*sudut pandang Geni
Kukira saat nanti aku menjadi mahasiswa, kami bisa tinggal bersama. Ternyata, dia sudah pindah ke luar kota berbarengan dengan kenaikanku sebagai murid kelas 3 SMA. Yang kumaksud tentu saja makhluk paling menyebalkan sedunia versiku sendiri= Gabriel Lee—lelaki super tampan yang berstatus sebagai suamiku. Dia akan menyangkal ketampanannya kalau kusebutkan, jadi biarkan pendapat itu tetap di dalam kepalaku saja.
Selisih umur kami 5 tahun. Terasa cukup jauh di waktu sekarang. Karena saat aku masih berstatus sebagai pelajar, dia telah menjadi seorang pekerja. Nah, itulah masalahnya.
Dia baru saja lulus kuliah. Selesai menempuh pendidikan S1nya. Tanpa jeda lama, dia sudah menerima tawaran kerja di luar kota. Entah aku harus bangga atau marah padanya. Yang pasti, aku kecewa.
'Bukankah kami sudah menikah? Kenapa justru tinggal terpisah?' Batinku, kesal.
Aku tahu umurku belum seberapa. Cuma tinggi badanku saja yang di atas rata-rata. Aku masih bocah di mata orang tua. Meski begitu, nyatanya aku pasangannya. Bukankah seharusnya kami bersama? Kalau pun tidak tinggal serumah, setidaknya jangan terpisah terlalu jauh juga! Harus bagaimana kalau aku merindukannya? Video call tidak akan menjadi penyelesaian masalah.
"Ada apa ini?" Tanya ibu mertuaku yang baru tiba dengan suara renyah sepatunya.
Dia mendapatiku terdiam di hadapan beberapa pekerja di rumahnya. Keberadaanku belum lama. Aku kemari sepulang sekolah. Berharap bisa bertemu suamiku sekadar untuk ngobrol atau melihat senyumnya. Sialnya dia sudah entah dimana.
"Anu..." salah 1 yang berada di hadapanku menjawab, tapi tidak berhasil menyelesaikan kalimatnya, "Eh, itu..."
"Tri, kau saja yang menjelaskan. Cepat, aku ingin tahu kenapa suasananya tidak enak begini."
"Mas Gabriel, bu."
"Kenapa? Dia tidak kecelakaan kan?"
"Syukurnya tidak. Tapi..."
Kupotong penjelasannya, "Aku baru tahu dia keluar kota."
"Eh!?"
"Juga baru tahu dia berencana tinggal di sana untuk bekerja."
"Bukankah seharusnya kau orang pertama yang diberitahu? Kau suaminya."
Ya, suaminya. "Tapi aku cuma murid SMA."
Semakin dibahas semakin menyebalkan. Aku ingin protes, tapi pada siapa? Dan apakah ada gunanya?
***
Akhirnya aku mendapat penjelasan dari si pembuat masalah. Melalui video call, tentu saja. Dia sudah berada di luar kota. Di kamar kos yang sepertinya ukurannya tidak seberapa. Tidak mewah juga. Ekspresinya, biasa saja. Tidak ada rasa bersalah. Aku ingin sekali memiting lehernya!
"Kau marah?" Dia masih bertanya.
"Memangnya aku punya hak untuk marah?"
"Tentu saja punya."
"Punya pun tetap hanya boleh dilakukan kalau kau berbuat salah. Kau saja tidak sedang merasa bersalah kan? Jadi apa pentingnya perasaanku."
"Kau benar-benar marah."
Menyebalkan. Dia masih terlihat dan terdengar biasa-biasa saja. Apa dia tidak sadar aku sudah ingin menangis saking kesalnya pada dia!? Tentu saja tidak akan kulakukan di hadapannya. Mana mungkin kutunjukkan air mataku pada orang yang tidak peduli perasaanku. Tapi aku sungguhan sakit hati gara-gara perbuatannya.
"Kau itu mate-ku, sialan." Kuucapkan sepelan mungkin yang barusan itu. Tapi aku tetap ingin dia mendengar suaraku.
"Aku tahu. Karena itulah aku tidak membahasnya denganmu."
Seharusnya justru kebalikannya.
"Akan sulit pergi kesini kalau kau tahu rencanaku." Tambahnya, "Bukan tentang akan kau cegah atau apa. Melainkan... aku yang merasa berat meninggalkanmu."
Penjelasan macam apa itu!?
"Selamat." Ucapku, berusaha meredam rasa tidak terimaku, "Kau mendapat pekerjaan yang bagus kan? Selamat untuk itu."
"Kau boleh memaki-maki aku semaumu. Lakukan saja sampai kau puas. Jangan ditahan."
"Tidak ada gunanya kan? Lagipula aku sudah sekali menyebutmu sialan. Itu saja cukup."
"...Aku merindukanmu."
"Ha? Apa katamu?"
"Kubilang aku merindukanmu. Rindu itu kangen, Geni."
Aku tahu arti kata rindu, tapi tidak dengan kenapa dia mengucapkan itu!
"Memang masih sehari. Tapi karena sadar jarak kita sejauh ini, rasanya seperti terakhir kita ngobrol sudah berminggu-minggu yang lalu. Padahal kita melakukannya tiap hari."
Dia memang orang yang sangat menyebalkan. Dia sendiri yang membuat jarak lokasi kami sangat jauh. Di saat yang sama dia juga yang terlebih dahulu mengucap rindu. Apa dia menikmati aksi menyiksa batinku!?
"Lakukan saja pekerjaanmu dengan baik. Lalu pulanglah saat bisa libur panjang."
"Ya."
"Kau sudah menjelaskan semuanya kan? Kita akhiri obrolan kita sekarang."
"Secepat itu?"
"Aku belum belajar sejak pulang dari sekolah. Sebentar lagi sudah jam tidur. Jadi aku akan belajar sebentar lalu tidur."
"Aku masih ingin ngobrol denganmu."
"Besok."
"Geni."
"Selamat malam."
Selesai mengucapkan salam segera kumatikan sambungan video call kami. Terserah dia masih akan menghubungiku lagi atau tidak untuk malam ini. Aku harus mengutamakan statusku sebagai seorang pelajar. Mengorbankan pendidikan demi orang yang dicintai bukanlah gayaku. Justru aku harus memaksimalkan kwalitasku. Dengan begitu baru aku bisa bertindak lebih percaya diri untuk berdiri sebagai pasangannya.
***
end
19:38 wib
14 Juli 2024
reo
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
RomanceGabriel dan Geni dijodohkan dengan alasan tradisi. Itu sebabnya meski sesama alpha mereka menikah. Tapi harus tinggal terpisah karena Geni masih di bawah umur. Di saat yang sama, Luki berusaha memaksakan cintanya pada Gabriel walau sudah ditolak den...