18. Rasa Hati

8 1 0
                                    

Cukup memakan waktu lama bagi Yumi untuk menyembuhkan kegelisahannya setelah tidak sengaja ‘ditolak’ Kento. Selama itu ia tidak bisa fokus mengendarai sepeda, memilih pergi bekerja dengan bus. Namun kini ia sudah yakin untuk kembali mengenakan transportasi kayuhnya itu, sambil berhemat demi menyimpan uang untuk kebutuhan bulan depan. Ia sudah janji akan menanggung pengeluaran Megumi yang ‘terpaksa’ menghabiskan hampir seluruh isi tabungan demi membuat sebuah gaun mewah.

Kesibukan yang membuatnya lupa mengenai kartu yang diberikan Kitani Yuzuru beberapa tempo lalu. Ia masih menimbang-nimbang apa harus memberitahu Megumi atau tidak. Masalahnya kartu itu hanya berisi alamat serta nomor telepon kabel. Siapa yang memiliki alamat tersebut, Kitani sendiri tidak menyebutkannya. Apa idola belia itu tengah mengerjainya? Yumi masih belum bisa meyakinkan tindakan gadis imut itu.

Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, Yumi pun sampai di belakang Toko Musik Towaa. Seperti biasa ia masuk lewat pintu belakang. Menyapa karyawan yang sudah tiba, lalu bersegera menggunakan celemek khusus karyawan di area loker, dan mengisi absensi. Yumi membaca nama-nama yang hadir. Ia menghela napas pelan agar tidak terdengar oleh karyawan lain.

Suasana toko sebelum buka terasa sunyi. Para karyawan memilih menyibukkan diri dengan tugas mereka. Menyetok album CD. Merapikan maupun menata ulang album-album yang akan menjadi pusat perhatian hari ini. Menyematkan berbagai poster-poster dari kover album yang baru rilis di berbagai titik toko. Menyapu. Mengepel. Mengelap kaca jendela. Menghitung uang. Mengatur daftar lagu-lagu yang akan didendangkan selama toko dibuka. Pintu toko pun resmi dibuka tepat pukul sebelas.

“Hasegawa, gantian waktu istirahat, ya. Tulang orang tua ini sudah lelah.”

Yumi hanya menganggukkan permintaan karyawan senior yang telah berusia empat puluhan. Jika ia satu shift dengan bapak dua anak itu, ia akan mengalah, membiarkan orang tua itu istirahat di jam makan terlebih dahulu. Yumi tidak mempermasalahkan pergantian waktu istirahat dengan pria itu, hanya saja setiap hari Senin jumlah karyawan tidak seimbang dengan banyaknya pengunjung di awal minggu. Dan ia selalu jadi ‘tumbal’ saat masuknya jam makan siang.

Gadis itu tetap melaksanakan pekerjaannya selama menunggu karyawan paling senior di toko menyelesaikan santapan di ruang istirahat. Ia tetap memandu pelanggan yang menanyakan album. Menyetok maupun merapikan tatanan CD di rak-rak yang telah sepi pelanggan.

“Siang.” Seseorang telah berdiri di belakang Yumi yang tengah merapikan susunan CD di rak paling sudut di sayap kanan toko.

Degupan jantung Yumi kembali berdesir saat mengetahui siapa yang menyapanya. “Selamat siang.”

Pemuda itu bergumam. Yumi yang tengah memeluk beberapa keping album CD tengah menunggu kelanjutan pembicaraan mereka. Seperti yang bisa ditebak, pemuda itu memasang senyum kikuk seraya memegang tengkuk—ciri khasnya setiap kali bertemu dengan Yumi.

Yumi, gadis itu hanya membalas dengan kekehan pelan. Selagi menunggu kesiapan pemuda itu, ia meneruskan pekerjaan.

“Tidak makan siang?” tanya pemuda itu saat tak lagi tatapan mereka bertemu. “Kebetulan… aku juga belum. Jadi....”

Yumi menoleh, menatap dua bola mata pemuda yang tengah kelabakan, melirik kiri-kanan secara acak, dan bergumam tidak karuan. Sisa album di tangan ia peluk erat-erat. Gadis itu berandai-andai, kala pemuda di sampingnya kini bukanlah seorang idola terkenal, tanpa ragu ia akan langsung menerima tawaran ‘rasa’ tersebut. Namun, apabila ia bertanya ‘tak apakah pergi bersamaku?’ terdengar meragukan niat pemuda itu yang sudah meluangkan waktu mengunjunginya. Bisa jadi pemuda itu sengaja datang jauh-jauh hanya menemuinya.

“Jadi....” Pemuda itu masih belum bisa mengutarakan isi hati sepenuhnya. Tampak tengah gelisah. Takut ditolak.

Yumi memang tidak memiliki keahlian menebak isi hati dari perawakan wajah seseorang. Gadis itu hanya terbiasa dengan ekspresi adik-adik di panti yang sering menunjukkan raut yang sama dengan pemuda itu. Apa tujuan pemuda itu murni karena memiliki rasa terhadapnya? Atau dirinya hanya korban empuk sebagai pelarian? Mungkin saja pemuda itu tengah bertaruh dengan teman-temannya untuk mendapatkan hati gadis kalangan biasa? Apa setelah memberikan kepercayaan, pemuda itu langsung mencampakkannya?

The Idol Twin Story [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang