“Kenapa ditolak?” heran Rina dengan tangan masih memegang blush di depan kaca meja rias.
Yumi yang tengah menyandarkan punggung di kerangka jendela terkekeh pelan. “Terlanjur mandiri, mungkin, ya?”
Sudah seminggu semenjak pertemuan haru itu terjadi. Yumi sudah sering bertemu dan melakukan panggilan dengan ibu maupun Kento. Dua orang itu tak henti mengajak makan siang secara bergiliran dan membelikan pakaian ataupun keperluan keseharian tanpa diminta. Yumi sangat dimanjakan bagai adik bungsu. Tadi siang saja Kento menawarkannya sebuah apartemen mewah untuk ditinggali. Lalu Aizawa juga mengajak tinggal di huniannya yang ada di kawasan elit Ginza. Namun, dua permintaan itu langsung ditolak tanpa basa-basi. Baginya perhatian mereka lebih dari cukup. Membelikannya barang-barang mewah sudah kelewatan. Yumi tak mau merepotkan keduanya.
Malam ini begitu tenang. Yumi merasa diri sangat damai berkat telah ‘berbaikan’ dengan keluarganya. Namun hatinya masih gelisah. Semua berjalan terlalu ‘baik’. Ia selalu was-was kala keberuntungan terus menghampiri. Dikarenakan selama ini ia akan puas kala mendapatkan sesuatu dengan usaha keras. Balasan dari Tuhan akan segala usahanya tak akan pernah bertahan lama. Pasti di balik ini akan ada lagi ujian yang akan ditemuinya.
Tiga gadis Kobe itu kini tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing—kecuali Yumi yang bersandar karena kelelahan diajak sana-sini seharian—mulai pagi Kento sudah mengajaknya sarapan dan berkeliling mall, siang hingga sore digantikan dengan Aizawa pergi bersantai ke spa dan salon. Kini wajah gadis itu tampak semakin bening, tapi seluruh saraf dan sendi sudah kelelahan menerima ajakan keduanya selama sepekan ini.
Rina berkutat dengan make-up yang baru diberikan Aizawa pada Yumi tiga hari lalu. Yumi sendiri yang membiarkan kotak rias itu ada di meja agar bisa dipakai dua sahabatnya. Ia belum ada niat untuk belajar merias.
Megumi sibuk menyalin poin-poin penting di buku cetak ke buku catatan. Namun percakapan Yumi dan Rina mengalihkan perhatiannya. Hatinya masih gelisah, takut Yumi akan meninggalkan impian yang sudah mereka bangun sejak dua tahun lalu. Megumi meletakkan pena, “Yumi…,” panggilnya dengan kepala tetap menunduk menatap buku.
Yumi menoleh dari jendela, bergumam menjawab panggilan tersebut.
“Bukannya… lebih baik tinggal dengan ibumu?” Suara Megumi terdengar parau.
Diam-diam Yumi terkekeh pelan. “Ngusir?”
Megumi sontak menaikkan pandangan. “Bukan begitu maksudku....”
“Aku tahu, kok, kamu pasti khawatir aku jadi tidak niat lagi dengan ‘idola-idolaan’, kan? Tenang aja kok, Megumi, tampaknya dunia hiburan sudah menyihir mataku dan aku tak mau melepaskan apa yang sudah ada di depan mata.”
“Apalagi kita sudah bicara dengan orang dalam,” sahut Rina yang masih berusaha memoles wajahnya jadi lebih cerah. “Kalau mundur, pasti Yumi-tan akan malu jika bertemu dengan Kitani, kan?”
“Lagipula… jika aku tinggalin apartemen ini, siapa yang akan membangunkan kalian?” Yumi terkekeh geli. Dua sahabatnya itu sampai sekarang masih susah dibangunkan walau sudah ada jadwal masak sarapan bergantian setiap harinya.
Rina menghentikan aktivitas, menatap Yumi sendu. “Huhu... Mama Yumi!”
Yumi kembali tergelak. Ia kembali menatap Megumi yang tertunduk malu. “Tapi aku punya berita baik buatmu.” Gadis itu menyilang kaki, duduk agak bungkuk ke arah Megumi. “Karena sudah dapat pemasukan tetap, aku bisa mengurangi kerja dan bisa meluangkan waktu untuk latihan. Megumi sendiri bagaimana? Apa kita perlu cari tempat latihan khusus menari atau vokal?”
Kedua bola mata Megumi berkaca-kaca. “Benarkah?”
Yumi mengangguk dengan senyum sumringah.
Megumi mengepalkan kedua tangan ke dada. “Besok aku tanyakan pada Sensei rekomendasi pelatihan yang cocok untuk kita berdua!”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Idol Twin Story [END]
Ficção AdolescenteVersi terbaru dari "futago dakara (because we're twins)". Diunggah juga di GWP dengan judul yang sama. =========== "Bagaimana kalau kita bikin grup idola?" Hasegawa Yumi hanyalah anak panti yang berharap setelah lulus sekolah langsung bekerja demi m...