3. Mate

468 29 29
                                    

Sekujur tubuhku masih kesakitan akibat dibanting Intan. Tapi pernikahan harus tetap berjalan.

Tidak sepertiku yang didampingi kedua orang tua, dari pihak Geni hanya ibunya yang bisa hadir. Keduanya masih di ruang rias. Sisanya, cuma beberapa orang kepercayaan masing-masing keluarga. Tanpa tamu undangan. Biar bagaimana pun acara ini terhitung ilegal. Jadi sebisa mungkin dirahasiakan dari pihak luar.

“Ini kesempatan terakhirmu, Gabriel.” ucap ibu padaku, setengah berbisik, “Kalau kau keberatan dengan pernikahan kalian, kabur saja.” Ha? “Lari secepat yang kau bisa. Orang-orang di sini bukan tukang pukul atau mafia. Asal kau bisa lolos dari kejaran kau bisa selamat.”

“Jangan mengajarinya yang tidak-tidak.” sahut ayah dengan tenang.

Ibu segera menoleh padanya.

“Kau bisa mendengar suaraku!?”

“Bukan cuma aku, pak Witro dan yang lain juga dengar. Dari dulu kau memang tidak pintar berbisik kan?”

Aku langsung tertawa, begitu juga dengan pak Witro dan beberapa orang di sekitar kami. Kami semua mengenal karakter ibu. Tepat seperti yang ayah sebutkan.

“Gabriel, kenapa kau malah ikut tertawa!?” protes ibu, “Aku memberimu kesempatan terakhir karena yang namanya pernikahan itu sebisa mungkin harus sekali seumur hidup. Kau perlu menjalaninya dengan orang yang kau cintai.”

Bagaimana kalau aku tidak mencintai siapapun?

“Pikirkan baik-baik.”

“Aku sudah banyak berpikir makanya setuju.” tegasku.

“Kau yakin?”

“Sudahlah, Bu. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku hanya perlu menikahi sesama laki-laki. Untuk ukuran orang yang tidak menentang lgbt sepertiku hal itu cukup mudah.”

“Kau mengentengkan masalah.”

“Sudah cukup.” Ayah menengahi, “Mereka sudah siap. Acara akan segera dimulai.”

Tepat saat ayah menyelesaikan ucapannya, Geni muncul bersama dengan ibunya. Berjalan perlahan.

Mate.

Aku merasakan sesuatu yang aneh. Dadaku sesak dan seakan terbakar, seolah jantungku akan segera mencelos keluar menembus rusuk dan kulitku.

Mate.

Di saat yang sama, aroma manis tercium kuat yang kuyakini pasti berasal dari Geni. Dia menyita perhatianku.

Mate.

Ini pertemuan pertama kami dan dia berhasil membuyarkan bayanganku tentangnya selama beberapa hari terakhir. Dia, Geni, laki-laki berumur 16 tahun itu ternyata tidak lebih pendek dariku.

***

Upacara pernikahan berlangsung. Ada serangkaian hal yang perlu kulakukan bersama Geni. Kami harus diguyur air rendaman berbagai jenis mawar, mencium kaki orang tua, dan lain sebagainya. Sejujurnya aku tidak tahu masing-masing maknanya. Dan kurasa tidak perlu tahu juga. Karena dibanding itu, perasaan aneh yang muncul sejak aku bertemu Geni semakin menjadi-jadi hingga terasa sangat mengganggu.

Mate.

Apa mungkin ada masalah dengan lambungku? Kenaikan asam lambung biasanya menimbulkan sensasi tersiksa yang sedikit banyak mirip dengan apa yang sekarang kurasakan. Seingatku aku tidak telat atau salah makan.

Mate.

Kenapa terasa semakin kuat? Kali ini sudah bukan dadaku lagi, melainkan kedua mataku juga mengalami keanehan. Pandanganku mulai buram. Kepalaku juga seakan berputar.

Mate.

Tapi rangkaian upacara sudah selesai kami laksanakan. Kalau pun aku sampai pingsan, sepertinya tidak masalah. Setidaknya kewajibanku dalam mengikuti tradisi keluarga sudah kupenuhi. Jadi kalau pun—

Mate.

Dingin.

“Gabriel!” Itu teriakan ibu.

Tubuhku rasanya lelah sekali. Tapi pandangan normalku sudah kembali. Rasa tak nyaman di dadaku juga menghilang. Sialnya sekarang aku kedinginan yang ternyata gara-gara ayah terus menyiramkan air padaku menggunakan selang seolah aku tanaman kering di tanah gersang.

“Apa yang ayah lakukan padaku!? Cepat hentikan!” aku memgeluh dan untungnya segera didengar. Ayah menghentikan semprotan air selang padaku.

Sekarang aku bisa mengamati sekelilingku. Sepertinya ada kekacauan. Orang-orang menunjukkan ekspresi tak karuan seakan sedang menyaksikan binatang buas mengamuk di luar kandang. Pandangan ngeri itu ditujukan padaku.

“Kau... sudah bisa mengendalikan dirimu?” tanya ibu, hati-hati.

“Memangnya kapan aku tidak bisa mengendalikan diri?”

“Anak sialan!” Ibu mulai memukul-mukul lengan kananku, “Berani sekali kau melakukan tindakan abmoral!” Ha? “Memang benar kalian sudah menikah, tapi bukan berarti kau bisa mengikat suamimu di hadapan banyak orang!”

“Mengikat? Maksudnya, aku mengikat Geni? Di hadapan banyak orang?”

“Sepertinya Gabriel tidak mengingat apa yang dia lakukan.” Ibu Geni menyahut, membuat ibuku menjadi lebih tenang. Di saat yang sama aku justru semakin tak paham karena kulihat Geni meringkuk tidak jauh dariku dengan kondisi baju terkoyak dan tengkuk berdarah.

Mengikat. Sekarang aku bisa mengerti apa yang baru saja kulakukan, meski belum mampu mengingat.

Dilihat dari kondisi Geni serta mulutku yang terasa amis dan asin, kurasa akulah yang melukainya. Menggigit tengkuk sama dengan membuat ikatan. Biasa dilakukan alpha pada pasangannya yang seharusnya omega. Tapi aku melakukannya pada sesama alpha. Itu hal yang aneh. Terlebih lagi, aku tidak mengingatnya.

Mate.” ucapku, pelan. Disusul suara bisik-bisik dari sekian orang, “Istilah itu berputar-putar di otakku sebelum aku kehilangan kesadaran.”

“Maksudmu Geni adalah mate-mu?” tanya ibu.

“Aku tidak tahu.”

“Dia seorang alpha, sama sepertimu. Tapi kalau benar dia adalah mate-mu, artinya kita beruntung. Karena dengan begitu semua akan berjalan dengan lancar.”

Orang-orang masih berbisik. Bising. Hingga seseorang di antara mereka menyampaikan kabar yang diterimanya melalui telephone.

“Tuan Ibrahim sudah sadar.” Semua orang menoleh padanya, “Beliau akan segera dipindahkan ke ruang rawat biasa. Jika terus stabil, kemungkinan seminggu lagi bisa keluar dari rumah sakit.”

“Syukurlah.” ucap ibu Geni.

Aku turut mensyukuri hal itu. Dan yang mengejutkan, Geni tiba-tiba saja sudah meraih pergelangan tangan kananku.

“Terima kasih.” ucapnya.

Ha? Aku sudah membuatnya berdarah. Dia sempat meringkuk kesakitan sebelum duduk dengan cukup baik seperti sekarang. Jadi, apanya yang perlu ucapan terima kasih? Aku tidak merasa berhak mendapat ucapan itu. Memang apa jasaku padanya? Tapi... dibanding memikirkan itu, perhatianku sudah teralihkan oleh wajah tampannya. Aku merasa kalah darinya.

***

20:14 wib
28 Oktober 2023
reo





GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang