22. Pertolongan

237 21 13
                                    

Aku terbangun di dalam kamar yang terasa tidak asing. Beberapa kali aku pernah kemari, sekian tahun lalu. Tapi kondisiku tidak begini. Tidak dengan kedua tangan terikat ke sandaran ranjang.

“Luki sialan.” batinku, kesal.

Aku tahu ini ulah makhluk berengsek itu karena dengan mudah kukenali kamar kos ini sebagai miliknya. Perabotnya masih sama. Termasuk aromanya. Gilanya kali ini seluruh bagian dinding dipenuhi foto-fotoku.

“Sejak kapan dia jadi tak waras begini!?” tambahku yang masih membatin.

Kutarik-tarik pergelangan tanganku. Berharap kain yang mengikat ke sandaran ranjang bisa lepas. Sayangnya gagal. Aku masih di posisi semula. Terbaring menghadap langit-langit yang ternyata juga ditempeli foto-fotoku.

“Dari mana dia mendapatkan semua itu!?” batinku terus menambahkan.

Tidak lama, si pelaku kegilaan pun datang. Dia masuk kedalam kamar tanpa menunjukkan sedikit pun rasa bersalah. Jangankan itu, dia malah tersenyum seolah aku tidak sedang terikat di hadapannya.

“Kau sudah sadar.” ucapnya.

Aku ingin meninjunya.

“Tadi aku sempat khawatir apakah sengatan listrik yang kuberikan padamu terlalu kuat. Syukurnya kau sudah sadar. Artinya kau baik-baik saja. Iya kan, Gabriel sayang?”

“Kau tidak berhak memanggilku sayang.”

“Tentu saja berhak.” Dia duduk di sampingku, “Aku adalah mate-mu. Cintaku sangat besar padamu.”

“Lepaskan aku, Luki.”

Kalau dia melakukannya sekarang aku bisa belagak semua baik-baik saja. Akan kuabaikan tindakannya yang sebenarnya kelewatan.

“Tentu saja aku akan melepaskanmu.”

Kedengarannya ada syarat untuk persetujuan itu.

“Tapi sebelumnya minumlah ini dulu.”

Kedua mataku langsung mendelik lebar melihat Luki menuangkan cairan mencurigakan ke sebuah sendok makan. Aku tidak tahu kegunaan cairan itu. Yang kutahu instingku mengatakan apapun alasannya aku tidak boleh meminumnya.

“Buka mulutmu, sayang.”

Dia mencoba menyuapiku. Kututup rapat-rapat bibirku. Memang sulit untuk dibuka, tapi karena Luki terus memaksa akhirnya cairan itu masuk juga. Aku ingin meludahkannya. Menyemprotkan ke wajah kurang ajarnya. Sayangnya malah tertelan juga.

“Sekarang aku hanya perlu menunggu 5-10 menit.” jelasnya, “Saat itu kau tidak akan malu-malu lagi padaku. Kita bisa saling menikmati satu sama lain.”

“Kau menjijikkan, Luki!”

“Menjijikkan? Mana mungkin menjijikkan? Kita saling mencintai kan? Hanya saja kau sedikit pemalu.”

“Hentikan khayalanmu. Sekarang lepaskan aku!”

“Tidak perlu berteriak. Tunggu saja beberapa menit lagi.”

Makhluk satu ini, semakin dibiarkan dia semakin tidak tahu diri. Semula aku berniat mengabaikannya, tapi berani sekali dia melampaui batasannya.

Aku bukan sasaran yang tepat untuk obsesinya. Bahkan aku sudah tidak mau lagi menjadi temannya. Bagiku dia cuma sampah, yang kalau tidak boleh dibakar setidaknya boleh kukubur di dalam tanah setelah kuremukkan.

“Ini kesempatan terakhirmu, Luki.” Aku menawarkan, “Buka ikatan tanganku selagi aku masih menahan diri.”

“Apa maksudmu dengan menahan diri? Kau sudah tidak tahan untuk kusentuh?”

GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang