6. Permintaan maaf yang justru menambah masalah

306 24 0
                                    

Selesai dengan kuliah aku segera ke rumah sakit tempat ayah Geni dirawat. Tapi langsung merasa bodoh sendiri karena sebelumnya aku tidak bertanya ruang rawatnya yang mana. Begitu memasuki area rumah sakit aku justru menyusuri lorong begitu saja dan sepertinya sedang tersesat.

Sial, aku selalu begini tiap pergi ke tempat yang belum pernah kudatangi. Sekarang aku harus mencari seseorang untuk bertanya. Terserah siapa saja asal bisa kuajak bicara.

“Kak Gabriel.” Suara itu! “Apa itu kau?”

Kubalik tubuhku. Menghadap ke asal suara yang menanyaiku. Geni. Dia bisa menolongku.

“Syukurlah kita bertemu. Aku tersesat.”

“Ha?”

Akhirnya kami menuju ruang rawat ayahnya setelah kusampaikan maksudku. Berjalan berdua, bersebelahan, hingga aku makin sadar tinggi badannya yang melebihiku. Dan aku tidak bisa menahan diri untuk menanyakan seberapa tinggi sebenarnya badannya itu.

“Berapa tinggi badanmu?” tanyaku.

Dia tidak cepat menjawab. Mungkin masih heran untuk apa hal tak penting semacam itu kutanyakan.

“... Sekitar 186cm.”

“186cm!?” Dia berhasil membuat kedua mataku membulat.

“Aku tidak yakin.”

“186cm dan umurmu baru 16 tahun. Masih bisa lebih tinggi lagi.”

“... Mungkin begitu.”

“Aku 7cm lebih pendek darimu, kalau kau ingin tahu.”

“Seratus... tujuh puluh sembilan?”

“Ya.”

“Kukira kau tidak lebih dari 175cm.”

“Sialan.”

“Maaf.”

“Tidak apa-apa. Kau jauh lebih tinggi dariku, tidak aneh kau melihatku pendek.”

“Bukan begitu. 179 juga tinggi kan?”

“Tidak cukup tinggi jika dibandingkan ayah dan kakakku.”

Dia segera menghentikan langkah kakinya, secara tiba-tiba. Aku pun ikut melakukan hal yang sama. Karena memangnya aku harus berjalan kemana kalau tujuanku saja tidak kutahu arahnya? Aku baru tersesat.

“Kau punya kakak?” Oh, dia ingin tahu tentang itu.

“Ya.” jawabku sambil mengangguk, “Kukira kau sudah tahu.”

“Aku... tidak tahu banyak tentangmu.”

Itu wajar. Kami memang tidak saling mengenal. Tiba-tiba saja dijodohkan dalam waktu singkat dan langsung menjalani upacara pernikahan di pertemuan pertama.

“Aku punya 1 kakak laki-laki dan 2 kakak perempuan. Tapi yang sulung  sudah lama meninggal. Dia perempuan.”

“Tidak ada yang hadir di upacara pernikahan.”

“Acaranya terlalu mendadak. Mereka tidak bisa seenaknya datang karena tinggal di luar negri.”

“Jadi kau punya kakak. Pantas saja perjodohan kita terlihat mudah.”

“Apa maksudmu?”

“Kalau kau anak tunggal, orang tuamu pasti akan keberatan kau menikahi laki-laki. Karena tidak akan beranak.”

“Bukankah kau sendiri anak tunggal?” tanyaku, “Maaf, setahuku adikmu baru meninggal. Kau jadi satu-satunya penerus keluarga Ibrahim.”

“Apalagi yang bisa diharapkan dariku?” Dia kembali berjalan dan aku mengikuti di sampingnya, “Aku gay. Tidak menikah denganmu pun tetap tidak akan menghamili siapa-siapa.”

Dia gay. Aku tidak pernah menebak ke arah sana. Kukira dia menyetujui perjodohan hanya karena sudah putus asa pada kondisi keluarganya. Adiknya meninggal dan ayahnya tidak sadarkan diri di rumah sakit. Kukira cuma itu alasannya. Tapi mungkin memang cuma itu. Tentang dia yamg seorang gay, kebetulan saja begitu.

***

Aku tetap tidak bisa menghafal jalan di dalam rumah sakit. Setelah sampai di ruang rawat ayah Geni, aku ngobrol dengan ayahnya sebentar. Agak canggung karena itu pertemuan pertama kami, tapi sepertinya aku diterima dengan baik. Selesai ngobrol aku memutuskan segera pulang agar tidak terlalu malam saat tiba di rumah. Dan untuk itulah aku perlu bantuan Geni, lagi. Dia mengantarku sampai ke halaman rumah sakit. Betapa payahnya aku.

“Terima kasih.” ucapku yang langsung ditanggapinya dengan tawa, pelan, “Kau menganggapku konyol karena susah menghafal jalan kan?”

“Maaf. Aku tidak menyangka kau yang seorang alpha punya kelemahan.”

“Kelemahanku banyak. Sampai kadang kupikir mungkin aku seorang beta.”

Dia menggelengkan kepalanya.

“Kau alpha.” sangkalnya, “Aku bisa melihat itu.”

“Karena aku pernah mengoyak bajumu kan?” Terjadi pada hari itu, “Hanya alpha yang bisa mengikat pasangannya. Dan ngomong-ngomong tentang kejadian itu, aku minta maaf.”

“... Kenapa?”

“Karena caraku terlalu brutal. Aku kehilangan kendali bahkan tidak bisa ingat kejadiannya bagaimana. Dan lagi, kau masih di bawah umur.”

“Jadi tentang di bawah umur ya?” Dia tampak kurang senang saat mengucapkannya.

“Tindakanku abmoral kan?”

Dia semakin terlihat tak senang, kesal.

“Aku tahu selisih umur kita 5 tahun. Aku cuma anak-anak di mata seorang mahasiswa sepertimu.”

Ha?

“Apa kau sedang marah padaku?” tebakku.

“Aku tidak punya hak untuk marah.”

“Kau terlihat kesal.”

“Benarkah? Maaf kalau begitu.”

“Hey, jangan ngambek. Aku tidak bermaksud mem—“

“Kubilang maaf kalau begitu.” Dia semakin kesal, “Aku sudah mengantarmu sampai ke area yang bisa kau kenali. Terima kasih sudah mengunjungi ayahku. Sekarang aku akan kembali ke kamar rawatnya.”

Dia langsung berbalik dan berjalan pergi begitu selesai dengan ucapannya. Tunggu dulu! Woy! Aku baru saja membuatnya kesal tanpa sengaja!? Memangnya bagian mana dari omonganku yang salah? Tentang dia yang di bawah umur? Nyatanya memang begitu umurnya. 16 tahun. Baru 16 tahun. Masih di masa-masa remaja yang—

Ya, dia masih remaja. Tidak aneh kalau terlalu sensitif. Aku harus memikirkan cara untuk mendapatkan maafnya.

***

20:06 wib
29 Oktober 2023
reo







GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang