Bab VII

6 1 0
                                    

Maria adalah gadis paling populer di sekolah. Terkenal karena kecantikannya bagai sang putri dalam negeri dongeng yang keluar dari buku. Kecantikannya membuatnya banyak pria mengejar dan menyatakan cinta kepadanya.

Terlalu sering disanjung dan dipuja, membuat Maria menjadi hidung panjang dan harga dirinya setebal jalan beton.

Dia berpikir semua pria, baik di sekolah maupun di luar menyukainya. Saat dia menyukai satu pria, dia tidak akan mengambil inisiatif untuk mengejar lebih dulu. Pilihannya akan selalu tertahan dengan membiarkan pria yang disukainya mendengar kebaikan dan kecantikan dirinya sehingga membuat dia merasa senang dan jatuh hati. Setelah itu, pria itu akan datang mengejar dirinya.

Dengan kepercayaan diri yang tinggi, tentunya Maria tidak sudi bila menyatakan cinta lebih dulu. Dia adalah kembang sekolah. Lebah-lebah akan datang mengerumuninya. Jika ia mengambil inisiatif untuk menyatakan cinta kepada pria yang disukai.... Itu akan sangat memalukan!

“Kamu gak ada niatan ngajak ngobrol Calvin begitu?”

Calvin Dikara Elpida, nama yang masuk dalam jajaran pria yang ingin Maria kencani. Memiliki perawakan menawan dan dingin, tipe yang sangat disukai oleh kaum hawa. Terlebih lagi, dia suka membaca novel! Bukankah itu membuatnya semakin memesona?

Maria meyakini bahwa wanita cantik harus bersama pria tampan, dan dia yakin takdirnya adalah bersama dengan Calvin, salah satu pria tertampan di sekolah. Sayangnya kepribadiannya yang dingin dan acuh dengan sekitar membuat Calvin sukar didekati.

Terkecuali satu orang.

Sahabat dan satu-satunya orang yang dekat dengan Calvin. Siapa lagi jika bukan Devan.

Dengan bantuan Devan, Maria bisa mendekati Calvin tanpa perlu usaha keras. Toh, sebenarnya dia bisa saja mendekatinya secara langsung. Secara tidak ada kata malu atau pun introver dalam kamusnya. Hanya saja dia menginginkan kesan di mata Calvin terhadap dirinya.

Namun, tetap saja itu hasil yang didapatkan adalah kosong. Calvin masih tidak acuh. Menganggapnya tidak ada. Fokusnya hanya kepada novel, tidak ada yang lain. Maria berpikir bagaimana Calvin bisa begitu menyukai novel sehingga itu hampir tidak pernah lepas dari tangannya.

Ia menduga ada lem melekat di buku novel dan tangan Calvin.

Melihat Calvin yang sangat sulit didekati bahkan diajak bicara, Maria yakin bahwa tidak ada satu pun gadis di sekolah bisa memikat pria tersebut. Ia meyakini bahwa Calvin akan tetap single sehingga dia tidak perlu khawatir seseorang akan merebut.

Jika dia yang paling cantik saja tidak membuat Calvin melirik, bagaimana dengan gadis lainnya? Tidak ada kesempatan sama sekali!

Itulah yang dipikirkannya, sampai dia melihat Calvin mengejar dan mengajak bicara salah satu gadis.

Siapa gadis itu? Wajahnya tampak standar. Bagaimana dia bisa akrab dengan Calvin? Apa hubungan mereka? Rentetan pertanyaan bermunculan di benak Maria bak KRL.

Memikirkan hal tersebut membuat hatinya bergejolak dipenuhi amarah dan kecemburuan. Dirinya adalah gadis tercantik di sekolah ini! Bagaimana mungkin ada gadis yang lebih menarik dari dirinya sampai-sampai Calvin yang sulit didekati pun bisa mengejarnya?

“Dia namanya Fira. Yang duduk sebangku sama Devan,” ujar salah satu teman Maria yang kebetulan satu kelas bersama Fira dan Devan.

Maria mendengus geli. “Fira? Namanya tidak menarik. Kenapa dia tiba-tiba bisa dekat sama Calvin?”

Teman-teman Maria saling berpandangan satu sama lain kemudian dengan hati-hati menjawab. “Enggak tahu. Kalo dari tebakan kita, karena si Fira itu deket sama Devan, otomatis dia juga bakal deket sama Calvin.”

Satu gadis yang tampak kecil dan pemalu mengangguk setuju. “Secara Devan sama Calvin sahabatan.”

Namun, hatinya merasa tidak puas! Jawaban itu malah membuatnya semakin panas hati. Maria menggigit bibirnya dan mengerang kecil.

Aku juga dekat sama Devan, tapi Calvin gak kayak gitu ke aku!

Di sisi lain.

Fira baru akan kembali ke kelas usai menyelesaikan urusannya di toilet ketika seorang guru senior tiba-tiba memanggilnya. Menoleh ke sumber suara, Fira bergegas menghampiri guru yang bertugas mengajar Bahasa Indonesia di kelasnya. Walau usianya tidak lagi muda, semangatnya dalam mengejar dan mendidik generasi baru tidak pernah pudar di hatinya. Selain itu, guru Bahasa Indonesia cukup disukai oleh para siswa karena memiliki kepribadian yang baik dan selalu bertutur lemah lembut.

“Ada apa, Bu?”

“Kelas kamu belum ngambil buku tugas sama catatan di saya, kan?”

Fira mengangguk. Seingatnya buku catatan dan tugas Bahasa Indonesia dikumpulkan untuk diperiksa. Guru tersebut menyunggingkan senyum kemudian berkata, “Tolong ambil di meja saya terus bagikan ke teman-temanmu, ya. Setelah bel saya langsung ke sana.”

Ternyata dia dipanggil untuk mengambil buku-buku yang dikumpulkan. Fira mengangguk paham dan tersenyum lebar hingga ke telinga. “Baik, Bu.”

Setelah itu, guru Bahasa Indonesia meninggalkan Fira. Saat dirasa sudah cukup jauh, punggung Fira yang tadinya tegak lurus kini sedikit membungkuk disertai embusan napas panjang. Dengan lesu ia berjalan menuju ruang guru.

“Pasti banyak banget bukunya. Bakal berat bawanya.... “

Sampai di ruang guru, Fira yang sudah mengetahui letak meja guru Bahasa Indonesia, dalam sekali jalan bisa sampai di meja penuh dokumen dan tumpukan buku dari kelasnya dan milik kelas lain. Memeriksa satu per satu tumpukan buku tersebut, Fira mengambil dua tumpukan, yakni buku tugas dan buku catatan.

Memandangi kedua tumpukan tersebut, Fira menghela napas panjang. Bagaimana cara dia membawa dua tumpukan ini sendirian? Ini terlalu berat, dia akan kesulitan membawanya. Solusi satu-satunya adalah jalan dua kali bolak-balik, tetapi itu akan sangat melelahkan.

“Ada yang bisa bantu gak ya?” gumam Fira seraya melihat sekeliling. Nihil, tidak ada siswa yang memiliki urusan di ruang guru yang bisa diminta tolong.

Tak lama, Calvin memasuki ruang guru, menghampiri guru Fisika sembari menyerahkan lembar latihan murid-murid. Tanpa sengaja matanya menangkap satu sosok di pojok ruangan, berdiri kebingungan dengan dua tumpukan buku di atas meja.

Selesai dengan urusannya bersama guru Fisika, pemuda itu mendekati Fira. “Ngapain?”

“Hah? O-ohh... Itu.... “ Lidah Fira tercekat. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Namun, melihat pandangannya terus tertuju ke buku dan dirinya memasang ekspresi cemas, agaknya Calvin paham situasinya.

“Sini dibantu bawain.”

Tanpa basa-basi, Calvin mengambil satu tumpukan dari meja dan berjalan keluar meninggalkan Fira dalam sano. Kembali ke permukaan, ia mengambil tumpukan lainnya lalu berjalan cepat menyusul pemuda tersebut.

Selama perjalanan menuju ruang kelas, kedua tampak tidak saling berbicara. Tidak, sejak awal Calvin bukan tipe yang membuka topik obrolan. Dia tidak seperti Devan dengan sejuta topik di dalam otaknya. Ini situasi canggung yang mencekik Fira. Ingin rasanya ia melarikan diri dari keheningan ini.

“Kenapa gak bawa temen buat bawa ini?”

Suara berat itu segera menyusup masuk ke dalam indra pendengar Fira. Menoleh ke arah Calvin, ia menjawab dengan suara pelan. “Gak tau kalo bakal disuruh bawa ini. Tadi tiba-tiba dipanggil di jalan.”

Calvin tidak mengatakan apa pun lagi dan mereka kembali terjebak dalam lubang kesunyian yang dingin hingga mereka sampai di kelas Fira.

Awalnya penghuni kelas hendak tidak memedulikan kehadiran Fira yang membawa tumpukan buku, tetapi atensi mereka segera terfokus ke sisi depan ruang kelas begitu mendapati pemuda tampan berjalan masuk di belakang Fira.

Mereka tampak bertanya-tanya mengapa Fira bisa bersama Calvin. Terlebih lagi, Calvin membantu Fira membawakan buku-buku. Seorang Calvin yang biasanya acuh tak acuh tiba-tiba mengulurkan tangan untuk membantu.

Tanpa mengatakan apa pun, Calvin meletakkan tumpukan buku di atas meja kemudian berjalan keluar dan meninggalkan tanda tanya besar bagi penghuni di dalam kelas.

Di samping keributan itu, tampak dua orang yang duduk di barisan belakang sedang berbisik-bisik sembari mengirimkan pesan kepada seseorang.

[END] Aimi, Unmei no Akai ItoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang