Setelah lulus kuliah aku semakin jarang bertemu Geni. Itu karena aku mendapat tawaran kerja di luar kota. Kuterima. Makanya kami menjadi jauh terpisah. Dan sudah berlangsung selama 2 tahun.
Rasanya tidak menyenangkan, tentu saja. Tapi mau bagaimana lagi kalau terkait dengan pekerjaan. Ya, setidaknya hari ini kami akan bersama. Geni baru saja tiba di hadapanku setelah menempuh perjalanan beberapa jam dengan kereta api.
'Dia tampan sekali.' Batinku begitu melihat Geni keluar dari area stasiun.
Aku menunggu di tepi jalan. Dia menghampiriku dengan tampilan yang jauh berbeda dibanding sebelum-sebelumnya.
Pertama kali aku melihatnya adalah di hari pernikahan kami. Dia sudah dalam balutan busana adat Jawa yang... ya begitulah. Berkharisma. Setelahnya, aku cuma pernah melihatnya mengenakan seragam SMA atau baju sederhana layaknya remaja pada umumnya. Tapi hari ini, baiklah dia memang tetap mengenakan baju sederhana. Meski begitu yang kali ini tidak seperti gayanya.
"Kau datang dari Jakarta atau dari Tokyo?" Ucapku begitu saja ketika dia berhenti di depanku.
"Apa maksudmu?"
"Kau terlihat keren, itu saja."
Dia sedikit salah tingkah. Tampak dari pandangannya yang menghindari tatapanku dan tangan kirinya yang merapikan letak tali totebag di bahunya.
Nah, dia membawa totebag bukannya ransel. Itu sangat tidak biasa untuk pria-pria di Indonesia. Lebih tidak biasa dari atasan dan bawahan oversize yang membungkus tubuh tingginya.
"Sudah sarapan?" Tanyaku, sekaligus tawaran untuk pergi makan seandainya perutnya memang belum terisi.
"Aku makan roti dan minum kopi di kereta." Oh.
"Kita langsung ke tempat kosku saja kalau begitu."
"Kenapa tidak beli makanan terlebih dahulu?"
"Memangnya kau lapar? Kukira kau kenyang setelah makan roti." Apalagi dia juga meminum kopi. Biasanya akan terasa sangat kenyang.
"Bukan aku tapi kau, kak Gabriel." Aku? "Kau pasti belum makan."
"Aku punya roti. Nanti makan itu saja."
"Padahal kau lebih suka nasi."
Aku tertawa mendengarnya. Pelan. Geni benar, aku lebih menyukai nasi dibanding roti. Mungkin karena aku orang Indonesia yang lahir dan dibesarkan dalam budaya lokal. Sejak kecil aku terbiasa dengan nasi entah itu untuk sarapan, makan siang, maupun makan malam. Roti lebih seperti cemilan meski membuat kenyang.
"Sulit mencari makanan dengan rasa seperti masakan ibuku. Jadi akhir-akhir ini aku sering makan roti."
"Dasar pemilih."
Aku kembali tertawa. Dan kami pun mulai berjalan menuju tempat kosku yang tidak seberapa jauh dari stasiun.
***
Rasanya kangen sekali. Aku benar-benar merindukan Geni yang selama beberapa waktu sebelumnya sekadar bisa kudengar suara dan kulihat wajahnya melalui video call. Kali ini dia sungguhan berada di hadapanku. Bisa kusentuh. Itu sebabnya begitu sampai di tempat kos-di dalam kamar, langsung kupojokkan tubuhnya ke dinding. Kami segera berciuman.
"Cukup."
Dia sedikit mendorong tubuhku agar menjauh saat ciumanku mulai beralih dari bibir menuju lehernya. Aku ingin mengendus wanginya.
"Kita tidak bisa melakukan lebih di tempat seperti ini, kak."
"Kenapa?"
Memangnya ada apa dengan tempat ini? Dengan kamar kosku. Menurutku cukup rapi. Jadi meski sebenarnya agak sempit, masih terasa lapang untuk kami berdua berbuat macam-macam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gravity
RomanceGabriel dan Geni dijodohkan dengan alasan tradisi. Itu sebabnya meski sesama alpha mereka menikah. Tapi harus tinggal terpisah karena Geni masih di bawah umur. Di saat yang sama, Luki berusaha memaksakan cintanya pada Gabriel walau sudah ditolak den...