Sejak kecil sudah Mina paham kalau keadaan keluarganya berbeda dari teman-temannya. Ia tidak punya sosok ayah yang akan mengantarnya ke sekolah atau menggendongnya di punggung, seperti yang selalu teman-temannya pamerkan. Ibunya pun selalu sibuk bekerja hingga tak punya cukup waktu untuk bermain-main bersama Mina. Untuk istirahat saja sulit, apalagi memberikan perhatian penuh untuk Mina.
Itu sebabnya sedari kecil Mina terbiasa sendiri dan bisa dikatakan jika ia telah didewasakan oleh keadaan. Beruntung Mina memiliki nenek yang sangat melimpahinya dengan kasih sayang. Tapi sayangnya, beliau meninggal disaat usia Mina baru menginjak 6 tahun. Sejak saat itu pula Mina kecil selalu makan dan tidur sendirian, dan ia pun tumbuh menjadi gadis yang penyendiri dan cenderung pemuram.
Ibu selalu bilang jika ayah pergi karena mengejar impiannya, di mana mereka berdua tidak masuk ke dalam bagian dari 'impian' tersebut. Ibu bilang ayah adalah laki-laki yang egois dan tidak bertanggung jawab.
Mina tidak tahu bagaimana awal mula pertemuan kedua orang tuanya hingga menghadirkan dirinya ke dunia. Yang Mina tahu jika mereka pernah saling mencintai, lalu kemudian cinta itu perlahan memudar hingga akhirnya hilang.
Mina tidak terlalu sedih mendengar perkataan ibunya tersebut. Bisa jadi karena ia tidak memiliki kenangan berarti dengan sang ayah. Pria itu meninggalkan dirinya saat Mina masih bayi. Lain halnya ketika ibu yang pergi. Kala itu Mina begitu hancur. Ia merasa dunianya berhenti begitu saja. Kepergian ibu yang memilih laki-laki lain daripada dirinya membuat Mina menyadari bahwa dirinya tidak berarti bagi ibunya.
Mina pikir keadaan hidupnya tidak bisa lebih menyedihkan lagi. Tapi ternyata mendengar langsung dari mulut ayahnya betapa sosok ibu serta dirinya tidak penting, nyatanya tetap membuat Mina sakit hati. Ia semakin membenci sosok kedua orangtuanya. Ayah dan ibu, mereka sama saja. Mina tak hanya membenci kedua orangtuanya, tapi ia juga luar biasa membenci takdir dan dunia. Hidupnya sudah menyedihkan dengan dibuang oleh kedua orang tua tapi Tuhan malah mempertemukannya dengan laki-laki biadab bernama Woojin.
Hari, bulan dan tahun memang berganti. Namun sampai matipun Mina takkan pernah bisa melupakan rasa sakit yang disebabkan oleh Woojin pada malam itu.
Kenapa mereka bisa sebahagia itu? Kenapa aku tidak bisa seperti itu?
Manik mata Mina memperhatikan empqt orang perempuan yang mungkin seusia dirinya yang tengah bersenda gurau di meja tak jauh dari tempatnya duduk. Dulu saat dia masih duduk di sekolah dasar Mina punya teman baik, namanya Miyeon. Rumah mereka berdekatan dan mereka bersekolah di tempat yang sama sehinga secara alami mereka pun menjadi dekat hingga bersahabat dekat. Keduanya juga ingin melanjutkan di SMP yang sama. Sayangnya keinginan itu harus terkubur dalam-dalam bersama jasad Miyeon. Miyeon dan keluarganya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas ketika tengah pergi berlibur. Sejak itu Mina tidak punya teman dekat. Mina merasa semua yang disayanginya akan pergi, dan pada akhirnya ia akan sendirian. Lalu, apa gunanya memiliki teman dekat?
Dunia ini fana. Tidak ada yang abadi. Oleh karena itu, dunia berakhir saat ini pun tidak masalah.
Ponsel Mina berdering ditengah lamunannya. Ia meronggoh ponselnya di dalam tas.
"Halo."
"Kau di mana?"
"Cafe kecil di seberang hotel."
"Oke, aku akan ke sana."
"Tidak usah. Aku sudah mau kembali ke hotel kok. Lagipula di sini ramai."
"Hmm.. baiklah kalau begitu. Aku menunggumu di sini."
Untuk yang terakhir kali Mina menatap meja yang dihuni oleh keempat perempuan itu. Mereka masih asyik bersenda gurau. Gurat kebahagiaan terlukis jelas di wajah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue
FanfictionSon Mina akrab dengan sepi. Sepanjang 25 tahun hidupnya yang Mina ingat ia kerap sendirian. Ayahnya meninggalkan ia dan ibunya ketika Mina masih bayi, dan bertahun-tahun kemudian gantian sang ibu yang meninggalkan dirinya ketika ia remaja. Mina suda...