Bab XIX

1 1 0
                                    

Siapa sangka jika pria yang selama ini kukenal sebagai sahabat dari crush-ku, berubah menjadi temanku, bahkan memiliki perasaan kepadaku. Aku tidak pernah berbicara langsung dengan Calvin sebelumnya. Hanya mendengar cerita dari Devan, soal sahabatnya yang lebih suka membaca novel di kelas ketimbang bermain sepak bola di lapangan.

Awalnya aku berpikir, tidak mungkin ada cowok yang menyukai novel, bahkan banyak menghabiskan waktu dengan membaca novel. Ternyata setelah melihat orangnya langsung dari kejauhan, pemikiran itu aku buang jauh-jauh.

Calvin bisa dikatakan beda dari cowok yang lain. Baru kali ini aku menemukan laki-laki hobi membaca. Mungkin karena di sekitarku kebanyakan adalah anak-anak dengan jiwa bebas dan suka bertualang, sehingga melihat Calvin terasa janggal.

“Mungkin kalo kamu sering ngintip ke kelas dia, kamu bakal selalu ngeliat dia anteng di kursinya dengan buku di tangannya. Ya pokoknya itu kerjaan dia tiap hari. Anehnya, meski kerjaannya baca novel terus, namanya tuh gak pernah absen dari ranking atas. Bingung aku sama alien satu itu.”

Aku masih ingat jelas perkataan Devan tentang Calvin saat itu. Kalimatnya antara menghina atau memuji. Namun, aku yakin. Devan hanya ingin menyanjung sahabatnya yang kelewat pintar tersebut.

Jika aku melakukan hal yang sama, sudah pasti aku tidak dapat mempertahankan peringkat atas.

Aku juga mengingat bagaimana Devan menceritakan Calvin adalah cowok yang peka. Dia tipe yang sedikit berbicara, banyak bertindak. Dari luar dia terlihat seperti tidak melakukan apa pun, tetapi dia bertanggung jawab di belakang layar. “Calvin enggak suka mencolok. Makanya dia gak pernah mau ditunjuk ke struktur kelas atau masuk organisasi”. Begitulah kira-kira yang dikatakan Devan.

Sebenarnya aku setuju. Melihat bagaimana Calvin saat itu berusaha menghiburku dengan memintaku bercerita soal apa yang menjadi beban pikiranku ketika aku dirundung. Calvin yang ada di sampingku. Menemani dan menghiburku. Bahkan dia pula yang menemukan pelakunya sampai membawanya ke hadapanku.

Ketika Devan pacaran dengan kembang sekolah, Calvin datang seperti pahlawan kesiangan. Mengajakku pergi ke kafe kucing. Membuatku melupakan kesedihan atas patah hatiku. Lalu saat belajar bersama. Aku tidak meminta diajarkan. Tampaknya Calvin melihatku kesusahan, dia segera mengulurkan tangan untuk membantu.

Dan saat aku kesusahan membawa buku, dia menawarkan diri dan membantuku membawakan buku ke kelas.

Hanya Calvin yang selalu ada ketika aku membutuhkan seseorang. Hanya Calvin. Bukan Devan, orang yang aku suka. Melainkan Calvin.

Namun, Aku melihatnya sebagai teman. Tidak kurang pun tidak lebih. Jadi saat dia menembakku di wahana bermain, pikiranku menjadi kosong dan otakku berhenti berfungsi untuk sesaat. Itu adalah pertama kali aku mendapat pernyataan cinta dari seseorang. Bahkan pernyataan cinta tersebut datang dari pria populer yang didambakan kaum perempuan.

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak merasakan kalau aku adalah protagonis wanita dalam sebuah film romansa.

Aku yang mendapat pernyataan cinta mendadak dari Calvin, yang hanya kuanggap sebagai teman, tidak tahu harus membalasnya bagaimana. Dan begitulah asal bagaimana aku mendiamkan Calvin hampir sebulan.

Bingung dan khawatir jika aku tidak bisa memberikan jawaban yang kurang memuaskan untuk Calvin. Sebenarnya aku memang menganggap Calvin memesona. Dia pintar dan lumayan tampan. Hobi membaca miliknya juga menjadi daya tarik sendiri, bagai magnet yang menarik atensi para cewek doyan cowok ganteng.

Jika ditanya apa Calvin memesona, aku akan menjawab dengan iya. Namun, bila ditanya apa aku suka Calvin, abu-abu seolah datang menghampiriku lalu mengaburkan kemampuan berpikir dan penglihatan kepada hatiku.

“Hei, murung aja, nih. Kenapa?” Suara Devan membangkitkanku kembali ke permukaan. Aku menatapnya kemudian menghela napas. “Gapapa.”

Devan segera menggeleng. “Gak, aku tau kamu lagi mikirin sesuatu. Coba sini cerita sama abang. Siapa tau abang bisa bantu.” Nadanya yang usil membuatku tidak bisa marah kepadanya. Devan memang orang yang jarang emosi. Selalu membuat lelucon dan mengundang tawa kepada orang sekitar. Berbanding terbalik dengan sahabatnya.

Mereka bagai kutub magnet. Bersatu walau bertolak belakang.

Aku sedikit ragu untuk bercerita. Ini menyangkut sahabat Devan. Aku khawatir dengan komentar Devan jika dia mengetahui aku memiliki perasaan kepada Calvin. Setelah merenung sejenak, aku memutuskan mencurahkan isi hatiku.

“Aku pernah diajak Calvin ke wahana bermain. Dia... Nembak aku di sana.”

Tidak ada tanggapan. Yang artinya Devan masih memasang telinga untuk mendengarkan keseluruhan ceritaku. “Cuman, aku gak tau gimana balesnya. Sedangkan aku cuman liat dia sebagai teman. Tapi.... “

“Tapi?” Beo Devan.

“Tapi, abis dia nembak aku. Aku jadi ngerasa aneh kalo ngeliat dia. Kayak aku jadi salah tingkah sama canggung sama dia. Terus aku jadi merasa kalo Calvin makin keren gitu.”

“Kamu mulai suka sama dia kali.” Jawaban Devan mengundang keterkejutan. Aku melihatnya dengan tatapan bingung. “Suka?”

Devan mengangguk. “Orang-orang kalo ditembak tuh, antara mereka ngerasa jijik atau biasa aja atau ada perasaan lain yang tumbuh eak.

Aku mengedipkan mata beberapa kali, berusaha mencari jawaban atas gundah hatiku. Devan mempertahankan senyumnya kepadaku. “Dan mungkin aja kamu tipe yang ketiga? Kayak abis kamu ditembak, eh kamu kepo nih orang yang nembak kamu kayak gimana, terus kamu perhatiin dia terus, dan lama-lama itu perasaan lain tumbuh.”

Aku bungkam suara. Pernyataan Devan mencerahkanku. Hatiku saat itu memang masih tertuju kepada Devan, dan entah mengapa setelah kejadian pengakuan cinta di wahana bermain, benakku selalu meninggalkan bekas sosok pemuda pencinta buku fiksi tersebut. Pemuda yang berbicara lewat tindakan. Ketika memikirkan Calvin, debaran jantungku menjadi tidak terkendali.

Aku tidak merasakan hal seperti ini sebelumnya, bahkan kepada Devan. Mungkin ini yang dinamakan perasaan suka. Perasaan suka yang sesungguhnya.

Tepukan lembut mendarat di bahuku. Hal pertama yang kulihat ketika aku menoleh adalah wajah semringah Devan. “Ada yang suka Calvin, nih,” ucapnya lalu tertawa pelan. Aku hanya bisa menunduk malu. Dapat kurasakan panas menjalar di seluruh wajahku. Jadi begini rasanya ketika ada seseorang yang mengetahui siapa crush-mu. Tunggu, sepertinya aku tidak merasakan ini ketika Calvin tahu aku suka Devan.

“Yaudah jawablah. Dia pasti nungguin jawaban kamu.”

Aku menggeleng. “Gak bisa, Van. Masalahnya, si Calvin udah nyuruh aku lupain soal dia nembak aku. Cuman gara-gara aku diemin dia berhari-hari.”

“Gak masalah. Meski dia ngomong gitu, aku yakin dia diem-diem nungguin jawaban kamu.” Devan kembali menepuk pundakku, mendukungku. “Ayo, aku dukung kamu sama dia. Kamu pastiin lagi hati kamu dan kamu datengin dia, kasih dia jawabannya.”

Lagi-lagi aku membisu. Aneh juga rasanya ketika didukung mantan crush. Namun, aku harus banyak berterima kasih kepadanya. Berkat dia, aku tidak lagi bimbang. Aku membulatkan tekad. Saat hatiku sudah siap menerima bahwa aku memang menyukai Calvin. Aku akan memberikan jawabannya.

[END] Aimi, Unmei no Akai ItoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang