Bab I

37 9 19
                                    

Suasana kelas tampak bising karena jam istirahat masih berlangsung. Sebagian besar murid mengisi amunisi sebelum bertempur kembali dengan buku dan catatan sementara yang lainnya memilih bersantai memainkan ponsel.

Namun, lain halnya dengan pemuda yang duduk di bagian tengah ruang kelas. Ia sendirian, posturnya tubuhnya tegap dengan kedua tangan di atas meja memegang buku dan matanya fokus membaca rangkaian kalimat indah di atas kertas putih.

Tidak ada yang berani mengganggu ketenangan Calvin. Bukan karena Calvin memiliki aura dingin, mereka paham Calvin tidak senang diganggu bila dirinya tengah membaca buku. Lagi pula siapa yang senang diganggu ketika sedang asyik dengan dunia sendiri? Karena itu mereka membiarkan Calvin sendirian, tenggelam oleh dunianya.

Terkecuali satu orang.

Pemuda dengan curtain haircut menampakkan dirinya di kelas dan melihat Calvin sibuk membalikkan halaman buku. Mendapat ide, ia berjalan mengendap-endap kemudian mendorong kedua bahu Calvin hingga buku yang dipegangnya hampir terjatuh.

"Wah!" serunya seraya tertawa kecil.

Tidak perlu dilihat, Calvin bisa mengetahui siapa pelaku kejahilan tersebut. "Ganggu, Dev."

Devan kembali tertawa. "Habisnya fokus banget baca buku. Enggak laper emang?"

"Enggak."

"Tapi kok aku denger suara perut bunyi, ya? Perut siapa itu meraung minta makan, ya?" Devan terus-terusan melancarkan kejahilannya hingga perempatan menumpuk di kening Calvin. Namun, ia memilih mengacuhkan Devan. Jika direspons yang ada sahabatnya malah akan semakin menjadi-jadi.

Melihat tidak ada tanggapan, Devan mendengus sebal. Ia mengambil kursi di sebelah Calvin kemudian membaca isi buku yang tengah dibacanya. Itu adalah sebuah novel romansa sekolah. Alur ceritanya sangat menarik dan ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami, cocok untuk para remaja.

Devan mengangkat kedua alis. "Kenapa kamu gak cari pacar, Cal?"

Calvin melirik tanpa bersuara, seolah memberikan pertanyaan kepada Devan.

"Itu loh, pacar. Daripada cuman baca aja terus gak ngerasain sendiri kan kurang. Enaknya punya pengalaman langsung."

"Gak tertarik."

"Dih jawabannya gitu lagi." Devan mengerucutkan bibir. Ia bosan dengan jawaban singkat Calvin. "Sesekali rasain punya pacar gitu, Cal. Banyak yang suka sama kamu."

"Percuma kalo ujung-ujungnya putus." Ketika Calvin membalikkan halaman novel, dia melihat satu dialog dari karakter pria dalam novel.

[Aku mencintaimu selamanya.]

Memandangi dialog tersebut dalam diam, Calvin mengembuskan napas kemudian menutup buku. "Aku carinya yang abadi. Bukan cuman yang mengincar status." Calvin mengelus bagian depan buku novel yang baru saja selesai dia baca. "Aku cuman mau seseorang yang udah ditakdirkan buat aku. Satu-satunya dan hanya aku yang bisa memilikinya, bukan orang lain."

Hanya saja aku belum menemukannya....

Devan memerhatikan dalam diam. "Takdir, ya.... " Ia memasang senyum tipis menusuk pelan pipi Calvin. "Kalo gitu kemampuanmu itu berguna, Cal."

"Maksudnya?"

"Kan kamu bisa liat benang merah takdir." Devan mengelus jari kelingkingnya, seolah ada sesuatu melingkar di sana. "Katamu benang merah kita ada di jari kelingking, kan? Kalau benang merah di jari kita ini terhubung sama seseorang, arti orang itu pasangan takdir kita. Kamu pernah bilang gitu."

Tidak salah. Hanya Devan–sahabatnya–yang mengetahui kemampuan spesial miliknya. Perlahan Calvin menunduk, menatap lantai keramik. Sayangnya, sampai saat ini benang merah milik Calvin belum terhubung dengan seseorang. Benang merahnya masih pendek dan terputus.

Ada sedikit bagian dalam hati Calvin ingin segera bertemu dengan takdirnya. Tentunya akan sangat bahagia bila sudah bertemu dengan orang yang ditakdirkan bersamamu dan menjadi satu-satunya untukmu.

Devan mengetuk meja dengan jari jemarinya dan berkata dengan tenang, "Kamu juga baik, sih, Cal. Kamu juga kadang bantuin mereka yang pacaran sama orang yang salah."

Pemuda bernama lengkap Calvin Dikara Elpida itu tidak menanggapi. Usai terdiam sejenak, ia beranjak dari posisinya lalu berjalan meninggalkan kelas tanpa mengatakan apa pun kepada Devan.

Devan yang sedari tadi memerhatikan gelagat Calvin akhirnya mengembuskan napas panjang. Satu tangan bertumpu di atas meja. Ia menatap ke luar jendela.

"Yah, walau sebenarnya takdir bisa saja dipaksakan, sih."

**

Sore harinya, sekolah sudah dalam keadaan sepi, menyisakan beberapa guru yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka serta murid yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Calvin duduk sendiri di kelasnya, menghabiskan setengah buku yang baru saja ia pinjam dari perpustakaan.

Cerita dalam buku sangat menarik dipadukan oleh karakter yang kompleks membuat Calvin tenggelam dalam dunia buku tersebut. Begitulah ketika para pencinta buku sudah sangat menyukai bacaan mereka.

Memandangi jam bundar yang tergantung di atas papan tulis, kedua bola mata Calvin membulat tatkala ia melihat waktu menunjukkan pukul empat sore. Sejam berlalu sejak bel tanda sekolah berakhir dibunyikan. Calvin bergegas membereskan seluruh barangnya bersiap pulang dan melanjutkan membaca. Hatinya menggebu-gebu ingin segera menyelesaikan buku bersampul biru tua tersebut.

Usai mengunci pintu dan memberikan kunci pintu kelas ke ruang guru, Calvin berjalan pelan meninggalkan area sekolah. Sebenarnya ia bisa saja membaca buku sambil berjalan kaki, tetapi mengingat keadaan lalu lintas kota besar yang ditinggali sangat tidak memungkinkan. Pengendara motor ugal-ugalan kerap kali membahayakan pengguna jalan seperti Calvin.

Calvin memeriksa kembali seluruh barang-barang dalam tas memastikan tidak ada yang tertinggal sebelum ia benar-benar keluar dari gerbang sekolah. Kepingan hitam milik Calvin mendadak bergetar dan menyala menyinggir notifikasi pesan. Laki-laki itu dapat melihat jalan nama kontak yang tercetak tebal-si pengirim pesan.

Mama

Calvin, kalau pulang beliin kecap sama minyak dulu, ya. Duitnya mama ganti.

Makasih, Nak.

Helaan napas panjang lepas dari bibir Calvin. Jari jemari dengan teratur menekan papan tombol merangkai kalimat balasan untuk sang ibu. Mengirimkan pesan balasan, baru saja akan memasukkan ponselnya, ia tidak sengaja melihat ke bagian jemari kelingking kanannya. Wajah Calvin memasang raut wajah terkejut seolah melihat makhluk halus. Bagaimana tidak terkejut, benang merah takdir yang ia harapkan terhubung dengan seseorang, kini ia menyaksikannya memanjang ke suatu tempat.

Dia di dekat sini!

Meneliti ke arah benang merah tersebut, Calvin berlari masuk ke dalam wilayah sekolah kembali. Selama ia mencari-cari takdirnya, hatinya berdebar dan sekujur tubuhnya mulai merasakan panas yang membara. Mata Hazel milik Calvin berkilauan akibat terpancar sinar jingga keemasan dari sang surya.

Ini adalah penantian lama Calvin. Bertemu dengan takdir yang mempersatukan mereka melalui ikatan benang merah takdir.

Calvin sampai di taman belakang sekolah tempat biasa murid-murid merawat tanaman. Dengan napas tersengal-sengal, kedua tungkai Calvin berjalan pelan menuju tempat takdirnya berada. Begitu melewati jalan berbelok, angin musim semi serasa menerpa wajah Calvin. Seorang gadis berdiri di tengah hamparan bunga yang indah. Angin berembus membuat rambut hitam sedada dan sedikit bergelombang miliknya berayun lembut.

Suara nyanyiannya dengan cepat merasuk indra pendengar Calvin. Begitu halus dan merdu seakan ia mendengarkan penyanyi profesional. Gadis itu terus mempersembahkan penampilan menyanyi yang begitu memukau kepada alam semesta hingga ia tidak menyadari bahwa ada seseorang berdiri di dekatnya mendengarkannya bernyanyi.

Selesai melantunkan lagu, gadis itu mengembuskan napas panjang kemudian menoleh ke sisi tempat Calvin berdiri.

Pandangan mereka berdua saling bertemu. Menciptakan kontak secara tidak langsung.

[END] Aimi, Unmei no Akai ItoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang