ᴀsᴛʀᴏᴘʜɪʟᴇ sᴇʀɪᴇs 𝟷
𝓢𝓲𝓷𝓸𝓹𝓼𝓲𝓼 :
Asean Dwilingga hanyalah anak remaja yang tidak bisa berperilaku seperti anak seusianya. Tepat di ulang tahunnya yang ke-15, sang ayah memberinya hadiah sebuah cincin perak. Dia pikir itu hanyalah cincin biasa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kenapa?" tanya Saga yang menyadari sejak tadi sang kembaran terus menatapnya.
Sean menghembuskan napas kasar. Kepalanya kembali memikirkan banyak hal, yang mana salah satunya membuat rasa iri pada Saga bergejolak.
Bibir merah plum itu dia gigit, menahan gejolak batinnya yang berteriak meminta agar Sean mengucapkan apa yang ada di benaknya. Tahu bahwa kalimat tersusun yang ada di kepalanya hanya akan memperkeruh suasana, dia memilih tetap diam dan menggelengkan kepala.
Biarkan saja perasaan itu terendam dan hilang ditelan waktu, dia tidak peduli. Apapun yang terjadi, dia tidak akan mengungkapkan secara gamblang perasaan buruknya pada Saga, apalagi jika itu hanya akan memancing emosi. Hal itu karena Sean tahu, tidak selamanya dia boleh memendam iri pada saudaranya. Itu tidak baik, dan mungkin akan berakhir tidak menyenangkan.
"Saga, aku kapan boleh pulangnya? Capek banget duduk terus di rumah sakit," keluh Sean seraya memakan apel dengan rakus, melampiaskan kekesalannya yang memuncak. "Aneh dokter tuh. Aku udah terbukti sehat tapi tetep aja aku disuruh tinggal di sini. Emangnya dia pikir aku bakal betah? Enggaklah! Malah makin nggak suka aku sama rumah sakit."
"Halah, ngomel mulu usaha enggak ada," cibir Sean seraya menyentil dahi Sean. "Kalau mau cepet pulang, ya kamunya jangan males minum obat sama makan."
"Obat pahit tahu, Saga. Terus makanannya enggak terlalu enak. Aku kangen masakan ibu di rumah."
"Ya sabar."
"Sabar-sabar mulu. Keburu mood makan aku hilang!"
"Makan mulu yang dipikirin."
"Biarin!" Sean membalas sinis. "Makan itu kebutuhan. Kamu nggak berhak ngatur aku buat nggak mikirin makan. Kalau aku nggak makan, nanti aku–—"
"Iya, iya, aku salah." Saga mendengkus, menatap kesal Sean yang terus menerus membantah ucapannya. "Mau jalan ke taman nggak? Nyari udara segar, di ruangan mulu pengap," usulnya tak tega melihat wajah murung sang kembaran.
Bibir Sean langsung melengkung ke atas, kepalanya mengangguk semangat dengan mata berbinar cerah. "Mau, mau!"
🌌🌌🌌
"Saga, Saga!"
"Hm?"
"Itu apa?"
Saga menoleh pada arah tunjuk Sean, lalu berdehem singkat sebelum menjawab, "Nggak enak itu, kaya makan benang."
"Masa sih?" Kening Sean berkerut, tak percaya. "Tapi adeknya makan lahap tuh."
Menghela napas, Saga tak lagi menjawab. Agaknya dia menyesal membawa Sean ke taman rumah sakit, yang justru membuat anak itu melihat ada seorang anak kecil berseragam pasien yang diberikan permen kapas oleh suster. Sepertinya, Sean menginginkan permen kapas yang sama. Sayang sekali makanan yang mengandung gula berlebihan seperti permen kapas akan berakibat fatal bagi Sean. Sehingga Saga harus memutar otak agar kembarannya itu tidak lagi menginginkan makanan manis tersebut.