19. Stalker

7 1 0
                                    

Megumi mematung diri di depan cermin besar. Kedua pipinya memerah. Ia tidak menyangka akan mengenakan gaun nan begitu anggun. Bahan utamanya dari nilon pada bagian tubuh, dan bawahnya ialah sifon. Sejak awal pesanan ia tidak ingin mempertunjukkan bahu dan dada. Akan karena itu sang desainer memilih gaya halter pada bagian depan agar menutupi dada, tapi terkesan seksi karena tanpa lengan. Menambah nilai glamor pada lengan, diberi tamban gaya cape dengan bahan sifon. Sementara bagian bawah rok berbentuk A-line dengan tambahan bahan organza dua lapis dengan tunik-tunik mengkilat.

“Bagaimana?” tanya sang desainer yang berdiri di belakang, memperhatikan gaun yang dibuat serta raut wajah sang pemakain.

“Cantik sekali!” Megumi tak dapat berkata-kata lebih.

Sang desainer tersenyum. Sangat puas dengan mahakaryanya. Wanita itu mengecek kembali di beberapa sudut gaun, apa masih ada jahitan yang longgar, benang yang timbul, hal-hal lain yang tampak mengganjal di matanya.

Pandangan wanita paruh baya itu meneduh. Ia mengamati Megumi dari atas hingga bawah. Gadis belia yang kini tengah menggerak-gerakkan badan sedikit, ke kiri-kanan, guna melihat gaun yang melekat cantik di tubuhnya.

Merasa terus diperhatikan—awalnya Megumi berpikir sang desainer mengamati gaun, tapi dari pantulan cermin, bola mata wanita itu menatap lurus ke wajahnya. Tentu ini bukan kali pertama Megumi menghadapi wanita itu… Aizawa Noemi. Ia berhasil memenangkan situasi serta melakukan pendekatan terhadap sang target. Tampak di luar ia tengah bahagia, tapi dalam hati… ia menangis.

Sampai jumpa duitkuuu....

“Apa ada yang aneh, Aizawa-san?” Megumi mencoba bertanya untuk menghilangkan kecanggungan.

“Ah, tidak, hanya saja… kamu mengingatkanku pada anak perempuanku....”

Megumi terenyak. Bibirnya kelu, tapi jantung berdegup begitu kuat. Seakan hati berbisik inilah kesempatanmu, Megumi, untuk bertanya tentang Yumi pada wanita itu!’. Ia mengulum saliva, cukup kesulitan seakan menelan batu sebesar jempol. “Me-memangnya—”

“Ah, maaf, ya.” Aizawa terkekeh geli sendiri. Wanita itu menolehkan pandangan, menyibukkan tangan membenahi sketsa di atas meja, menyingkirkan beberapa manik-manik di kursi, lalu duduk di sana.

Melihat kegundahan seorang ibu, hati Megumi tersentuh. Dirinya merasa yakin ada yang tidak beres dengan permasalahan keluarga Yumi. Pelan-pelan ia mengangkat rok, melangkah, menghampiri Aizawa. Wanita itu kembali menatapnya, sangat tampak memaksakan diri tertawa, padahal bola matanya tengah melirik kiri-kanan, bukti sedang gelisah.

“Apa… anak Anda baik-baik saja?” Megumi berusaha bertanya dengan suara dan gerakan normal—seakan baru pertama kali, tidak tahu apa-apa soal lawan bicaranya.

“Anakku... dia....”

“Mungkin kedengarannya saya lancang bertanya, tapi… jika saya bisa membantu Anda....”

Aizawa menggelengkan kepala. “Kami… hidup terpisah. Aku… hanya merasa rindu padanya. Pas sekali usianya sama denganmu, Shiraishi-chan.”

Saat itu juga Megumi ingin sekali meneteskan air mata, mengungkapkan semua yang ia tahu, menyatakan bahwa anaknya wanita itu tengah seatap dengannya. Namun ada sisi lain dalam hati Megumi untuk tidak mengungkapkannya. Seakan terlalu cepat. Waktunya tidak tepat. Atau… sebenarnya ia tengah menimbang perasaan Yumi yang kemungkinan besar masih belum siap menemui ibu kandungnya.

Namun, gadis itu tidak bisa berbohong. Air matanya telah luruh tanpa peringatan. Hal itu membuat Aizawa terkejut bukan main.

“Kamu kenapa?” Aizawa spontan berdiri, menghapus air mata Megumi dengan jemarinya.

The Idol Twin Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang