✼ ҉ ✼ ҉ ✼ ✼ ҉ ✼ ҉
INCEPTIONS
Selepas dari rumah sakit, aku langsung bergegas pulang ke rumah. Seperti rencana awalnya. Tidak ada hal lain yang ingin kulakukan setelahnya. Sekedar untuk berkumpul bersama teman, bermain game bersama ataupun menonton film bersama. Teman? Aku bahkan ragu. Aku yakin jika aku memang tidak memiliki teman dekat satupun. Setiap harinya tidak ada yang berubah. Selain hanya bersekolah, pergi ke perpustakaan kota, berdiam diri di rumah terutama atau sesekali pergi ke rumah sakit seperti hari ini. Hanya itu dan tidak ada hal lain lagi yang kulakukan. Seperti itulah biasanya.
Alasan pergi ke rumah sakit? Itupun karena dorongan rasa khawatir yang berlebihan dari keluargaku tentang kondisi kesehatanku akhir-akhir ini. Andai saja aku tidak teledor kala itu hingga harus berakhir di meja operasi seperti beberapa waktu yang lalu. Mungkin, aku tidak akan menginjakkan kakiku di tempat yang penuh bau obat-obatan seperti itu. Juga tidak akan melihat pemandangan setiap orang yang datang ke sana dengan ekspresi kesakitannya.
Tapi, untunglah semua itu sudah terlewati. Dokter mengatakan bahwa keadaanku sudah sangat membaik. Tentunya, aku pun telah dibebaskan dari jadwal pemeriksaan rutin itu. Hanya beberapa wejangan dari dokter saja, agar hidup lebih sehat dan lebih berhati-hati dalam memilih makanan. Jadi, hari ini adalah hari terakhirku datang ke rumah sakit.
Semburat sapuan warna jingga telah memenuhi langit sore itu. Aku berjalan santai melewati gang kecil yang biasa kulewati untuk pulang ke rumah setiap harinya. Dengan santai aku menapaki jalan kecil itu. Merasakan setiap tapakan kakiku sembari asyik berkelana dalam lamunan. Ditemani kelopak-kelopak bunga sakura yang berjatuhan tertiup angin di sepanjang jalan.
Saat itu hanya aku seorang diri saja. Hingga, tiba-tiba kemunculan seseorang yang berdiri di ujung gang sana menghentikan sejenak langkahku dan membuyarkanku dari lamunan. Seseorang yang bagiku tak asing, tengah berdiri bersandar di tembok gang itu. Ia juga melihat ke arahku saat aku menatapnya.
Dia ... si pria manis yang kutemui di rumah sakit beberapa saat yang lalu. Tapi, apa yang dilakukannya di sini?
"Hey! Kebetulan sekali!" serunya sembari melambaikan tangannya ke arahku. Seperti biasa, ia terlalu bersemangat dan antusias.
"Maaf. Tapi, aku tidak ingin meladeni kebetulanmu itu." Aku lantas memilih berbelok ke arah jalan lain dengan menuruni beberapa anak tangga. Tak ingin menghiraukan keberadaannya. Namun, selang tak berapa lama kudengar langkah kaki yang berjalan cepat dari arah belakangku. Bisa kutebak pasti ia memang berniat ingin membuntutiku.
"Hey! Bukankah kita sekelas? Tapi kita belum pernah saling bicara sebelumnya, kan?" tanyanya dengan nada riang saat berusaha menyamakan langkah kakinya denganku.
"Seingatku, kau ... selalu menyendiri dan suka membaca buku. Benar, kan?" sambungnya yang kini sudah berada tepat di sampingku. Hal itu cukup membuatku terkejut. Bagaimana ia bisa sampai hafal kebiasaanku? Apakah ia pernah menguntitku? Ataukah selama ini ia diam-diam memperhatikanku?
"Lalu ... kenapa kau ada di rumah sakit tadi? Kau demam?" Aku hanya meliriknya sekilas. Aku tahu ia tengah memperhatikan ekspresi wajahku yang masih tak berubah. Tentu juga dengan banyak pertanyaan yang masih tersimpan di dalam pikirannya. Tapi, aku masih enggan untuk menjawab apapun pertanyaannya kali ini. Hingga tak terasa kami telah berjalan bersama sampai di ujung jalan keluar dari gang itu.
"Aku tahu, penyakit demam itu memang sedang menular akhir-akhir ini," ujarnya sendiri. Mungkin ia mengerti jika aku memang tak berminat untuk menjawab pertanyaannya.
"Maaf. Aku hampir ketinggalan kereta. Sampai nanti," pamitku setelah melirik jam di tanganku sebentar. Aku yakin, setelah ini ia tidak akan berani lagi membuntutiku.
"Hey! Tunggu dulu!" Namun, sepertinya dugaanku salah. Ia mulai berlari menyusulku dari belakang saat beberapa saat tertinggal jauh dari langkah yang kupercepat.
"Bolehkah aku meminta sesuatu darimu?" ucapnya lagi setelah berhasil menyusul dan kembali berjalan tepat di sampingku. Lagi-lagi masih dengan nada cerianya.
"Bisakah ... kau merahasiakan tentang penyakitku ini? Karena aku memang tidak pernah menceritakannya pada siapapun," jelasnya dengan nada yang berubah serius.
"Jadikan ini sebagai rahasia kita. OK?" tambahnya lagi. Membuatku mau tak mau menatap ke arahnya.
"Tidak. Aku tidak akan bilang," ucapku tak kalah seriusnya.
"Lagipula, tidak akan ada yang mau mendengarkanku," tuturku sekali lagi. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Tidak ingin ia lebih menebak-nebak tentang bagaimana diriku yang sebenarnya.
"Apa?! Jadi selama ini kau tidak memiliki teman dekat? Satupun?!" Aku enggan menjawabnya. Bukankah sudah sangat jelas? Siapa yang mau berteman dengan orang pendiam, introvert, misterius dan kutu buku sepertiku. Aku yakin tidak ada satupun yang mau.
Sejurus kemudian ia melompat kecil ke arahku. Dan mendadak berdiri tepat dihadapanku. Membuatku mau tak mau harus ikut menghentikan langkahku yang terhalang olehnya. Sebenarnya apa yang diinginkannya dariku?
"Di sisa hidupku yang masih tersisa ini ... bagaimana jika aku menemanimu?" tawarnya dengan senyuman manis dan wajahnya yang selalu terlihat ceria. Benar, selalu ceria sejak beberapa saat lalu aku bertemu dengannya.
Dan juga ini adalah pertama kalinya ada seseorang yang berbicara begitu banyak padaku. Namun, aku tetaplah aku. Yang tidak suka terlibat dengan kehidupan ataupun masalah orang lain.
"Tidak, terimakasih. Sebaiknya, kau jalani saja hidupmu itu sesuka hatimu." Aku memalingkan pandanganku darinya. Lagipula itu hanya sekedar saran asal yang terlontar dari bibirku. Dan anehnya, ia malah tertawa terkekeh mendengarnya.
"Begitu, ya ... baiklah." Setelahnya, ia pun berlari kecil menjauhiku. Dan di seberang jalan sana, ia kembali melambaikan tangannya sembari tersenyum manis, hingga matanya pun seolah tersenyum ke arahku. Tak lupa ia pun mengucapkan terimakasihnya padaku dengan begitu semangatnya. Entah terimakasih untuk hal apa. Setelahnya, yang kulihat hanyalah punggung badannya saja yang telah berlalu dari hadapanku.
Aku pikir, setelah ini kami tidak akan lagi saling menyapa, saling berbicara ataupun memiliki hubungan dalam bentuk apapun. Tapi, sekali lagi dugaanku salah. Esoknya, entah kenapa ia malah tiba-tiba saja mendaftarkan dirinya menjadi petugas perpustakaan sekolah, sama sepertiku.
Dan akhirnya, dari sanalah semua kisah kami berawal.
✼ ҉ ✼ ҉ ✼ ✼ ҉ ✼ ҉
- TO BE CONTINUED -
KAMU SEDANG MEMBACA
I WANT TO EAT YOUR PANCREAS
RandomHubungan diantara mereka bukanlah semacam hubungan dengan julukan yang pasaran. Bukan itu. Bukan pula hubungan tentang persahabatan ataupun cinta. Namun, lebih daripada itu. Bisa dibilang, hubungan mereka adalah hubungan yang platonis. Dimana sebena...