Pulang sekolah, Fira dan Calvin segera berputar arah menuju ke pusat perbelanjaan untuk melihat-lihat barang yang bisa mereka berikan kepada Devan sebagai hadiah. Sejujurnya, Calvin enggan melakukan ini. Jika disuruh memilih antara berkeliling mal atau membaca novel di rumah, bahkan tak perlu berpikir pun dia akan memilih opsi kedua.
Namun, ini adalah ulang tahun sahabat satu-satunya. Memberikan sedikit hadiah sepertinya tidak masalah.
Di samping itu, dia merasa tidak keberatan. Setidaknya dia menerima keuntungan dengan menghabiskan sedikit waktu berjalan-jalan sebelum pulang sekolah. Keuntungan lainnya.... Agaknya tidak perlu dijelaskan.
Berkeliling pusat perbelanjaan bersama Fira, Calvin melihat satu demi satu toko sembari merenung hadiah apa yang harus dia berikan kepada Devan. Hadiah yang tidak mahal dan berguna. Baju? Sepatu? Ah, dibelikan gantungan kunci beruang sepertinya juga tidak masalah.
Devan ini yang berulang tahun. Hadiah yang besar hanya akan membuatnya hidung panjang.
Kepalanya menunduk bagai bunga layu, memandang gadis di sebelahnya. Sejak tadi mereka diam tanpa mengobrolkan sesuatu. Perlahan mulutnya terbuka dan membuka suara.
"Kamu nyiapin hadiah apa buat Devan?"
"Hmm?" Yang ditanya memandang keheranan, sementara yang bertanya menangkap kebingungan tersebut dan menunggu jawabannya dengan berat hati.
Fira sempat ragu apakah dia harus mengungkapkan hadiah yang sudah ia persiapkan untuk Devan. Mengapa dia bertanya begitu? Oh, bisa saja dia bertanya karena bingung sehingga bertanya sebagai referensi.
Menelan saliva dengan gugup, Fira menjawab pelan, "Aku beliin dia headphone."
"Headphone?" Otak Calvin memproses kemudian menemukan pencerahan. Devan suka mendengarkan musik. Genre yang disukainya adalah rozk dan metal. Dua genre yang sulit didengarkan di tempat umum bila tidak menggunakan penyuara jemala, penyuara telinga, atau perangkat jemala.
Tunggu sebentar, sepertinya dulu Devan pernah bilang earphone miliknya tidak dapat mengeluarkan suara. Ingin membeli baru, tetapi dia bilang sayang duit.
Calvin memandang Fira dalam diam. Kalo udah suka pasti bakal beliin apa pun. Buktinya dia bisa inget Devan belum beli earphone.
Saat itu, Calvin mengingat benang merah Fira yang seharusnya hanya terhubung dengan miliknya kini terhubung juga bersama Devan, mulai merasakan dilema. Sampai sekarang ia belum bisa menemukan jawaban perihal keanehan tersebut.
Benang kusutnya belum terurai. Calvin belum menemukan petunjuk untuk menguraikannya.
Baru pertama kali ia melihat yang seperti ini. Tidak mungkin bila Fira memiliki dua jodoh. Tidak ada yang menetapkan konsep memiliki dua jodoh secara bersamaan seperti itu. Terlalu janggal!
Tidak peduli seberapa keras Calvin berpikir, jawabannya belum kunjung datang.
Di sisi lain, Fira sedang asyik melihat-lihat ketika tepukan lembut mendarat di puncak kepalanya. Tidak ada siapa pun yang bisa melakukan terkecuali pemuda di sebelahnya tersebut. Merasa ganar, tatapannya mengarah ke Calvin.
Yang ditatap enggan membuka mulut dan berlalu begitu saja menuju ke sebuah toko baju, meninggalkan Fira yang otaknya berhenti memproses sementara. Wajah jelita itu memandang jejaka dengan raut wajah kebingungan. Netra cokelatnya berkilauan oleh sorot lampu. Tepukan lembut itu membuat hatinya bertabuh tidak keruan, seolah ia baru saja memenangkan hadiah lotre.
Yang disukainya adalah Devan, tetapi mengapa ketika bersama Calvin hatinya enggan anteng?
Mengembuskan napas kasar, Fira bergegas mengejar Calvin menuju toko baju yang dikunjungi pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua keluar dari toko dengan hasil baik. Kini tangan Calvin memegang tas batik yang diberi balutan pita merah. Setelah berkeliling toko, akhirnya Calvin menemukan hadiah yang pas untuk Devan. Dengan ini dia tidak perlu meladeni Devan yang merajuk sebab tidak diberikan hadiah olehnya.
Ia terhindar dari momen menyebalkan tersebut.
Melirik ke gadis di sebelahnya, tampak Fira sibuk dengan barang bawaannya. Tadi dia juga membeli hadiah tambahan untuk diberikan kepada Devan. Mengapa begitu banyak memberikan hadiah? Menghela napas panjang, dia sedikit merasa kasihan kepada Fira yang bucin.
Ujung-ujungnya juga bakal menang hadiah dari pacarnya. Percuma beliin banyak hadiah buat dia. Calvin memejamkan mata sekilas ketika seseorang menarik lengan bajunya. Tidak ada yang berani melakukan itu terkecuali gadis kecil yang tengah bersamanya. Setelah menarik lengan baju dengan maksud meminta atensi, Fira menunjuk ke sebuah kedai minuman.
"Aku mau beli itu. Kamu mau? Aku beliin." Fira menoleh ke arah Calvin, menantikan jawaban sebelum ia mengantre di kedai minuman tersebut.
Tanpa mengatakan apa pun, Calvin merogoh dompet di saku dan mengambil dua lembar uang merah kepada Fira. "Aku black tea."
Namun, Fira yang awalnya menawarkan justru kebingungan karena mendapat dua lembar uang itu. Mengerjapkan mata beberapa kali, Fira menoleh meminta penjelasan terkait uang di tangannya. Menangkap ekspresi di wajah Fira, Calvin dengan tenang berkata, "Pake duit aku. Aku yang bayarin."
Fira belum selesai mencerna situasi segera, berjalan perlahan mengambil antrean. Ditatap sekali lagi lembaran uang di tangannya. Padahal dia tidak meminta dibayarkan. Namun, Calvin memberikan uangnya tanpa ragu seolah itu bukan masalah besar.
Sebenarnya Calvin perhatian, hanya saja tertutup sifat dingin sehingga sukar didekati.
**
Esok harinya di sekolah, meja Devan telah penuh dengan kotak hadiah dari teman-teman. Mereka mengucapkan selamat ulang tahun seraya memberikan hadiah. Di antara tumpukan kotak ini, ada beberapa dari teman yang sepertinya terpaksa karena Devan sendiri yang meminta.
Contohnya adalah Calvin. Tanpa ada bungkusan cantik atau kotak yang dibalut kertas kado dan pita merah, pemuda itu hanya memberikan satu set pakaian baru yang masih terbungkus plastik.
Tampaknya dia sama sekali tidak tertarik memberikan hadiah.
Setidaknya dia ada niat membelikan sesuatu, jadi Devan memaafkannya.
"Selamat ulang tahun, Van." Fira dengan hati riang memberikan dua kotak hadiah kepada Devan.
"Wah, ada dua. Apa aja ini isinya?" Devan mencoba menerka isi dari kedua kotak tersebut dengan mengguncangkan supaya ia bisa mendengar suara dari dalam kotak. Fira tertawa pelan. "Nanti kamu tau sendiri lah."
Devan tersenyum senang. "Makasih, ya, Fir."
Pujian sederhana yang membuat hati Fira bergetar. Sungguh, jika tidak ada orang di sekitarnya, dia bisa berteriak dan melompat-lompat tidak keruan. Pujian dari orang yang disukai memang bukan main efeknya. Fira menunduk tersenyum malu.
Saat itu, gadis mungil dan berwajah manis memasuki kelas dengan hadiah di tangannya. Tangannya dengan sigap menepuk pundak Devan pelan. Begitu berbalik, sebuah kecupan lembut menyentuh pipi Devan.
Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang di kelas, termasuk Fira dan Calvin.
Mereka tahu. Gadis itu adalah salah satu kembang sekolah karena pesona manis dan tubuh mungil yang membuat para lelaki tergoda untuk melindunginya. Siapa sangka jika gadis semanis ini bisa menjadi kekasih Devan.
"Selamat ulang tahun, sayang. Ini aku ada hadiah buat kamu."
Devan, dengan wajah merona merah, memeluk sang kekasih. "Makasih banyak, sayangku." Dia memberikan balasan berupa kecupan di pipi.
Dalam sekejap, kelas ramai dengan siulan dari para siswa yang menyaksikan adegan romantis tersebut. Beberapa dari mereka iri karena tidak mampu menunjukkan keromantisan seperti Devan. Tak sedikit pula mengejek Devan karena terlalu pamer.
Namun, Fira bereaksi berbeda.
Wajahnya memang tidak menunjukkan apa-apa, tetapi sorot matanya menyiratkan kesedihan dan kecemburuan.
Calvin diam-diam melihat, sekali lagi merasa kasihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Aimi, Unmei no Akai Ito
RomanceLegenda Benang Merah Takdir. Menurut legenda, dewa mengaitkan benang merah di setiap jari para kekasih sejati agar mereka suatu saat nanti dapat bertemu dan saling jatuh cinta. Legenda benang merah takdir ini memang sangat romantis. Banyak orang ber...