10. Seleranya berbeda [sudut pandang Geni]

242 21 25
                                    

Aku sedang berada di kantor operator seluler saat kabar itu kudapat dari ibu. Kak Gabriel sakit. Perasaanku langsung menjadi tak karuan. Aku mengkhawatirkannya. Untungnya posisiku tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dia berada di rumah keluarga Lee. Karena aku sudah menyerahkan proposal permintaan sponsor untuk acara di sekolah pada pihak operator seluler, aku bisa langsung mengunjunginya. Tapi tidak, aku perlu membeli sesuatu sebagai buah tangan. Itu adat yang berlaku di Indonesia, kalau tidak salah.

10 menit, akhirnya aku sampai di rumah keluarga Lee. Baru saja turun dari motor di samping pos satpam dan dipersilahkan masuk sementara motorku akan diparkirkan oleh satpam keluarga Lee.

Ini pertama kalinya aku kemari jadi... perasaanku semakin tak karuan.

“Geni, kau sudah datang.” ucap ibu kak Gabriel begitu melihatku di depan pintu yang terbuka lebar.

Dia tidak sendirian. Di sampingnya berjalan seorang laki-laki berpakaian rapi yang sepertinya sedang diantarnya untuk keluar.

“Selamat siang, tante.” salamku.

“Apa maksudmu dengan panggilan tante? Aku kan—“ keluhannya terputus, mungkin sadar orang di sampingnya tidak boleh mengetahui statusku dalam keluarga Lee.

“Saya permisi.” ucap orang di sampingnya.

Dia tersenyum saat melewatiku. Kujawab dengan sedikit membungkukkan badan.

“Itu dokter yang baru memeriksa keadaan Gabriel.”

“Bagaimana keadaannya?” tanyaku.

“Masuklah dulu. Gabriel hanya kecapekan. Dia butuh istirahat dan makan secara teratur. Ada obat yang harus dia minum sampai 3 hari kedepan.” Syukurlah, “Sepertinya kau membawa sesuatu.”

“Ah, ini... bubur, kalau memang tidak masalah untuk dimakan.”

“Tentu saja tidak masalah. Sebaiknya dia memang memakan bubur. Tolong paksa dia makan. Anak itu tidak suka makanan yang teksturnya lembek, tapi saat sakit lebih baik makanan yang seperti itu kan?

Kau langsung saja ke kamarnya. Yang di sebelah ruang tengah. Aku akan ke apotek dulu untuk membeli plester penurun demam dan obat-obatnya.”

“Kalau plester penurun demam, aku membawanya.”

“Benarkah? Kau benar-benar sigap. Beruntung sekali anak lemah itu menikahimu.”

Itu sebutan yang sama seperti ejekan dari ayahnya yang kudengar beberapa hari lalu. Apa kak Gabriel selemah itu? Atau keakraban keluarganya saja yang membuat ejekan sebagai bentuk kedekatan?

“Temui saja dia. Kalau butuh apa-apa kau bisa meminta bantuan mbak-mbak di sini. Biasanya jam segini mereka nonton tv di kamar.”

Kuanggukkan kepalaku.

“Aku pergi dulu.”

Ibu kak Gabriel pun benar-benar pergi setelah itu. Tinggal aku yang terdiam sendiri di tengah ruang tamu yang terasa agak menakutkan. Bukan apa, tapi... tampilan klasik rumah keluarga Lee sedikit tak biasa untukku. Ada banyak hiasan dinding berupa wayang kulit dan  keris yang berjejer rapi. Aku tidak ingin berlama-lama di ruang ini. Dan lagi, urusanku adalah menjenguk kak Gabriel. Dia berada di kamarnya. Jadi aku akan langsung kesana.

***

Aku sampai di depan sebuah kamar yang sempat tak bisa kubukà pintunya karena tidak langsung sadar kalau caranya adalah dengan menggeser pintu itu. Aku masuk setelah mengetuk dan menyebutkan namaku tapi tidak ada jawaban.

Terlalu menyolok mata. Warna kamar kak Gabriel, maksudku. Dinding kamarnya memang berwarna hitam. Begitu pun dengan lantainya. Tapi sprei dan selimutnya berwarna merah menyala. Warna polos yang sangat menyita perhatian terutama di ruangan yang didominasi hitam. Aku hampir tak bisa menyadari dimana keberadaan kak Gabriel karena dia tertutup selimut dari leher hingga kaki. Rambutnya pun sewarna. Kalau bukan karena wajah putih pucatnya, kurasa aku tidak akan menyadari jika dia terbaring di sana.

“Kenapa tidak ada apa-apa di dalam kamarnya?” batinku.

Ini sungguh tidak ada apa-apa selain ranjang yang merah menyala. Tidak ada lemari, meja, kursi, kaca, atau pun jendela. Sebenarnya ada apa dengan kamarnya? Padahal ukurannya cukup besar dan ruang tamu yang baru kulewati saja serupa museum tapi bisa-bisanya dia memiliki kamar yang menampilkan ketiadaan.

“Ini lebih dari sekadar minimalis.” tambahku, masih membatin.

Tapi tidak. Sepertinya kamar ini bukan tidak memiliki apapun selain papan untuk tidur. Aku mulai menyadarinya setelah melihat garis samar di tepi ranjang. Kuraba dengan hati-hati, lalu kutarik perlahan. Muncul. Ternyata ada sebuah kursi berbentuk balok warna merah.

Kak Gabriel mengarahkan pandangannya padaku.

“Maaf.” pintaku.

Tidak ada reaksi. Apa lagi-lagi dia sedang tidak sadar seperti beberapa hari lalu? Tapi kali ini matanya tidak berwarna merah. Masih hitam.

“Aku... akan memakaikan plester penurun demam di dahimu.”

Tetap tidak ada reaksi. Dia sekadar menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. Aku jadi tidak tahu harus bagaimana. Rasanya akan salah jika aku melanjutkan niatku memasang plester penurun demam di dahinya.

“Wangi.” Eh?

Akhirnya dia bersuara dengan lemah. Tapi... wangi? Apanya yang wangi?Aku tidak mengenakan parfum. Bahkan memang tidak pernah. Jadi kalau ada aroma yang tercium oleh hidungnya pasti hanya aroma asli tubuhku. Ah, tunggu. Mungkin maksudnya aroma dari bubur yang kubawa. Benar juga, aroma bubur memang wangi. Setidaknya menurutku.

“Aku membawa bubur.” jelasku, “Kau ingin memakannya?”

Lagi-lagi tidak ada reaksi.

“Dimana meja kamar ini?” batinku.

Aku hanya menemukan kursi secara tak sengaja. Sekarang aku membutuhkan meja untuk meletakkan barang bawaanku. Tapi sudahlah. Terlalu lama kalau aku harus mencari-cari benda itu. Untuk sementara kuletakkan di lantai saja.

“Akan kupasang dulu plester ke dahimu. Setelah itu akan kubantu kau makan.”

Tidak ada perlawanan. Dia menurut begitu saja. Termasuk saat kusuapi bubur. Dia memakan habis semuanya meski dengan perlahan. Itu tidak seperti yang dikatakan ibunya. Dia tidak rewel sama sekali.

“Dia menghabiskan bubur yang kau bawa?” tanya ibu kak Gabriel yang tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku.

“Ya.” jawabku.

“Aku sudah membeli obat. Ah, kau tidak tahu letak meja di kamar ini kan? Maaf, seharusnya aku memberitahumu sebelum ke apotek.”

Benar, dimana meja itu?

“Tolong pegang dulu.” Dia memberikan obat-obat dalam kresek kepadaku lalu mulai meraba tepian ranjang yang sejajar dengan bantal, “Bagian ini kau tarik keluar begini.” Muncul papan! “Kalau mau lebih tinggi, tarik ke atas. Ini ada penyangganya yang bisa diatur perlu setinggi apa.”

Aku kehabisan kata-kata.

“Gabriel itu cerewet. Barang-barang yang dia mau biasanya tidak ada di pasaran. Harus dirancang dan dibuat sendiri. Jadi semua perabot yang ada di kamar ini buatan ayahnya.

Lemarinya ada di sana. Pintunya digeser.” Oh, “Jendela di sana, digeser dulu penutupnya. Tombol lampu di sana. Saat tidak dinyalakan memang tidak terlihat letak lampunya.

Kalau sprei dan selimut dia jahit sendiri. Aku cuma menemaninya memilih bahan.”

“Dia bisa menjahit?”

“Hanya untuk barang-barang tanpa pola.”

“Itu juga sudah terdengar hebat.”

“Seperti yang kukatakan tadi, dia cerewet. Kalau tidak membuat sendiri belum tentu dia bisa mendapatkan apa yang dia mau.”

Aku tahu ada orang dengan karakter semacam itu. Tapi memang baru kali ini mengenal secara langsung. Kurasa karakter itu cocok untuknya. Karena selera yang tidak biasa makanya dia tampak mempesona. Dia berbeda dari alpha-alpha lainnya.

***

10:35 wib
31 Oktober 2023
reo



GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang