Prolog

134 59 300
                                    

“Ibu, benang merah takdir itu apa?” tanya bocah laki-laki berumur 5 tahun ketika ia tengah membaca buku dongeng Legenda Benang Merah Takdir bersama kedua orang tuanya.

Sang ibu, yang memangku bocah laki-laki itu, menyunggingkan senyum dan berkata lembut. “Benang merah takdir itu adalah benang yang katanya ada di jari kelingking dan terikat dengan seseorang. Katanya, orang yang terhubung dengan benang merah kita adalah pasangan takdir kita dan akan abadi selamanya.”

Calvin hanya bisa mengangguk paham. Perlahan tatapannya mengarah ke tangan ayahnya. Mengerjapkan mata beberapa kali, ia mengangkat tangan dan menunjuk jari sang ayah. “Kalau begitu, kenapa benang merah punya Ayah terhubung ke tempat lain dan bukan ke Ibu?”

**

“Calvin! Kenalin, ini pacar aku.”

Gadis mungil dan cantik menundukkan kepala sopan seraya tersenyum manis kepada Calvin. Pemuda itu tidak bereaksi apa pun. Kedua tangannya tetap di dalam saku celana menampilkan kesan angkuhnya.

Sahabatnya, Devan, menganggap itu adalah hal biasa dan meminta kekasihnya agar tidak memikirkan sikap Calvin.

“Kita udah pacaran sebulan lalu, akhirnya aku berani kenalin dia ke kamu, Cal.”

“Hmm.... “ Masih berwajah datar, tatapan Calvin perlahan mengarah ke tangan mereka yang saling terkait satu sama lain. Menyadari tatapan Calvin begitu intens ke arah gandengan tangan mereka membuat kekasih Devan merinding ketakutan.

Apa yang dilihatnya sampai seperti itu?

Memejamkan mata sekilas, tungkai Calvin bergerak mendekati perempuan di samping Devan. Ia menundukkan kepala karena perbedaan tinggi badan yang sangat kontras. Tatapan Calvin begitu tajam dan menusuk seolah ia ingin mencabik-cabik perempuan di hadapannya.

“Kau... Berani mengencani sahabatku saat kau lagi ada hubungan juga dengan orang lain? Murahan. Tidak ada harga diri.”

Deg!

Gadis itu refleks mendorong Calvin menjauh. Wajahnya tampak panik dan dipenuhi peluh  keringat. Devan, yang kelimpungan, bertanya dengan hati-hati, “M-maksudnya apa, Cal?”

Membersihkan seragamnya bermaksud menghilangkan jejak tangan si gadis, Calvin menatap Devan. “Cewekmu itu punya pacar juga selain kamu. Kayaknya dia sengaja mau punya pacar dua biar kalau bosen, dia bisa pilih mau main sama siapa.”

Mendengarkan penjelasan Calvin membuat si gadis menunduk ketakutan. Bagaimana dia bisa mengetahuinya? Dia menatap Devan dengan mata berkaca-kaca dan hendak menangis. Perlahan ia mendekati Devan dan memeluk lengannya. “Gak, Devan. Itu bohong. Jangan percaya kata dia.”

“Kalau kamu gak percaya aku, coba periksa HP dia, Dev. Aku yakin ada chat dia sama pacarnya.”

**

Hubungan Devan dengan si gadis berakhir begitu saja setelah mereka memeriksa isi ponselnya. Benar kata Calvin, gadis itu ternyata memiliki simpanan laki-laki. Bahkan tidak hanya dua, melainkan lima pria. Devan bergidik ngeri menyadari betapa seramnya perempuan sekarang.

Dan mereka terkadang menempatkan posisi mereka sebagai korban. Sungguh menggelikan.

Menatap Calvin, Devan merangkul bahu sahabatnya. “Makasih, bro. Berkat kamu aku sadar kalau dia gak pantas dipertahankan.”

“Salah kamu juga kenapa bisa suka sama dia.”

“Ya itu enggak salah, sih.” Devan mengembuskan napas kasar, merutuki dirinya kenapa bisa jatuh cinta kepada wanita yang ternyata suka bermain pria. “Tapi aku bersyukur, sih. Kalau bukan karena kemampuan kamu itu, aku mungkin sampe sekarang bakal jadi mainan dia.”

Calvin tidak menanggapi, tetapi ia membenarkan perkataan Devan soal kemampuan.

“Keren banget sih kamu bisa liat benang merah takdir seseorang kayak gitu. Berasa kamu jadi asisten dewa cinta," ucap Devan kemudian tertawa kagum oleh kemampuan super milik sahabatnya.

[END] Aimi, Unmei no Akai ItoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang