9. Crescendo

2 1 0
                                    

Pemuda berusia sembilan belas tahun itu mematung di depan cermin. Ia selalu berbuat demikian setelah mencuci muka di westafel, seakan ada yang tidak beres dengan parasnya. Tulang pipi yang tegas, rahang agak lebar, pipi tirus, dengan sepasang mata downturned-sudut luar mata yang turun-khas orang Asia namun kontras dengan irisnya berwarna kuning keemasan. Hanya satu kata yang layak disebut untuk penggabungan seluruh struktur tersebut. Tampan. Ditambah dengan postur tubuh tegap dan tinggi, menambah kesan kesempurnaan. Meski begitu sebagian dirinya tidak menyukai ciptaan Tuhan pada dirinya.

"Kenapa.... Kenapa harus sama persis orang itu?"

Semakin beranjak dewasa, parasnya semakin mirip dengan sang ayah. Padahal banyak yang bilang anak laki-laki cenderung identik pada ibu, tapi hal tersebut tidak berlaku untuknya. Setiap menatap diri di depan cermin seakan melihat sosok pria yang dibencinya dan itu ada pada dirinya sendiri.

"Memang buah tidak jauh jatuh dari pohonnya. Kau sangat tampan, pun model. Sama persis dengan ayahmu." Kalimat produser majalah gravure lagi-lagi terngiang di benak.

Sebagai idola harusnya ia bersyukur terlahir rupawan, dapat menarik hati para wanita hanya dengan sekali lirikan. Tanpa riasan pun sedikit senyuman jahil membuat anak gadis menjerit. Namun tidak jika ia disamakan dengan pria itu. Padahal sebelum namanya mengudara sebagai anggota Crescendo, sekali pun tidak pernah mendengar nama orang tuanya diungkit. Apalagi ayahnya yang kata kebanyakan orang model terkenal itu-ralat, mantan model terkenal di Jepang, karena pria itu sudah kembali ke negara ibunya.

Kepalan tangannya meninju lunak cermin yang terpasang di dinding. "Sial!" umpatnya penuh kekesalan.

Pintu kamar mandi terbuka dari luar tanpa permisi. Seorang pemuda lain dengan wajah mengantuk, menguap di tempat sambil mengucek satu mata. "Kyaa~, Kenchin telanjang dada~," candanya langsung dengan nada jeritan layaknya seorang gadis.

Kento hampir terperanjat mendapati rekannya masuk tanpa beban. "Shuya! Jangan tiba-tiba masuk ke kamar orang!"

Pemuda berwajah oval itu terkekeh-kekeh. "Habis udah diketuk dari luar, Kenchin tak juga jawab." Dengan langkah ringan ia masuk, mengambil apa yang diinginkannya. "Minta pasta gigi~," ujarnya riang lalu keluar begitu saja. Ia berhenti sesaat di depan pintu kamar mandi. "Oh, tadi waktu masuk ponselmu berdering."

Kento menghela napas dengan geram. Shuya, rekan grup yang juga satu apartemen dengannya itu memang sudah terbiasa masuk ke kamar orang tanpa permisi. Tidak hanya berbuat padanya, tapi juga pada Sogo. Ia pun keluar dari kamar mandi. Matanya berkeliaran mencari ponsel yang tengah berdering. Kemudian meraihnya di atas lemari kecil dekat kasur. Nomor pemanggil baru. Keningnya berkerut, bertanya-tanya siapa yang menghubunginya pagi-pagi ini?

Shuya menengok dari belakang, menatap dengan ekspresi melit. "Gebetan baru?"

Kento mendorong punggung Shuya hingga keluar dari kamarnya, membanting pintu keras-keras hingga Sogo yang tengah memanggang roti di dapur mengumpat kencang. Kento tidak peduli, ia segera menerima panggilan misterius itu. "Halo?"

Ada helaan napas terdengar, bukan jawaban cepat layaknya rekan kerja atau setaranya. [Kento?]

Lagi-lagi keningnya mengerut. Siapa wanita di seberang? Akrab sekali memanggil nama kecilnya langsung. Namun ia berusaha bersikap ramah, layaknya karakter yang telah dibangun selama ini. Bisa gawat kalau ternyata orang yang menghubunginya berhubungan dengan bisnis. "Iya. Dengan saya sendiri. Maaf, dengan siapa saya bicara?"

[Sudah lama tidak bertemu ya, Sayang, semenjak pengepasan kostum waktu lalu. Tidak ingat suara ibumu?]

Jantungnya berdesir kencang. Apa barusan ia bilang? Ia rasa telah salah dengar. Bibirnya menyunggingkan senyuman, bersamaan dengan helaan napas ringan. "Maaf Nyonya, jika bercanda jangan berlebihan seperti ini. Saya ada urusan, jadi maaf, panggilan sampai di sini." Tanpa jeda ia pun memutuskan panggilan. Andai yang di tangannya itu benda selain ponsel pasti telah dibantingnya keras-keras. Ia masih waras untuk tidak membanting alat komunikasi yang telah dibelinya dengan harga mahal.

The Idol Twin Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang