Bab XII

3 1 0
                                    

“Bosen, Cal,” ucap seseorang yang sejak tadi menguasai ranjang Calvin.

Namun, Calvin tidak ada niat merespons. Ia melanjutkan membaca novel di meja belajarnya, membiarkan Devan berguling-guling di atas kasur miliknya, seolah tidak memiliki hal lain untuk dilakukan.

Karena diabaikan, Devan berhenti menggulung dirinya sendiri menggunakan selimut kemudian menatap Calvin. “Astoge, kau dengan novel. Gak bisa sehari lepas dari novel gitu? Bosen bener liatnya.”

Belum ada tanggapan dari Calvin. Baginya novel lebih prioritas ketimbang meladeni Devan. Harusnya di hari libur ini dia bisa bersantai dari rutinitas sekolah yang melelahkan. Mengapa dia begitu tidak tahu malu datang ke sini dengan heboh dan berkata akan tinggal di sini sampai malam ke ibunya sendiri? Calvin menghela napas panjang. Dia memang sahabat Devan, tetapi ketika Devan bertingkah seperti ini rasanya ingin berpura-pura tidak mengenalnya.

Berbicara soal Devan, pemuda ini sengaja datang untuk bermain sekaligus mengganggu Calvin. Meski tahu akan diabaikan, Devan akan tetap datang dan membiarkannya mendengarkan ocehannya sepanjang hari.

Devan adalah sahabat Calvin sejak SMP. Wajar jika mereka saling mengetahui satu sama lain. Devan pula orang yang mengetahui kemampuan super Calvin setelah ibunya.

Walau memiliki teman yang kemampuan penglihatannya membantu untuk membuatnya terhindar dari pasangan toxic, pada dasarnya Devan tidak akan kapok dalam hal hubungan asmara. Bahkan jika ia habis putus dengan kekasihnya, itu tidak butuh waktu seminggu untuk move on dan mencari gadis baru.

Di samping Devan yang suka berganti-ganti pasangan, dirinya sangat setia dan loyal ketika sudah menjalin hubungan dengan seseorang. Itulah mengapa Calvin tidak sudi bila ada yang menjadikan Devan sebagai cadangan.

Calvin akan selalu mengingatkannya jika gadis yang dikencani Devan diam-diam memiliki sifat buruk di belakang. Mau bagaimana pun, mereka bersahabat. Terlepas dari Devan adalah seorang playboy atau Calvin yang bersikap seolah enggan mengenalnya.

“Cal.”

Yang dipanggil tidak menyahut, sehingga Devan mengulang panggilannya. “Calvin.”

“Apa?”

Setelah mendapat respons, Devan mengulas senyum. “Kamu ada pernah mikir gak, itu kemampuan liat benang merah takdir itu dari mana? Pernah kepikir gak?”

“Gak pernah.”

Devan mengerucutkan bibir. “Masa gak pernah? Aku malah sering kepikiran. Kok kamu bisa punya kemampuan itu. Ada leluhur kamu yang sama-sama punya kemampuan kayak gitu juga atau enggak. Atau emang jangan-jangan di kehidupan lama kamu pernah punya, terus akhirnya itu bangkit lagi.” Setelah itu dia menggeleng pelan, terasa pening tiba-tiba. “Sumpah, deh. Kadang aku suka kepikiran gitu.”

Yang punya kekuatannya aku, kenapa yang repot-repot mikir malah kamu? batin Calvin. Helaan napas terlepas dari bibir ranumnya. Jika harus berkata jujur, dia pernah memikirkan hal tersebut. Mengapa dari semua orang, dia yang mempunyai kekuatan ini? Dari mana kekuatan ini berasal? Apa kekuatan ini akan terus ada di dalam dirinya sampai dia mati? Berbagai rentetan pertanyaan yang belum terjawab menumpuk di benak Calvin.

“Tapi yang lebih bikin aku penasaran, apa ada orang lain yang juga punya kekuatan super juga kayak kamu. Harusnya ada, ya? Walau belum pasti.”

Benar. Pasti ada yang mempunyai kekuatan supernatural ini seperti dirinya. Namun, bagaimana mencari mereka? Itu bagai mencari jarum dalam jari. Kesempatannya tidak begitu banyak. Bahkan akan disebut kebetulan jika orang sejenisnya di dekat sini.

“Mungkin aja ada.”

“Iya, kan? Pasti ada, kan! Aku jamin bakal ada yang punya juga selain kamu.” Devan memandang keluar jendela dengan kondisi masih terbungkus selimut. “Andai aku juga punya kekuatan super kayak kamu itu.”

[END] Aimi, Unmei no Akai ItoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang