20. Hadiah

214 19 2
                                    

Berengsek sekali si Luki. Aku sudah memblokirnya 2 kali. Tapi bisa-bisanya dia kembali mengirim pesan dengan nomor baru. Isinya sama, pernyataan cinta yang semakin lama semakin menjijikkan.

“Makhluk sialan itu!” gerutuku yang sudah jengkel sekali.

Kembali kublokir nomornya. Semoga tidak ada nomor baru lagi. Tapi kalau pun sampai ada, aku harus mengalah dengan mengganti nomorku sendiri meski nanti akan lumayan kerepotan.

Tentang Luki itu urusan nanti. Sekarang aku cuma ingin mencicipi mie instant yang tadi dibawa kabur Geni. Itu sebabnya aku menuju kamarku. Sayangnya urung begitu saja karena murid SMA berbadan tinggi itu sudah keluar dari kamarku sambil membawa mangkok kosong.

“Kau tidak memasak mie lagi?” Dia bertanya seolah akulah yang aneh bukannya dirinya, “Aku masih lapar.”

“Kau berniat makan semangkok lagi!?” tanyaku, “Lagipula bagaimana kau bisa begitu cepat menghabiskannya?”

“Porsinya kecil. Tidak ada tambahan daging atau telur.”

Aku belum mencicipinya.

“Baiklah, kau juga baru berkelahi kan tadi.” gumamku, “Kita makan nasi saja.”

“Tidak masak mie instant lagi?”

“Terlalu lama. Aku juga kelaparan. Pokoknya makan nasi saja.”

Aku segera menarik Geni menuju ruang makan. Begitu sampai kuminta dia duduk sementara aku mengambil nasi dan lain-lainnya. Mbak Yati juga membantuku padahal sudah kukatakan tidak perlu. Jadi inilah yang sekarang terhidang di atas meja. Nasi, tumis pare, semur tahu pentol, sambal terasi, dan tempe goreng. Ah, tentu saja ada air mineral.

Geni tampak kebingungan.

“Ini apa?” Dia menunjuk semur tahu pentol.

“Tahu goreng, dalamnya diisi pentol daging. Lalu disemur.”

“Tahu isi pentol yang biasa ada di penjual bakso?”

“Iya.”

“Bisa disemur ya? Aku belum pernah makan yang disemur.”

“Coba saja. Rasanya cocok kalau dimakan dengan tumis pare.”

“Kenapa parenya tidak ada campuran apa-apa?” Eh? “Biasanya ada tambahan jagung atau udang kering kan?”

“Mana enak kalau ada tambahannya?”

“Biasanya kan begitu. Kalau pare saja terlalu pahit.”

“Kalau ada tambahannya malah merusak rasa. Apalagi udang kering, amis.”

“Semua masakan ibumu terlihat asing.”

“Jangan cerewet. Ibuku masak sesuai seleraku. Makan saja apa yang ada. Ah, tempe goreng itu tidak mungkin asing kan bagimu? Kau makan itu saja.”

“Ini pakai tepung. Yang kutahu tempe digoreng tempe-tempe saja. Yang pakai tepung kan harusnya pisang goreng.”

“Tepungnya beda, Geni!”

Tinggal makan saja kenapa dia cerewet sekali!

“Benar juga. Tidak manis.” Dia baru menggigit tempe goreng.

“Nah, kan.”

“Apa parenya sangat pahit?”

“Kau tidak suka makanan pahit?”

Dia menggelengkan kepalanya.

“Aku hanya tidak suka makanan pedas.” jawabnya.

“Tadi kau menghabiskan mie instant yang ditambah cabai rawit.”

“Kalau pedasnya masih lumrah aku bisa makan. Masalahnya akhir-akhir ini banyak makanan ekstrim. Pedasnya sangat tidak manusiawi.”

Dia benar tentang itu. Aku sendiri heran kenapa orang-orang mengkonsumsi makanan yang rasanya tidak masuk akal.

“Ternyata enak.” Dia baru saja memakan nasi dengan pare dan semur tahu pentol.

“Ini termasuk makanan kesukaanku.”

“Kau suka rasa pahit dan gurih?”

“Ya. Yang sedikit pedas juga.”

“Akan kuingat-ingat kalau begitu.”

“Untuk apa? Seolah kau akan memasak untukku saja.”

“Kalau kau mau akan kulakukan.”

Benarkah?

“Kau bisa memasak?”

“Lumayan. Tiap kemah biasanya aku yang memasak.”

“Kedengarannya kau sering ikut kemah?”

“Bukan yang diadakan sekolah. Aku hanya menemani adikku saat libur. Dia senang berkemah di gunung atau dekat danau.”

Adiknya? Yang dia maksud mendiang adiknya kan? Aku belum sempat bertemu dengannya. Tapi dari yang pernah kudengar mereka berdua sangat dekat.

“Apa sesekali kau ingin berkemah denganku?” tawarku, “Atau... kau justru tidak ingin berkemah lagi.”

Bisa jadi dia tidak ingin melakukannya lagi karena tidak ingin teringat mendiang adiknya.

“Aku tidak terlalu suka kegiatan di luar rumah.” akunya, “Aku mau melakukannya karena adikku. Kalau denganmu aku tidak mau.”

“Kenapa?”

“Berdua di dalam tenda di tempat yang jauh dari pemukiman warga sangat berbahaya. Tidak ada jaminan kau tidak macam-macam padaku.”

“Apa kau lupa yang kau lakukan di taman tadi? Kaulah yang lebih berbahaya dibanding aku.”

“Nyatanya aku memang lupa.”

“Lupa yang kau lakukan pun tidak mungkin kau lupa kondisi selangkanganmu.”

“Bicara jorok saat makan itu tidak boleh.” Anak ini! “Bahkan bicara sambil makan pun tidak baik.”

Terkadang dia benar-benar menyebalkan. Untung saja aku mencintainya. Kalau tidak akan berbeda cerita.

“Ada pesan masuk di ponselmu.” Dia memberitahuku.

“Luki “ gumamku.

“Teman kuliah?”

“Ya, seharusnya. Tapi akhir-akhir ini dia cuma jadi sumber masalah.”

“Apa maksudmu dengan sumber masalah?”

“Kau ingat laki-laki di dalam kafe yang berambut agak panjang?”

Geni mengangguk.

“Dia yang bernama Luki.” jelasku, “Awalnya bisa dibilang dia teman dekatku. Tapi dia membuat kesan seolah kami pacaran. Padahal ada seorang perempuan yang terobsesi padanya. Perempuan itu jadi membenciku. Dan karena dia punya penggemar fanatik yang selalu mendukungnya, para penggemar itu jadi berusaha mencelakaiku sekian kali.”

“Bukankah itu tindakan kriminal?”

“Sekarang masalah itu selesai karena perempuan itu sudah menyerah tentang Luki. Sialnya, justru Luki yang mulai tampak terobsesi padaku.”

“Apa yang dia lakukan?”

“Aku sudah menolak setegas mungkin pernyataan cintanya. Tapi dia terus-menerus mengirimiku pesan. Saat di kampus dia juga selalu muncul dimana pun aku berada. Dia tersenyum sambil memanggil namaku.”

“Kehidupanmu seperti drama.”

“Aku tahu.”

Bukan aku juga yang ingin begitu. Kalau bisa aku ingin kehidupan yang biasa-biasa saja. Bukan banyak masalah.

“Gabriel.” Itu suara ibu.

Benar, itu suara ibu. Tidak hanya suara panggilannya padaku, aku juga mendengar langkah kakinya mendekat. Ibu sudah pulang.

“Ho, ada Geni juga.”

“Selamat sore, tante.” sapa Geni.

“Aku ibu mertuamu. Panggil ibu jangan tante.”

“Iya, maaf.”

“Kenapa ada suara berisik di luar?” tanyaku.

“Itu suara orang-orang yang membawa mobil kesini.”

Membawa mobil?

“Tadi pak Tik bilang mobilmu dibawa ke bengkel untuk diperiksa. Karena sepulang dari kuliah ada yang mengganggumu di jalan.”

“Iya. Geni membantuku menangani mereka.”

“Kalian baik-baik saja?”

“Iya.” jawabku, bersamaan dengan anggukan Geni.

“Ya sudah. Mobil yang di bengkel itu kalau sudah diperbaiki biar dijual saja. Kau ganti mobil baru. Kebetulan datangnya hari ini.”

Jadi suara berisik di luar itu mobil baru untukku? Ibu tidak pernah mengatakan rencana membeli mobil baru. Ayah juga begitu.

“Bukankah... usaha ayah sedang bermasalah?” tanyaku, “Kenapa beli mobil baru?”

“Tenang saja. Ayahmu tidak jadi bangkrut. Bisa dibilang itu berkat pernikahanmu dengan Geni.” Syukurlah, “Jadi mobil itu sebagai hadiah pernikahan. Sana keluar. Lihat dan coba mobilnya bersama Geni.”

“Sekarang?”

“Iya sekarang mumpung belum malam. Kalian berputar-putar saja di area dekat sini.”

Kenapa tiba-tiba aku mendapat hadiah pernikahan?

***

Ya Tuhan! Kedua mataku membulat lebar saking terkejutnya dengan keberadaan mobil baru di halaman. Beberapa orang sedang berusaha menurunkannya dari kendaraan pengangkut. Aku tidak kenal satu pun dari mereka dan tidak perlu juga untuk mengenal. Fakusku sekarang hanya pada jenis mobil yang menurut ibu adalah milikku.

“Apa... ini tidak terlalu berlebihan?” tanyaku yang entah kutujukan pada siapa.

“Ferrari.” ucap Geni.

Ya, mobil Ferrari. Aku tidak paham tipenya karena memang tidak tertarik mengamati jenis-jenis mobil. Tapi yang pasti itu memang ferrari. Mobil yang selama ini hanya pernah kulihat dalam kepemilikan orang lain. Itu pun jarang sekali.

“Masih 2-4 bulan lagi surat-suratnya selesai diurus. Untuk sementara kalau ke kampus kau pakai motor dulu.” Jelas ibu.

“Lebih baik aku pakai motor sampai lulus.” tegasku.

“Apa maksudmu?”

“Mobil itu terlalu mewah untukku, Bu. Aku malu mengendarainya ke kampus.”

“Kau ini. Mana ada mobil terlalu mewah? Kau dibelikan itu agar tidak kalah dari teman-temanmu.”

“Memangnya teman mana yang ibu maksud?”

Temanku tidak ada yang membawa ferrari.

“Mobilnya sudah terlanjur dibeli!”

“Aku tidak perduli!”

“Gabriel!”

“Sudah kubilang aku malu, Bu! Pakai saja sendiri, aku tidak mau.”

“Kau selalu bicara begitu kalau dibelikan sesuatu. Kau minta aku memakainya sendiri. Aku sudah terlalu tua untuk bergaya, tahu!”

“Aku terlalu sederhana untuk barang semewah itu!”

Ibu benar-benar mempersulitku. Ini bukan drama Korea, untuk apa membawa-bawa mobil mewah? Terlihatnya sangat tidak lumrah. Aku sungguhan malu kalau sampai harus memakainya kuliah. Sekarang saja mataku sudah berair membayangkannya.

***

09:02 wib
5 November 2023
reo



GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang