Bab XVI

6 1 0
                                    


Beberapa hari terasa hampa bagi Calvin. Sejak pengakuan cinta waktu itu, Fira, gadis yang disukainya jadi lebih sering menghindar. Bahkan ketika dia datang bersama Devan, tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Fira benar-benar mendiamkan Calvin.

Pemuda itu menghela napas panjang. Apa salah dirinya menyatakan perasaannya kepada Fira di wahana permainan saat itu. Namun, baginya itu adalah waktu yang tepat. Ternyata berdampak pada hubungan dia dan Fira yang perlahan merenggang.

"Gimana sama Fira, bro?" Devan duduk di samping Calvin, berkutat pada gawainya.

Tidak ada tanggapan dari Calvin. Yang ditanya fokus pada rangkaian kata-kata yang membentuk kalimat indah di atas kertas putih. Jam istirahat sedang berlangsung, Devan sengaja tidak pergi ke kantin hanya untuk menemani sekaligus menginterogasi sahabatnya perihal kencan.

Kedua tiket masuk itu berasal dari Devan. Wajar bila yang bersangkutan kepo apa ada kejadian menarik selama kencan berlangsung. Bukannya mendapat jawaban memuaskan, hanya ada angin kosong menyambutnya.

Devan memasang raut wajah malas. Ingin rasanya putus hubungan pertemanan dengan orang ini, tetapi hanya orang ini saja yang bisa mengerti dirinya.

"Calvin Dikara Elpida." Sengaja Devan menyebut nama lengkap Calvin, berharap agar lawan bicara bisa merespons walau hanya sekadar gumaman kecil. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. Calvin tetap diam. Seolah suara Devan adalah kicauan burung yang bisa ia abaikan.

Mendengus sebal, Devan berputar otak memikirkan cara lain agar orang ini bisa menaruh fokus kepadanya. Terlintas sebuah ide di kepalanya, dengan senyuman licik di wajah, Devan berbisik. "Kok aku liat akhir-akhir ini kamu gak ada ngobrol sama Fira? Lagi berantem, ya?"

Memancing dengan nama Fira pasti akan mengalihkan fokus Calvin. Benar saja, dalam sekejap mata Calvin mengangkat kepala dan menatap Devan penuh tanda tanya meski tanpa ekspresi.

Mengingat bagaimana interaksi Fira dan Calvin beberapa hari terakhir, ada yang berbeda dari mereka. Hanya perasaan Devan saja, atau mereka tampak sedang menghindar satu sama lain. Tidak. Hanya Fira yang melakukannya. Calvin tetap bersikap seperti biasa.

Rasa keingintahuan Devan membara. Dia harus mencari tahu ini, tetapi dia belum mendapatkan jawaban memuaskan. Membuatnya geram.

"Ayolah, Cal. Masa gak mau kasih tahu sahabatmu ini? kasih tahu, dong!" seru Devan seraya mengguncang pelan pundak Calvin.

"Bukan urusanmu."

"Urusanku. Pokoknya urusanku."

Calvin berusaha mengabaikan pemuda di sebelahnya dengan memusatkan fokus pada buku, tetapi tidak berhasil. Devan memiliki sejuta cara untuk membuatnya jengkel.

Melihatnya tak kunjung memberikan jawaban, Devan memutar otak mencoba mencari tahu menggunakan kemampuan berpikir kritis miliknya. Setelah terdiam beberapa saat, Devan mengangkat suara. "Kamu berantem sama Fira? Atau ada sesuatu pas kalian pergi ke sana?"

Calvin tidak menjawab, hal itu menguatkan dugaan lainnya di kepala Devan. "Jangan-jangan kamu nembak dia di sana?"

Ketika Devan mengajukan pertanyaan tersebut, mata Calvin dalam sekejap melirik ke arah pemuda tersebut. Melihat bagaimana dia bereaksi, agaknya tebakan Devan benar.

"Bener, ya? Kamu nembak dia di sana? Asyik, ini. terus gimana tanggepan si Fira? Dia terima gak?"

"Kamu gak liat dia ngehindar dari aku?" balas Calvin, seolah membuat Devan terlihat bodoh dengan mengajukan pertanyaan tersebut. Devan menggaruk kepala belakang dan tertawa canggung. Benar juga yang dikatakan Calvin. Mereka tidak akan bersikap aneh jika saja Fira menerima pengakuan cinta sahabatnya.

[END] Aimi, Unmei no Akai ItoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang