"Jika kamu bukan jawaban dari sholat istikharahku, maka izinkan aku memperjuangkanmu dalam sholat tahajudku."
•••
Kepala Zia berdenyut nyeri sejak semalam. Bahkan dia kekurangan waktu tidur sampai membuat dua mata panda sekaligus di pelupuk. Sungguh, kegusaran kini sedang menguasai jiwa raga. Membuatnya tidak bisa beraktivitas dengan tenang di rumah, sekalipun sedang menyantap makanan bersama kedua orang tua.
"Menurut kamu, aku harus gimana? Sumpah, aku sampe nangis gara-gara mikirin ini," ujar Zia saat Silva datang ke rumahnya.
Dia bersyukur karena perempuan itu mau menyempatkan waktu. Bahkan temannya ini saja terkejut begitu mengetahui pasal Adnan yang datang ke rumah guna mengajaknya berta'aruf.
"Orang tua kamu gimana? Mereka setuju sama Mas Adnan?" Silva bertanya sembari menatap wajah lelah Zia dari samping.
Perempuan berjilbab instan itu sedikit menengadahkan wajah. Memejamkan kedua aksa, menikmati semilir angin pedesaan yang terasa amat sejuk. Meskipun waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, tetapi cahaya matahari belum terlalu terik.
"Kalo ibuku setuju-setuju aja, karena katanya Mas Adnan baik dan belum tentu cowok baik kaya dia bisa dateng lagi suatu saat. Kalo soal ayah, beliau ngikut istrinya," ujar Zia setelah beberapa detik terdiam. Seusai mengatakan itu, embusan napas pelannya terdengar lalu wajah pun menoleh ke sisi kiri, menatap balik Silva yang masih memandangnya tanpa kedip.
"Kamu tau sendirilah aku sukanya sama siapa. Orang tuaku juga pasti tau karena kejadian sore waktu itu. Tapi, mungkin mereka nggak mau aku terus berharap sama Mas Zidan karena dia 'kan udah ada Mba Zahra," tuturnya lagi.
Mendengar itu, Silva sangat mengerti bagaimana perasaan Zia sekarang. Wajah serta nada bicaranya sudah mampu menggambarkan kegundahan hati. Pasti, di satu sisi dia ingin menolak. Namun, dia enggan membuat orang tuanya terutama sang ibu kecewa.
"Aku nggak bisa ngasih saran banyak. Tapi, kalo mau, kamu mending pikirin baik-baik. Jangan memaksakan diri. Kalo pun kamu mau nerima nggak masalah juga menurutku. Mas Adnan baru ngajak ta'aruf 'kan? Bukan langsung ke jenjang serius?"
Perkataan Silva ini seketika membuat sorot mata yang awalnya kosong menjadi terarah. Kulit dahi pun berkerut samar, seakan sang empu sedang memikirkan sesuatu.
Bener kata Silva. Ini 'kan baru ta'aruf bukan lamaran? Riak kusam Zia perlahan menghilang, tergantikan senyum tipis.
"Buat ngeyakinin, kayanya aku harus solat istikharah kali, ya?"
Benar saja, hari itu juga Zia langsung melaksanakan sholat istikharah. Dia tidak ingin sembarang mengambil tindakan dalam perkara ini. Siapa tahu, Adnan memang jodoh yang telah Allah swt. persiapkan untuk dirinya.
Dia akui, Adnan juga tidak kalah tampan dengan Zidan. Pun dari segi agama, mereka berdua bisa dikatakan setara. Namun, ini bukan perkara value. Melainkan perasaan yang sukar dikontrol ingin jatuh kepada siapa.
"Zi, jangan berharap sama yang nggak pasti, ya," ucap sang ibu tiba-tiba.
Zia paham dan peka ke arah mana pembicaraan ibunya tersebut. Siapa lagi jika bukan Zidan yang beliau maksud.
"Iya."
Sungguh, Zia semakin dibuat bingung manakala kakek serta neneknya yang sudah mengetahui niat baik lelaki alim itu juga ikut mendukung.
Jika seperti ini, kegundahan kembali datang menyergap.
"Tapi, aku sendiri ada hak buat nolak 'kan?"
•••
Zia memberanikan diri untuk berangkat mengajar malam ini. Padahal dia masih merasa malu dengan kejadian tempo hari serta juga otomatis dia akan bertemu Adnan.
Benar saja, lelaki itu tampak terus mengintai di setiap pergerakan Zia. Bukannya dia terlalu percaya diri, melainkan ini fakta adanya. Tatkala wajah menoleh, Zia memergoki netra Adnan tengah tertuju padanya.
"Mba Zia emang bener, ya kalo Mba suka sama Mas Zidan?"
Jantung Zia langsung berdetak kencang saat pertanyaan tersebut terlontar dari anak di sebelahnya. Jelas dirinya tidak bisa menjawab, ingin menampik pun percuma karena pertanyaan barusan merupakan sebuah fakta.
"Zi, bisa ngomong sebentar?"
Hingga dia merasa terselamatkan saat suara tersebut terdengar menyapa. Namun, Zia justru masuk ke dalam masalah baru setelah bersedia meluangkan waktu untuk Adnan.
"Jadi, kamu udah dapat jawabannya?" tanya lelaki itu.
Kini, hampir semua orang di mushola mengerti pasal ajakan ta'aruf Adnan. Padahal dia ingin masalah satu ini menjadi konsumsi pribadi, tetapi apalah daya. Sang bibi terlanjur bercerita kepada jamaah yang hadir, sehingga berujung menyebar dari satu orang ke orang lain.
"Maaf, Mas. Tapi, untuk sekarang saya masih belum bisa ngasih jawaban," kata Zia tatkala mereka berdua berada di sisi luar mushola. "Sesuai permintaan kemarin, saya minta waktu satu minggu."
Adnan terdengar mengembuskan napas kasar. Membuat Zia yang berada di depannya menjadi merasa risih sekaligus berpikir bahwa sosok lelaki tinggi tegap itu tidak sabaran.
"Baik. Tapi, Mas harap bisa lebih cepat dari itu, ya?"
Kepala Zia refleks mengangguk. Dia juga spontan menyembunyikan kedua tangannya ke balik punggung kala jemari Adnan dengan mendadak nyaris memegang sepihak.
"Sa-saya duluan, Mas." Buru-buru Zia menjauh, melewati beberapa orang yang ternyata sedari tadi menguping pembicaraan mereka berdua.
Namun, bukan ini yang dipermasalahkan. Akan tetapi, tindakan Adnan tadi yang hendak memegang tangannya tanpa izin. Padahal seharusnya dia tahu soal batasan antar bukan mahram.
Sedangkan Adnan sendiri, lelaki bercelana panjang itu masih berdiam diri di tempat semula. Dia menatap nanar punggung Zia yang kian menjauh sebelum netra beralih memandang langit disertai tatapan lain. Hanya dalam sekejap, tetapi sorot mata kaum adam itu berubah menajam.
"Mau bagaimanapun, jawaban kamu harus 'iya', Zia." Tak lama kemudian, sudut bibirnya terangkat sepersekian detik lantas kaki bergerak menyusul masuk ke mushola guna melanjutkan tugas.
Jangan tanyakan bagaimana keadaan Zia sekarang. Dia menjadi sukar fokus selama mengajar mengaji beberapa anak. Seharusnya malam ini dia tetap berada di rumah, bahkan jika perlu sedari tadi diri kembali ke Yogyakarta. Mengingat dua minggu lagi masa liburan akan usai, setidaknya dia bisa menghindar dari perkara tersebut.
Pasti Mas Zidan juga udah tau soal ajakan Mas Adnan ke aku.
Lagi-lagi tanpa bisa dicegah, nama Zidan melintas di otak Zia. Padahal lelaki itu sahaja tidak menatapnya sama sekali, seakan keberadaannya selama di mushola sebatas orang asing.
Sepertinya dia ingin menjauh.
"Zia, aku antar, ya?" Manakala Zia ingin pulang ke rumah sesudah mendirikan sholat isya berjamaah sekalian, Adnan menghentikan motornya tepat di depan raganya yang berdiri di teras mushola.
Jelas Zia tanpa pikir panjang memilih menolak. Lagi pula, dia akan dijemput oleh sang ayah.
"Maaf, Mas. Saya dijemput, jadi Mas lebih baik duluan aja, nggak papa."
Tanpa Zia ketahui, tersimpan rasa kesal dalam benak Adnan atas penolakan Zia barusan.
"Kalo gitu, aku duluan, ya. Soal jawaban itu, aku harap jawabannya 'iya' karena aku memang serius sama kamu."
Lagi, nama Zidan melintas di otak Zia. Andai sahaja yang mengatakan kalimat itu adalah Zidan, pasti dirinya akan bahagia. Berbeda dengan sekarang yang malah menimbulkan ketakutan tersendiri.
•••
TBC ⊱🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}
RomanceDia sosok yang Zia kagumi semenjak melihatnya menjadi imam sholat di mushola milik sang paman. Sepele memang, tetapi bagi Zia ... itu adalah sebuah keajaiban. Karena sejak saat itu, rasa kagum dan suka tumbuh dalam benak. "Maaf kalo hamba lancang, T...