9. Tanpa interaksi [sudut pandang Geni]

243 20 0
                                    

Ada pertanyaan muncul di kepalaku. Tentang kak Gabriel. Dia membuat ikatan denganku. Melakukannya secara brutal. Hal itu terjadi karena ternyata aku adalah mate-nya, meski sesama alpha. Yang kurasa aneh, kenapa bisa? Mate dari alpha harusnya seorang omega. Apakah itu karena upacara yang kami laksanakan?

Jika bicara tentang upacara pernikahan kami, acara itu merupakan tradisi sejak ratusan tahun lalu jauh sebelum adanya pembagian manusia sebagai 3 golongan = alpha, beta, dan omega. Tujuan dari upacara adalah menyatukan kami, wakil keluarga dari generasi sekarang Dengan penyatuan, kelangsungan hidup 2 keluarga akan baik. Jika dilihat dari keyakinan itu, artinya ada hal mistis yang terjadi. Itu sebabnya aku menebak, mungkin upacara pernikahan kami membuat kak Gabriel dirasuki roh leluhur atau mahkluk lain entah apa.

“Haciiih!”

Eh?

“Haciiihhh!!”

Dia bersin lagi. Maksudku, kak Gabriel. Bersin memang hal manusiawi, tapi... rasanya tidak sesuai dengan image seorang alpha. Dia terlihat lemah.

“Baru disiram begitu saja kau sudah bersin-bersin.” ejek ayahnya, “Ini pakai handuk.”

“Disiram begitu saja apanya?” Dia membalas, “Ayah menyiramku seperti mau memadamkan hutan yang kebakaran.”

“Siapa suruh kau hilang kendali?”

“Bukan mauku juga.”

Mereka terlihat akrab.

“Sudah, jangan meributkan itu lagi.” Ibunya menengahi, “Gabriel memang dalam kondisi kurang sehat. Pak Witro bilang badannya lebam-lebam.”

Lebam-lebam?

“Bagaimana bisa?” tanya ayahnya.

“Jatuh saat berolahraga.” jawabnya.

“Aku tidak yakin dia bicara jujur. Tapi sudahlah, tempat ini perlu dibereskan. Jadi sebaiknya kita tidak menghambat kerja orang-orang.”

Ibunya berlalu setelah mengatakan itu. Mungkin harus membereskan hal lain di tempat berbeda. Karena dari gerakannya tampak sibuk, terburu-buru.

Ayahnya menoleh padaku yang sedari tadi diam memperhatikan mereka.

“Kau pasti sangat terkejut.” ucapnya padaku.

“Eh, aku baik-baik saja.”

“Semoga memang begitu. Gabriel.” Dia mengalihkan pandangannya pada kak Gabriel yang ternyata sudah diseret ibunya yang barusan sempat kembali kemari. “Kenapa anak itu malah dibawa pergi!? Suaminya ada di sini!”

“Dia harus ganti baju kan?” sahutku, “Tadi... kak Gabriel bersin-bersin.”

“Dia memang lemah. Dari kecil begitu.”

Kalau melihat tubuh ramping dan kulit pucatnya aku memang tidak berpikir dia orang yang secara fisik kuat. Tapi saat dia kehilangan kendali, kurasa tidak ada yang lebih kuat darinya. Aku yang bertubuh lebih besar saja takut padanya.

“Maaf karena kau harus menikah dengan orang seperti dia.”

“Jangan bicara seolah dia sangat buruk.”

“Ya, sebenarnya dia tidak terlalu buruk.” Ayahnya mulai tersenyum, “Dia anak yang penurut meski sering membalas omongan orang tua. Keras kepala tapi akhirnya mengalah. Kata orang-orang dia pintar. Aku tidak tahu karena tidak pernah memperhatikan nilai sekolahnya.”

“Dia orang yang menyenangkan.” sambungku.

“Menyenangkan?”

“Kutebak begitu karena aku pernah melihatnya dikerumuni banyak orang. Dia punya banyak teman.”

“Jadi kau sudah pernah bertemu dengannya sebelum dijodohkan?”

Kugelengkan kepalaku.

“Aku hanya pernah melihatnya dari jauh saat mengikuti pertandingan basket di kampusnya.”

“Mengikuti pertandingan basket. Kau memang terlihat lebih atletis dibanding anak lemah itu.”

Aku mulai berpikir ayahnya senang mengejeknya.

“Dia lebih tua 5 tahun darimu. Tapi kurasa dia yang lebih kekanak-kanakan. Tolong terima sifatnya dengan sabar.”

Aku harus menjawab apa saat mendapat omongan semacam itu? Dan kenapa aku justru banyak omong dengan mertuaku dibanding suamiku? Sejak pertemuan hari ini, aku cuma sempat mengucap terima kasih padanya. Itu juga tanpa jawaban sepatah kata pun. Aku ingin ngobrol dengannya.

***

Sia-sia. Keinginanku untuk ngobrol dengan kak Gabriel tidak ada hasilnya. Dengan alasan aku masih di bawah umur dan lokasi rumah keluarga Lee jauh dari sekolahku, ibu dan orang tua kak Gabriel memutuskan agar aku dan kak Gabriel tinggal terpisah. Aku tetap bersama orang tuaku dan kak Gabriel pun tetap bersama orang tuanya. Itu sebabnya seusai acara kami pulang ke rumah masing-masing, tanpa sempat saling bicara.

“Aku sempat mendengar suaranya, tapi tidak sempat diajak bicara olehnya.” batinku, kecewa.

“Kau tidak apa-apa, Geni?” tanya ibu padaku.

Kami dalam perjalanan pulang. Duduk bersebelahan di kursi belakang. Pak Lukman yang merupakan sopir pribadi ibu menyetir di depan.

“Ya.” jawabku.

“Luka di tengkukmu, kau yakin tidak perlu dijahit? Tadi kau berteriak sangat keras. Sepertinya lukanya dalam.”

“Tadi sudah diolesi minyak herbal kan? Sudah mulai kering. Tidak terlalu sakit.”

“Tidak ada yang menyangka kejadian seperti tadi bisa terjadi.”

“Apa sebelumnya tidak pernah? Maksudku, dari cerita yang sudah-sudah.”

“Aku hanya menantu di keluarga Ibrahim. Tradisi menikah dengan keluarga Lee juga sudah lama diabaikan, jadi bahasan tentang tradisi itu tidak banyak. Aku hampir tidak pernah mendengar cerita apa-apa.”

Pantas saja kepanikan tadi cukup parah.

“Aku tidak tahu harus minta maaf dengan cara apa padamu.”

“Kenapa meminta maaf?” tanyaku.

“Karena memaksamu menikah saat kau masih di bawah umur. Dan lagi pernikahan itu melibatkan hal yang sepertinya gaib.”

“Tapi aku menikah dengan orang yang kucintai kan?”

Ibu terdiam.

“Aku bahagia, Bu. Sungguh.”

Tapi tetap saja aku masih punya rasa kecewa karena tidak sempat ngobrol dengan suamiku. Entah kapan kami bisa bertemu lagi. Anak SMA sepertiku, harus bagaimana agar bisa banyak berinteraksi dengan seorang mahasiswa? Aku ingin menghabiskan waktu dengannya.

***

18:47 wib
30 Oktober 2023
reo

a/n Sebisa mungkin tolong hindari pernikahan di bawah umur.

GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang