Zidan. Alhasil kini mereka berdua duduk berhadap-hadapan.

Entah mengapa kulit terasa panas dingin seakan disergap oleh kain berlapis-lapis di cuaca yang cukup panas ini.

"Zi, tolong ambilin itu." Eva tiba-tiba berbisik lagi diikuti dagu menunjuk telur dadar di depan Zidan. Kebetulan sekali tangan perempuan itu sukar menggapai piring kaca yang dimaksud.

Namun, saat tangan perempuan pemilik kulit kuning langsat tersebut terulur, jemari Zidan jua bergerak bersamaan. Hingga jari jemari mereka berdua tak sengaja bersentuhan yang jelas membuat sang pemilik sama-sama terkejut.

"Eh, sorry-sorry!" tukas Zia, spontan menarik kembali uluran tangan dan urung memenuhi permintaan Eva.

"Gantian Mas Mbak, nggak bakal habis dalam sekejap juga," cetus Adnan seakan bercanda saat menyaksikan kejadian tadi.

Zia hanya bisa menunduk dalam, pura-pura fokus pada makanan di piring, terlebih tidak ada respon apa pun dari Zidan. Sosok di depannya ini sekadar berdehem pelan lalu beralih mengambil lauk lain.

Zia berpikir jika lelaki yang membantu mengurus mushola pamannya ini---sebagai bentuk pengabdian dari pondok pesantrennya, masih merasa risih akibat kejadian pagi hari ini.

Lagi pula jika dipikir-pikir, tidak mengherankan apabila Zidan merasa demikian. Dia pasti amat terganggu. Ingin menegur pun merasa segan, mengingat Zia adalah keponakan dari pemilik Mushola Al-Ikhlas.

Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang