𑁍𑁍 (P A R T 𑁍𑁍 07) 𑁍𑁍

57 1 0
                                    

✼  ҉  ✼  ҉  ✼ ✼  ҉  ✼  ҉

TROUBLE MAKER

Hari menjelang sore saat kami memutuskan untuk mengakhiri acara makan bersama di kedai pilihannya beberapa saat yang lalu. Kami pun berjalan pulang bersama menyusuri jalan setapak yang melewati sebuah pasar tradisional. Letaknya memang tak jauh dari kedai makanan itu. Mungkin inilah yang menjadi alasan kenapa kedai makanan itu tak pernah sepi pengunjung. Selain rasa makanannya yang memang sangat enak di lidah.

"Cuacanya sangat bagus, ya!" ucapnya yang sejauh ini masih terus saja berceloteh ria di sepanjang jalan yang kami lalui. Dan tentu saja, aku hanya menjadi pendengar setianya.

"Tapi ... apakah aku juga akan mati di saat cuaca yang sebagus ini nanti?" gumamnya pelan yang tentu saja masih bisa kudengar dengan jelas.

"Masih membahas soal itu?" protesku padanya. Masih saja seputar hal yang sama. Sejak di kedai tadi ia terus saja membahasnya. Bukan hanya di sana saja. Bahkan semua itu bermula sejak pertama kali aku berbicara dengannya saat di perpustakaan sekolah tempo hari.

"Siapa? Aku tidak berkata seperti itu padamu." Dengan santai ia kemudian berjalan mendahuluiku. Aku yang melihatnya hanya menghela napas lelah. Aku memang selalu kalah jika harus berdebat dengannya.

Awalnya kami masih menikmati perjalanan kami yang nyaman tanpa gangguan apapun. Hingga, sesuatu yang terjadi di depan sana sejenak menarik atensi kami untuk berhenti. Di depan sana tak jauh dari tempat kami berdiri, terdengar suara keributan yang terjadi di tengah-tengah area pasar. Ternyata, di depan sana ada seorang pemuda yang telah menabrak seorang nenek yang sedang melintas dengan sepedanya. Entah darimana dan bagaimana peristiwa itu bermula dan bisa terjadi. Aku bahkan samar-samar masih bisa mendengar bagaimana pemuda itu berteriak marah. Dan beradu mulut dengan salah seorang penjual di sana yang tengah berusaha untuk membantu nenek yang malang itu.

Namun, alih-alih meminta maaf, pemuda arogan itu malah meminta ganti rugi pada si nenek tua itu dengan begitu kurang ajarnya. Ia meminta ganti rugi dengan alasan pakaiannya yang telah kotor. Bahkan, ia juga membentak dan melawan siapapun yang mencoba berani membela dan membantu nenek itu.

"Lihat! Bajuku jadi kotor dan basah! Nenek tua! Aku minta ganti rugi sekarang!" bentak pemuda berbadan tinggi besar itu kasar.

"Itu salahmu sendiri! Kau yang telah menabrak nenek ini dengan sepedamu, kan!" jawab seorang wanita setengah baya penjual bunga yang ikut membela si nenek.

"Apa?! Aku?! Itu karena nenek ini yang berdiri di tengah jalan! Apa kau yang mau menggantikan nenek tua ini?!" Tak hanya sang nenek, si wanita setengah baya itupun akhirnya juga menjadi sasaran kemarahannya.

Dari kejauhan kami masih memperhatikan keributan itu dari jarak yang cukup aman. Bukannya tidak ingin membantu. Tapi, aku terlalu malas untuk ikut campur atau mencari masalah dengan pemuda brengsek itu. Jadi, aku langsung mengajaknya untuk memilih jalan memutar melewati jalan lain saja agar tidak bertemu dan berurusan dengannya. Tapi, di luar dugaanku. Siapa sangka? Sebelum aku sempat meraih tangannya, ia malah lebih dulu pergi berlari ke arah sumber keributan itu.

Anak itu benar-benar ...
Si pembuat masalah.

"Hey! Hentikan! Jelas-jelas kau yang salah di sini! Kau yang seharusnya minta maaf pada nenek ini!" teriaknya pada pemuda brengsek itu. Ia bahkan menjadikan tubuhnya sendiri sebagai tameng. Berusaha melindungi si nenek dan menjauhkannya dari perlakuan pemuda brengsek itu yang kasar.

"Nek, nenek baik-baik saja, kan? Apakah ada yang terluka?" Ia kemudian berjongkok untuk memastikan dan memeriksa kondisi nenek itu. Setelah dirasa tidak ada luka yang mengkhawatirkan di tubuhnya, ia pun membantu nenek itu untuk merapikan barang belanjaannya yang berantakan. Dan membantunya untuk berdiri perlahan. Dengan berani, ia kemudian menatap si pemuda yang lebih bongsor darinya itu dengan tatapan nyalang.

I WANT TO EAT YOUR PANCREASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang