extra iii

92 8 5
                                    

*sudut pandang Geni

Aku sedang berada di dalam kamar kak Gabriel. Dindingnya masih sama, berwarna hitam. Ranjang tetap merah, serupa dengan sprei dan juga sarung bantalnya. Tidak berubah dari terakhir kali aku melihatnya. Kedua mataku belum terbiasa, sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi kalau ini adalah kamarnya. Seperti ini karena memang beginilah seleranya.

Dulu —sudah lama sekali— aku pernah menanyakan kenapa kamarnya setidak biasa ini. Maksudku khusus dalam pemilihan warna, bukan soal kesan ketiadaan barang-barang lainnya. Jawabnya, karena memang inilah warna favoritnya. Dia akan merasa tak tenang jika warna lain berada di dalam kamarnya. Itu membuatku ingat, pakaian yang pernah dikenakannya sepengetahuanku juga hanya dari 2 warna itu. Ah, kurasa aku melupakan sesuatu. Dia pernah sekali kulihat mengenakan kemeja putih. Dia juga menyukai warna itu meski jarang terlihat dari barang-barang miliknya. Mungkin karena akan langsung tampak saat terkena noda meski sedikit saja.

"Bagaimana aku bisa tinggal di kamar ini? Warnanya saja mengganggu mata."

Aku mulai menjadi mahasiswa. Dengan alasan jarak rumah keluarga Lee ke kampus lebih dekat dibanding rumah orang tuaku, baik orang tuaku maupun kedua orang tua kak Gabriel menyarankanku untuk tinggal di sini. Dan kak Gabriel tentu saja memintaku menempati kamarnya yang sudah lama kosong akibat ditinggal bekerja di luar kota. Aku suaminya, jadi wajar saja keputusan itu muncul darinya. Tapi tetap saja, aku merasa bermasalah dengan warnanya. Sebenarnya khusus untuk merah yang terlalu menyala.

Terdengar suara pintu diketuk. Lalu tergeser. Aku menoleh ke arahnya dan langsung mendapati mbak Indah berdiri di sana.

"Ditunggu bapak sama ibu di ruang makan, mas."

"Aku akan segera kesana. Tapi mbak."

"Iya?"

"Apa di sini terbiasa makan bersama sekeluarga?"

Mbak Indah tampak heran dengan pertanyaanku. Mungkin aku menanyakan hal yang aneh? Tapi aku hanya ingin tahu karena yang semacam itu tidak biasa dalam keluargaku. Entah itu sarapan, makan siang, maupun makan malam jarang sekali bisa dilakukan bersama-sama. Alasannya tentu saja kesibukan kedua orang tuaku yang membuat mereka terkadang berada di luar kota bahkan negara.

"Tidak juga sih, mas. Bapak sering berangkat subuh tapi pasti makan dulu di rumah. Kalau kebetulan pagi masih di rumah ya sarapan bersama ibu dan mas Gabriel. Makan siang hampir tidak pernah sama-sama. Kalau malam... kadang-kadang juga."

Oh, sebenarnya tidak jauh berbeda dari keluargaku. Tergantung ada atau tidaknya semua orang di rumah.

"Ya sudah kalau begitu, mbak. Terima kasih."

"Iya, mas. Saya permisi."

Aku harus mulai membiasakan diri dengan kedekatan keluarga yang sedikit melebihi kebiasaan dalam keluargaku. Semoga saja tidak ada masalah. Aku bukan orang yang pintar menempatkan diri meski di sekolah sudah belajar berorganisasi. Kuharap kak Gabriel berada di sini. Aku merasa aneh tinggal bersama kedua orang tuanya tanpa keberadaannya. Mungkin memang beginilah yang dirasakan menantu saat hanya bersama mertua sementara suaminya pergi bekerja.

***

Makan malam berlangsung. Rasanya benar-benar tidak bisa membuatku mengendorkan kehati-hatian. Aku takut berbuat salah seperti menunjukkan ketidak sopanan misalnya. Ini sangat menguras tenaga padahal yang kulakukan cuma duduk tenang sambil makan. Aku bahkan tidak berani menatap apalagi bicara.

"Kau sudah membawa semua barang-barangmu, Geni?" Ayah kak Gabriel membuka pembicaraan di tengah kegiatan makan.

Semoga jawabanku tidak memberi kesan buruk.

GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang