Kukira aku bisa menginap. Nyatanya tidak karena Geni mengusirku.
Dia sibuk belajar. Aku memperhatikan sambil tiduran di ranjangnya sampai sungguhan ketiduran. Saat terbangun, dia langsung menyuruhku pulang.
“Sudah jam berapa sekarang? Terlalu malam. Biarkan aku tidur lagi.” Aku mencoba bernegosiasi.
Tidak berhasil. Dia justru menarik paksa tubuhku agar meninggalkan ranjangnya.
“Kau bukan gadis perawan. Pulanglah.” Tegasnya.
“Keselamatan di jalan tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin. Laki-laki juga bisa jadi korban kejahatan.”
“Kau seorang alpha.”
“Orang tuaku saja sering mengataiku lemah.”
“Kalau begitu aku akan mengantarmu.” Ha?
“Apa kau lupa umurku? Aku lebih tua darimu.”
“5 tahun.” Benar, “Tapi kau tidak berani pulang sendirian makanya aku akan mengantarmu.”
“Bukan tidak berani pulang sendirian, Geni.”
“Daritadi alasanmu tentang keselamatan.”
“Aku hanya tidak ingin pulang.” Kali ini aku yang memberi ketegasan, “Apa susahnya kau biarkan aku menginap di sini semalam? Lagipula aku ini suamimu.”
“Justru karena kau suamiku.”
“Kenapa kalau aku suamimu?”
Dia tidak cepat menjawab. Sepertinya sengaja menahan diri agar bisa menemukan rangkaian kalimat yang tepat.
“Biarkan aku menginap. Se—“ Dia memutus omonganku.
“Kau sudah mengikatku.”
Dia benar tentang itu. Kulakukan tanpa sadar setelah upacara pernikahan.
“Ikatan semacam itu akan membuat pihak yang terikat sulit mengabaikan pesona pengikatnya.” Benarkah?”Secara fisik aku lebih kuat darimu. Kalau aku kehilangan kendali, kau tidak akan bisa melawanku.”
“Tidak masalah kan? Kita sudah menikah. Aku suamimu. Kalau sampai berbuat lebih—“ Lagi-lagi dia memotong ucapanku.
“Kau mulai ingin melanggar nasehat orang tua.”
“Bukan begitu.”
“Memangnya apa lagi kalau bukan begitu? Orang tua kita sudah mengingatkan untuk tidak berbuat macam-macam sebelum umurku 20 tahun.”
“Aku akan berusaha menahan diri.”
“Masalahnya akulah yang tidak bisa menahan diri!” Eh? “Sudah kubilang pihak yang terikat susah mengabaikan pesona pengikatnya kan? Aku terikat olehmu. Aku susah mengabaikan pesonamu, kak Gabriel!”
Bersamaan dengan selesainya Geni bicara, terdengar suara pintu gerbang terbuka. Disusul suara mobil yang masuk perlahan ke pekarangan rumah.
“Ibuku datang.” Bisa kulihat mobilnya dari jendela, “Sekarang belum jam 12 malam. Aku akan mengantarmu pulang.”
“Aku bisa pulang sendiri.”
Lebih baik aku menyerah. Aku akan pulang saja.
“Apa kau marah?” tebaknya.
Memangnya aku terlihat marah? Aku hanya sudah tidak ingin berdebat dengannya. Tidak baik kalau didengar oleh ibunya.
Tersenyum, kusentuh puncak kepalanya. Kuelus dengan sedikit kasar, nyaris kuacak-acak rambutnya. Hingga akhirnya aku tertawa.
“Terima kasih karena sudah mencintaiku.” ucapku, “Terima kasih juga karena bisa terpesona olehku. Kali ini aku akan menurutimu. Tapi sesekali biarkan aku menciummu.” Dan aku sungguhan menciumnya, “Kalau sebatas itu, orang tua kita tidak melarang kan?
Aku akan berpamitan pada ibumu sebelum pulang. Kau tidak perlu mengantarku. Urus saja selangkanganmu.”
Geni yang awalnya hanya sedikit terkejut akibat ciuman tiba-tiba dariku, langsung menjadi luar biasa terkejut karena kalimat terakhirku. Dia pasti malu karena aku menyadari kondisi di balik celananya. Terlihat sesak, meski tidak seberapa. Aku puas melihat reaksinya.
***
Aku benar-benar pulang setelah berpamitan pada ibu Geni. Sebelumnya aku sempat menanyakan kondisi suaminya yang berarti ayah mertuaku. Kondisinya masih turun, tapi tidak seburuk sebelumnya. Dan setelah mengambil pakaian ganti ibu Geni juga akan langsung kembali ke rumah sakit.
“Ini pertama kalinya kau pulang selarut ini, Gabriel.” tegur ibu begitu aku sampai di teras rumah.
Meski laki-laki, aku memang hampir tidak pernah berada di luar rumah saat malam hari. Terbiasa mendapat larangan main sejak kecil, jadi aku terbiasa menghabiskan waktu di rumah jika tidak ada kegiatan sekolah atau kuliah. Kencan selalu kulakukan di siang hari.
“Aku baru menemui Geni.” jelasku.
“Saat aku menelfonmu tadi kau sedang bersama dengannya?”
Kuanggukkan kepalaku.
“Dia juga bukan anak yang suka keluyuran malam-malam.”
“Aku menemuinya di rumahnya, saat dia belajar.”
“Dan kau di sana sampai selarut ini?”
“Aku sempat ketiduran.”
Ibu terdiam.
“Tenang lah, Bu. Aku tidak macam-macam. Dia masih perawan.”
“Geni laki-laki, Gabriel.”
“Perjaka kalau begitu.”
Ibu menarik napas dalam-dalam yang dikeluarkannya dengan kasar.
“Masuk lalu cepat tidur.”
“Ya.”
“Lain kali kalau kemalaman menginap saja.” Geni melarangku, “Tidur di kamar tamu. Yang penting kau tidak macam-macam padanya. Daripada naik mobil sendirian. Kalau ada begal bahaya. Aku tidak ingin kau masuk berita kriminal.”
“Ya-ya.”
Sudah tengah malam pun ibu masih ceramah. Padahal kalau kesal pada ayah langsung diam tidak bersuara. Tapi aku lebih memilih diceramahi daripada didiamkan orang yang marah. Agar masalah mudah diselesaikan.
***
21:16 wib
1 November 2023
reo
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
RomanceGabriel dan Geni dijodohkan dengan alasan tradisi. Itu sebabnya meski sesama alpha mereka menikah. Tapi harus tinggal terpisah karena Geni masih di bawah umur. Di saat yang sama, Luki berusaha memaksakan cintanya pada Gabriel walau sudah ditolak den...