[…sebagai penembus dosa, bersediakah Anda saya pertemukan dengan ibu Anda? Saya akan menjadi perantara jika kalian berdua canggung untuk berhadapan langsung....]
Begitulah sepenggal kalimat dari sekian panjang pesan permintaan maaf dari Morisawa. Wanita itu menyatakan diri tidak tahu sama sekali tujuan utama Tomoya. Meminta maaf pun baginya apa yang telah terjadi begitu kejam untuk dimaafkan. Kalimat merendah diri itu membuat Yumi merasa tidak enak hati.
Akhirnya ia menerima ‘penembusan dosa’ itu dengan menyetujui undangan untuk dipertemukan dengan ibunya. Bisa saja Yumi menolak dan meminta bantuan Megumi, tapi ia memikirkan apa yang akan terjadi ke depan antara Megumi dan ibunya jika pertemuannya sendiri dengan wanita itu tidak berjalan lancar. Pasti Megumi akan canggung bertemu wanita itu lagi.
Lokasi yang dijanjikan ialah alun-alun pusat Taman Yoyogi. Yumi duduk di salah satu bangku kayu panjang di tepi kolam yang memancarkan air mancur di tengahnya. Pepohonan sekitar telah tampak mengering. Tanah dipenuhi dedaunan cokelat yang rontoh dari ranting. Mungkin karena udara dingin di musim gugur, tak banyak pengunjung lalu-lalang di sekitar. Bahkan yang lewat pun enggan menempati sebuah bangku di dekat Yumi duduk. Ia sendiri, dengan jantung berdegup kencang, bingung harus bicara apa dengan sang ibu kelak.
Yumi tidak pergi sendirian. Kali ini Rina bersikukuh ikut. Tentu Megumi juga pergi. Namun keduanya hanya mengamati dari jauh agar Yumi bisa nyaman bicara berdua dengan ibunya.
Selama menunggu sendirian, gadis itu teringat masa kecil, saat keluarganya masih harmonis. Ia menanti-nantikan jadwal libur sang ayah untuk piknik sekeluarga di taman ini. Dulu ia sangat suka berlari zig-zag di antara pohon-pohon yang ditemui. Kento tak pernah berhasil mengejarnya, lalu menangis dalam dekapan ibu.
Ada satu lagi kenangan yang sangat berkesan. Hari itu Kento menghilang karena berusaha menyusulnya yang suka berkeliaran jauh dari tempat mereka piknik. Ia dan ayah-ibu panik, mendadak berpencar mencari sang adik. Spontan ia mendapatkan ide. Mencari tempat tinggi dan menemukan sang adik memojok di belakang toilet pria.
“…Kento juga begitu, ya! Jika aku hilang atau kehilangan aku, jangan nangis! Pergilah ke tempat tinggi, panggil namaku, dengan begitu kita bisa bertemu. Seperti sekarang! Janji, ya?”
Tanpa sadar Yumi meneteskan air mata. Adanya Kento di layar televisi seakan tengah berdiri di tempat tinggi. Hanya dengan begitu ia menyadari keberadaan sang adik. Apa itu berarti Kento memenuhi janji mereka? Jika ada, hanya secuil niat demikian, Yumi sangat bersyukur akan usaha Kento selama ini telah memberinya harapan baru.
Terdengar langkah tergesa-gesa seseorang. Di pijakan kayu terdengar jelas langkah itu ada di balik punggungnya. Buru-buru Yumi mengelap air mata dan sedikit menggeser duduk, melihat ke belakang. Kedua matanya terbelalak mengetahui siapa yang baru saja berdiri di hadapannya. Yumi spontan berdiri.
“Kento?”
Kenapa Kento yang datang?
Prasangka buruk kembali menguasai benak Yumi. Jangan-jangan ini jebakan orang itu lagi?! Sejak awal ia sudah mencurigai pesan dari Morisawa. Kenapa wanita itu tahu nomor kontaknya? Namun hatinya mengembalikan pertanyaan itu dengan rasa haru dan rindu. Kini air mata kembali merembes di pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Idol Twin Story [END]
Ficção AdolescenteVersi terbaru dari "futago dakara (because we're twins)". Diunggah juga di GWP dengan judul yang sama. =========== "Bagaimana kalau kita bikin grup idola?" Hasegawa Yumi hanyalah anak panti yang berharap setelah lulus sekolah langsung bekerja demi m...