Itu merupakan cinta pada pandangan pertama.
Aku masih kelas 3 SMP, saat itu. Atau bisa juga disebut kelas IX. Tidak ada ekstrakurikuler yang kuikuti kecuali aktif sebagai ketua OSIS. Tapi, karena sekolahku mengikuti kejuaraan basket yang diselenggarakan sebuah universitas dan anggota tim basket kami kekurangan pemain akibat seseorang mengalami cedera, aku diminta mengisi posisinya. Lalu di sanalah untuk pertama kalinya kulihat dia yang sungguh mempesona.
Tubuhnya tinggi ramping dengan kulit putih pucat yang tertutup pakaian serba hitam. Rambut lurus sebahunya membingkai wajah sempit berhidung mancung dan bibir tipis yang sepertinya jarang terbuka. Dia hampir tak pernah bicara. Sekadar berdiri di antara para panitia penyelenggara lomba. Dia... luar biasa.
“Geni.”
Aku ingin mengenalnya.
“Geni.”
Ingin tahu siapa namanya.
“Geni.”
Bagaimana suaranya,
“Hey, Geni!”
sifatnya,
“Geni!”
kelakuannya,
“Woy!”
semuanya.
“Dari tadi aku memanggilmu, Geni!” seseorang menarik bahuku, “Apa yang kau lakukan? Kenapa belum menggunakan kaos olahraga?”
Segera kuamati tubuhku sendiri. Dia benar, aku masih dengan seragam sekolah berdasi biru tua.
“Maaf.”
“Ayolah, cepat ganti pakaianmu. 10 menit lagi tim kita maju.”
“Ya.” jawabku yang sudah kehilangan sosok itu.
Dia terlanjur pergi, laki-laki alpha itu. Ya, dia seorang alpha sama sepertiku. Tapi aku tidak bisa membantah naluriku yang tertarik padanya. Padahal, yang paling pantas berdampingan dengan alpha pastilah omega, jika bukan beta.
***
Pertandingan berlangsung. Timku cukup unggul. Sebagai penyerang, aku sudah berhasil mencetak beberapa angka. Sejujurnya kemampuanku biasa saja. Aku cuma beruntung karena memiliki tubuh tinggi yang lebih dari rata-rata anak seusiaku.
“Kita unggul.” ucap pelatih di waktu istirahat, “Tapi kalian jangan lengah. Musuh kita terkenal senang membalik keadaan di menit-menit terakhir. Mereka belum mengeluarkan pemain terbaiknya.”
“Kami mengerti, pelatih.”
Aku tidak termasuk yang mengerti karena pada dasarnya aku bukan benar-benar bagian dari tim basket. Aku tidak tahu tentang kebiasaan lawan atau bahkan timku sendiri. Dan lagi, konsentrasiku sudah buyar akibat kemunculan sosok itu. Di tengah kegiatan berunding di tepi lapangan, cepat-cepat kuhampiri tasku untuk mengambil ponsel. Segera kugunakan untuk memotretnya.
“Ada apa, Geni?” tanya pelatih padaku.
“Aku... aku menunggu telfon dari keluargaku.” jawabku, bohong.
“Benar juga, ibumu baru mengalami kecelakaan kan?” sahut salah 1 anggota tim, “Maaf karena kami memaksamu ikut pertandingan.”
“Tidak apa-apa.”
Sungguh tidak masalah karena kondisi ibuku sudah baik-baik saja. Kecelakaan yang dialaminya tidak parah. Setelah pemeriksaan di rumah sakit, ibu dinyatakan bisa menjalani perawatan di rumah. Hanya perlu beristirahat. Itu sebabnya aku tidak keberatan mengikuti pertandingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
RomanceGabriel dan Geni dijodohkan dengan alasan tradisi. Itu sebabnya meski sesama alpha mereka menikah. Tapi harus tinggal terpisah karena Geni masih di bawah umur. Di saat yang sama, Luki berusaha memaksakan cintanya pada Gabriel walau sudah ditolak den...