Bab X

4 1 1
                                    

“Besok aku ulang tahun.”

Fira dan Calvin, yang tengah makan siang bersama, kompak menatap Devan dengan ekspresi bingung. Tanda tanya besar di atas kepala Calvin. Memangnya kenapa kalau kau ulang tahun?

Mendapat reaksi tidak biasa, Devan mengerutkan kening tidak senang. “Kok gak ada respons? Kalian lupa kah?” Tatapannya teralih ke Calvin. “Kamu lupa ultahku, Cal?”

Yang ditanya enggan menanggapi, kembali membaca novel. Sejujurnya Calvin tidak melupakan tanggal ulang tahun Devan. Terakhir kali dia berkunjung ke rumahnya, diam-diam dia menuliskan catatan di tanggal 1 April di kalender kecil milik Calvin yang diletakkan di atas meja belajar.

Di sana tertulis ‘ulang tahun Devan! Jangan lupa hadiah!’ dengan spidol merah.

Dengan catatan tersebut, siapa yang tidak akan melupakannya. Tentu saja meninggalkan bekas ingatan yang dalam. Namun, Calvin malas untuk berkata-kata. Meresponsnya hanya menambah letih.

Lain hal dengan Fira. Gadis berbando putih tersebut menatap Devan penuh kegembiraan. “Pastinya aku inget tanggal ultah kamu. Aku kasih pengingat di kalender hape aku, kok.”

Mendengar penuturan Fira membuat Devan menyunggingkan senyum. Perempuan tidak akan lupa tanggal ulang tahun sahabatnya. Dengan ini dia tidak perlu khawatir mendapat tangan kosong.

Ia enggan berharap pada Calvin. Berharap kepadanya sama saja dengan mendapat kenyataan pahit. Tidak sudi ditampar keras oleh kulkas ini. “Setidaknya aku masih ada Fira. Bocah satu ini gak peduli apa-apa selain novel,” ucapnya lalu mendengus sebal, seolah mengecimus.

Bahkan dengan sindiran ini tak membuat Calvin berkutik sedikit pun. Pandangannya masih terfokus pada rangkaian kalimat dalam buku. Sudahlah, meladeninya hanya akan lelah sendiri.

Pria ini adalah maniak novel. Tak peduli apa kata orang, selama dia bisa membaca novel, untuk melihat dunia rasanya tak sudi.

“Gak mau tau nanti, Cal. Pokoknya ultah aku besok kamu kasih aku hadiah. Aku gak mau kamu tangan kosong.”

“Males.”

“Setidaknya kasih ucapan, kek!”

Mengembuskan napas, Calvin dengan berat hati meletakkan buku lalu bertepuk tangan pelan tanpa ada niatan serius. “Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun.”

Devan membisu. Untuk sesaat dia meragukan dirinya sendiri. Bagaimana dulu dia bisa berteman dengan manusia tidak punya hati seperti Calvin? Orang seperti ini lebih baik jika putus hubungan.

Meski sering kali mendapat respons satu milimeter, tak peduli seberapa banyak Devan mengatakan ingin putus hubungan dengan Calvin, dia tidak akan serius melakukannya. Pada akhirnya, Devan akan kembali menjahili Calvin seolah perkataannya soal itu adalah ilusi.

“Aku mau hadiah pokoknya. Aku tunggu hadiah dari kalian!”

Ketika berbalik dan hendak pergi, Fira lebih dulu memanggil. “Mau ke mana, Van?”

Devan menoleh. “Oh, mau ketemu cewek aku. Dah!”

Setelah Devan menjawab dan berlari meninggalkan mereka berdua, diam-diam Calvin melirik gadis di sebelahnya memeriksa reaksinya. Seperti yang diharapkan, kini Fira dalam keadaan melompong dengan tatapan bodoh. Keterkejutannya tidak tersembunyi dengan baik. Ekspresi Fira seperti baru saja dihantam batu besar di atas kepala.

Tentu saja kau akan bereaksi demikian. Siapa yang tidak sakit hati bila orang yang kita sukai menjalin hubungan dengan orang lain?

“A-aku.... “ Fira terjebak dalam ganar. Bagaimana Devan bisa begitu cepat mencari dan mendapatkan seseorang? Sungguh, social butterfly jangan diremehkan. “Kok dia bisa punya pacar secepet itu? Aku inget pas kapan dia baru putus sama pacarnya.”

Calvin diam memandang. Jika bertanya kepadanya, tentu saja dia tahu. Di samping Devan sering menghabiskan waktu bersamanya dengan Fira, di belakang dia mendekati seseorang.

Mungkin Fira tidak dapat melihatnya dengan jelas, tetapi Calvin sukar ditipu.

Devan bucin beberapa hari terakhir adalah bukti kuat.

Memilih mengabaikan pertanyaannya, Calvin melanjutkan baca. “Kapan mau beli hadiah buat dia?”

“Hmm?” Fira mengerut bingung sementara yang ditatap enggan mengalihkan perhatian. “Apaan, Cal?”

“Aku nanya kapan mau beli hadiah buat si bocah Devan. Dia ngotot pengin hadiah, mau gak mau harus aku beliin.”

Ternyata karena itu. Sebenarnya Fira telah menyiapkan hadiah ulang tahun untuk Devan dari seminggu lalu menggunakan uang jajan yang ditabungnya. Namun, berjalan-jalan untuk melihat-lihat barang lainnya sebagai tambahan sepertinya ide bagus.

Agaknya tidak perlu diberitahukan soal hadiah itu. Fira menatap Calvin. “Abis pulang sekolah juga boleh.”

Netra milik Calvin terangkat, mengarah ke Fira. Tatapannya begitu intens tanpa mengatakan apa pun, membuat si gadis mengernyit heran. Ada sesuatu yang lucu di wajahnya? Mengapa melihat segitunya?

Memejamkan mata, Calvin dengan tenang menjawab, “Yaudah.” Kemudian dia melanjutkan baca.

Sisa jam istirahat Fira habiskan bersama Calvin. Jujur saja, dia menyadari sesuatu yang janggal. Jika melihat ke masa lalu ke pertemuan pertama mereka di taman belakang sekolah, Fira menganggap Calvin sebagai orang mesum yang ingin mendekatinya dengan niat jahat. Namun, melihat sikap pemuda itu sekarang, kesan Fira berubah 180°.

Meski dingin, Calvin perhatian. Buktinya beberapa hari lalu ketika dia memikirkan banyak hal perihal surat ancaman, Calvin dengan senang hati menawarkan telinganya untuk mendengar cerita Fira.

Tidak lupa ketika Calvin membantunya belajar.

Orangnya irit berbicara, tetapi menunjukkannya lewat tindakan. Contoh sempurna untuk pemuda gentle.

Tunggu, gentle?! Aku nganggap Calvin gentle? Dari mana dia gentle?

Fira mendengus sebal. Pandangannya kembali tertuju pada Calvin. Bagaimana pemuda ini bisa begitu betah membaca buku seharian? Novel tidak pernah lepas dari tangannya. Apa yang membuatnya begitu menyukai novel?

“Cal, kenapa kamu suka baca novel?” Akhirnya pertanyaan yang selama ini terjebak di benaknya berhasil keluar.

Kebetulan, Calvin telah mencapai halaman terakhir. Ia menutup buku novel lalu mengambil botol air putih. Setelah menghabiskannya hingga tersisa setengah, dia berkata pelan, “Karena tertarik sama fiksi. Cerita dalam berbagai tema, plot yang kompleks, latar dan karakter beragam, pesan moral baik tertulis atau tersirat. Aku mau melihat dunia-dunia yang ditunjukkan di setiap buku. Terus banyak kosakata yang bisa aku pelajari. Makanya aku suka baca.”

Fira mengerjapkan mata untuk sesaat. Tidak disangka alasan dibalik itu cukup mengejutkan. Teman-teman di sekitar Fira yang suka membaca novel kebanyakan beralasan karena mereka memang suka dengan tokoh di dalamnya atau hanya ingin menghabiskan waktu. Namun, alasan Calvin lebih dalam dari dugaannya.

“Yah, kalo bisa jujur, membaca juga penting. Bukan hanya sekadar baca karya fiksi, perbanyak baca buku yang memuat sejarah atau peristiwa dunia bisa bikin kita berpikir objektif dan kritis.”

Calvin menangkap keterkejutan dalam mata Fira. Mengapa dia begitu terkejut? Dia hanya mengutarakan pendapat tentang bagaimana pentingnya membaca, terlebih di zaman modern seperti sekarang.

Saat itu, mata Calvin melirik ke sudut lain. Ini juga hinaan untuk warga negara ini. Bersikap sok pintar tapi untuk membaca dan memahami sepenggal kalimat dalam postingan saja tidak mampu.

[END] Aimi, Unmei no Akai ItoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang