4. Ternyata bukan mimpi

362 26 0
                                    

Kurasa aku telah mencapai batasku. Rasa sakit di sekujur tubuhku menjadi-jadi. Intan membanting tubuhku beberapa hari yang lalu. Dilanjutkan upacara pernikahan yang berlangsung tak karuan di bagian akhir. Lalu pengerjaan tugas dengan sistem kebut-kebutan. Aku sangat kewalahan. Tapi setidaknya sudah tidak ada hukuman, tanggung jawab, maupun beban lain yang perlu kuselesaikan.

“Gabriel mendapat nilai tertinggi.” ucap dosen padaku, setelah seluruh kelompok melakukan presentasi, “Tapi karena dia mengerjakan tugas kelompok sebagai tugas individu, nilainya akan dikurangi 20%.”

Aku bisa menebak hal itu.

“Apa kau keberatan, Gabriel?” tambahnya, berupa pertanyaan yang ditujukan padaku.

“Tidak.”

“Baguslah kalau kau bisa mengerti. Lain kali kerjakan tugas kelompok bersama teman-temanmu. Karena ini bukan hanya tentang seberapa pintar melainkan juga kerjasama.”

Kuanggukkan kepalaku. Aku tahu kesalahanku. Jadi tidak ada perlawanan yang perlu kulakukan.

Tidak lama, setelah dosen selesai menjelaskan nilai serta beberapa hal lain, kuliah pun berakhir. Kelas mulai sepi. Hanya tersisa aku, Theo, dan sekitar 3 mahasiswa lain.

“Kau terlihat kurang sehat. Mau kuantar ke rumah sakit?” tawar Theo yang langsung membuatku tertawa dengan lemah.

“Apa kau pikir aku seorang omega dalam masa birahi?”

Theo punya kebiasaan itu. Saat ada seorang omega dalam masa birahi yang lupa mengkonsumsi pil, dia harus muncul sebagai pahlawan untuk membawanya ke rumah sakit. Jika tidak pasti akan timbul kekacauan. Feromon yang dikeluarkan omega bisa merangsang nafsu para alpha di sekitarnya. Dalam kasus terburuk, akan terjadi hubungan badan secara masal seperti yang dilakukan anaconda.

“Tapi kau pucat. Dan...” Dia menyentuh dahiku, “sepertinya demam.”

“Aku dibanting seseorang 2 hari yang lalu.”

“Dibanting seseorang?” Luki menyahut.

Kukira makhluk itu sudah enyah dari dalam kelas. Ternyata masih ada.

“Percobaan pembunuhan lagi?” tebaknya.

“Aku tidak akan mengalami hal itu selama kau jauh-jauh dariku.”

“Aku sudah meminta Ayu untuk menenangkan penggemar fanatiknya. Dia setuju.”

Kutarik napasku dalam-dalam. Kukeluarkan dengan kasar.

“Kau tidak bisa memahami cara berpikirku. Sudahlah, aku mau pulang. Jangan mengekoriku.”

Segera kupanggul tasku lalu berjalan menuju pintu keluar dengan langkah berat akibat tubuhku yang kesakitan. Samar-samar bisa kudengar obrolan Luki dan Theo di belakangku.

“Kau tahu apa yang dimaksud Gabriel?”

“Dia tidak ingin kau terlalu akrab dengannya. Sebelumnya Ayu dan penggemar fanatiknya. Lain kali mungkin orang lain akan melakukan hal yang sama. Dia malas berurusan dengan yang semacam itu.”

“Tapi itu bukan kesalahanku kan?”

“Tentu saja kesalahanmu. Karena kau menanggapi orang-orang yang menyukaimu tapi di saat yang sama kau bersikap seolah Gabriel adalah pacarmu.”

Tepat seperti itu. Luki selalu membuat situasi menjadi buruk. Dia menikmati kepopulerannya tanpa peduli orang lain terkena bagian jeleknya. Aku heran kenapa dia ingin menempeliku. Kalau hanya butuh teman dengan otak cerdas ada Theo yang bisa menggantikanku. Meski katanya bukan alpha, aku tahu Theo bukan benar-benar seorang beta. Dia bisa diandalkan di banyak hal. Terbukti oleh statusnya sebagai pahlawan.

***

Akhirnya aku sampai di rumah. Sudah berada di dalam kamarku dan membaringkan diri di atas kasur. Rasanya lega sekali. Ibu masuk tidak lama setelah itu.

“Kau pulang lebih awal.”

“Aku sudah minta izin pada dosen. Ibu tidak perlu khawatir.” jelasku.

“Bukan tentang kehadiranmu di kampus. Aku mengkhawatirkan kesehatanmu.” Aku tahu, “Kau lebam-lebam kan? Di upacara pernikahan juga sempat hilang kendali. Periksa ke rumah sakit saja.”

“Aku tidak sesakit itu.”

“Akan kupanggil dokter kesini.” putus ibu yang mulai berjalan meninggalkan kamarku.

“Aku hanya butuh tidur, Bu.”

Percuma. Ibu tidak mendengarkanku. Dia sudah pergi dan menutup pintu kamarku. Di saat yang sama aku tidak bisa lagi mempertahankan kedua mataku untuk terbuka. Terlalu berat. Terlalu lelah.

Aku mencium aroma wangi. Wangi khas yang seingatku hanya dimiliki oleh Geni. Karena sepertinya bukan berasal dari parfum melainnya memang dari dalam tubuhnya.

Mate.

Aroma itu semakin kuat. Seolah secara perlahan sedang mendekat ke arahku.

Mate.

Ya, aku yakin aroma itu memang mendekat. Tapi... bukankah Geni tidak berada di sini? Kami memang sudah menjalani upacara pernikahan. Sudah dianggap sebagai sepasang suami. Hanya saja tetap harus tinggal terpisah karena lokasi pendidikan yang berjauhan. Dia masih bersama orang tuanya untuk melanjutkan SMA.

Mate.

Mungkin ini cuma aroma yang tercium dalam mimpi. Dan lagi, aku juga bisa melihat Geni. Sial, dia tampan sekali.

***

“Kau sudah baikan?” tanya ibu begitu melihatku berjalan ke arahnya yang sedang memasak di dapur.

“Ya.”

“Aku membuat bubur Manado. Tunggu saja di kamarmu.”

“Aku tidak suka bubur.”

“Apanya yang tidak suka? Tadi kau makan bubur yang dibawa Geni sampai habis.”

Ha? Kapan hal itu terjadi?

“Geni kemari?”

“Dia sedang mencari sponsor untuk acara sekolah di dekat sini. Karena tahu kau sakit dia langsung kemari sambil membawa bubur.”

Aku tidak mengingatnya. Atau... itu terjadi saat aku bermimpi? Maksudku, aku salah mengira kenyataan sebagai mimpi.

“Dia menyuapimu. Juga memasang plester di dahimu.”

Kusentuh dahiku. Ibu benar, ada plester penurun demam yang terpasang.

“Dimana dia sekarang?”

“Pulang.”

Secepat itu? Kenapa tidak menungguku sampai benar-benar bangun?

“Dokter bilang kau akan sembuh asal minum obat dan beristirahat. Karena besok Geni masih harus sekolah jadi dia pulang setelah selesai menyuapimu.”

“Aku tidak ingat dia menyuapiku.”

“Memangnya apa yang bisa kau ingat? Kau bahkan lupa saat membuat ikatan dengannya.”

Ah, kejadian hari itu. Aku belum minta maaf pada Geni. Seharusnya aku juga mengunjungi ayahnya yang sudah berstatus sebagai mertuaku. Tapi aku malah sibuk mengerjakan tugas kuliah dan sekarang kurang sehat begini.

“Kembali saja ke kamarmu. Jangan mengganggu orang di dapur.”

Aku kan tidak melakukan apapun. Tidak mengganggu.

***

08:30 wib
29 Oktober 2023
reo



GravityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang